19. Resistance

891 133 149
                                    

"Ah, baiklah. Kalau begitu, Ibu akan datang ke sana sore ini, Sayang. Ibu mungkin juga akan membawa beberapa makanan termasuk kimchi kesukaan Jimin. Kau dan Jimin baik-baik di sana, ya."

Ugh. Seilhwan tersenyum pahit. Oke.

Ya, well, dalam segenap durasi yang kerap terasa getir akhir-akhir ini, Seilhwan diam-diam sebetulnya tengah terus berharap kalau dia sanggup melenyapkan eksistensinya dalam sedemikian detik dari muka bumi ini dengan cara yang sedikit indah—serupa selembar daun yang serta-merta putus hubungan dari pohonnya kemudian pergi menjauh entah kemana bersama udara pagi yang tengah menyelimuti. Pergi bersama cara yang baik. Tidak berpotensi menyakiti banyak hati. Atau barangkali, alih-alih menghapuskan presensi diri sendiri dari muka bumi ini, Seilhwan juga sesekali pernah berharap bahwa setidaknya dia bisa mengasingkan raga dan jiwanya ke suatu tempat yang jauh dari kerumunan insan. Ingin merasakan bagaimana sensasi hidup sendiri, menghirup napas tanpa disakiti orang lain, serta hidup tanpa ingatan buruk yang terus menghantui. Sebab rasanya absolut begitu menyakitkan kalau terus menjalani hidup bersama segenap memori masa lalu dan sekantung penyesalan yang senantiasa meneror jiwa.

Iya, seperti sekarang.

"Aku mencintaimu, Seil. Kamu tahu itu, 'kan?"

Perkataan itu nyalar berada di sana—telah menempel permanen di dalam kepalanya. Terus menggema nyaring selama berulang kali tanpa henti. Bahkan tatkala kini mereka tidak lagi bersama, Seilhwan masih merasa bahwa penggalan kalimat tersebut terasa serupa segaris luka bakar yang terus terukir abadi pada permukaan jiwanya.

"Aku tahu, Tae. Kita ini saling mencintai, bukan?" Seilhwan ingat bibirnya pernah melontarkan kata seperti itu. Dia kemudian merengkuh sang kekasih erat saat meneruskan, "Cinta sampai mati, ya?"

Lelaki itu—Taehyung—lantas mengangguk perlahan, ikut memeluk posesif, kembali menyatukan tubuh keduanya dengan hangat di atas ranjang sebelum berbisik dengan suara yang tertangkap cukup berat, "Tentu saja, Seil. Terima kasih karena sudah menganggapku sebagai rumah."

Wow. Rumah yang menyenangkan sekaligus terasa begitu menyakitkan, maksudmu, Kim?

Ah, mendadak Seilhwan seperti akan menangis lagi bersama senyuman getir yang tengah menghiasi wajahnya kali ini. Perlu beberapa waktu lamanya sampai dia kembali sadar kalau dulu Seilhwan benar-benar tidak ragu untuk menyatakan bahwa Taehyung dan dirinya adalah kesatuan yang absolut. Tidak akan berpisah dan tidak akan pernah bisa dipisahkan. Ugh. Lelucon, ya? Sebab sekarang, andaikata serta-merta kembali mengingat momen tersebut; sumpah, demi celana dalam Yoongi yang suka didiamkan terletak di atas ranjang—sekarang Seilhwan rasanya mendadak jadi ingin muntah. Ih, menjijikan.

"Rasanya tidak akan terlalu sakit, Seil. Percaya padaku, hm? Aku akan melakukannya dengan lembut, sungguh."

Tidak akan sakit, katanya. Mengenang hal tersebut, Seilhwan mendadak tersenyum kecil, menundukkan kepala seraya memandang satu lembaran buku yang kini permukaan kertasnya sudah mulai dijatuhkan rintik demi rintik air mata miliknya, lantas merasa pilu sendiri. Omong kosong, huh? Ah, tentu saja. Itu cuma omong kosong. Lantaran sampai sekarang, perempuan tersebut betul-betul tidak pernah dapat mengerti letak kenimatannya itu di mana sedangkan Taehyung sudah berulang kali mendesah nikmat pada waktu itu. Sial, apa dia masih normal? Oh, atau karena pada masa itu Seilhwan sama sekali belum siap dan segenap bagian jiwanya juga tengah dipenuhi perasaan bersalah sekaligus berdosa? Hah, sial, sial, sial.

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang