01. About Wedding

4.1K 307 208
                                    

"Jadi, bagaimana kencan kalian selama tujuh hari ini?" tanya Ibu Park seraya menggenggam segelas kopi yang menemani makan malam bersama mereka kali ini. Melempar pandang ke arah dua orang yang duduk persis di hadapan melalui kedua mata yang tampak menganalisis agaknya telah menjadi sekelumit pembukaan ketika bulan purnama datang menyapa.

Mengedipkan mata dengan pandangan kosong, merasakan kesadaran sontak kembali terbit dalam sekian detik, Seilhwan membisu. Andaikan saja dirinya tidak dipaksa untuk datang malam-malam begini oleh Jimin—terpaksa mengorbankan sekian waktu yang seharusnya dipakai untuk merebahkan badan sepanjang malam, Seilhwan yakin sekali dia tidak akan berakhir menjadi gadis menyedihkan begini. Persetan dengan ucapan banyak insan yang sering mengatakan kalau malam minggu bersama lelaki itu menyenangkan. Astaga, gila, ya? Sebab nyatanya ini tidak terasa menyenangkan sama sekali. Mengapa rasanya dia seringkali ditipu oleh banyak orang, sih? Lagi pula ini benar-benar murni tertipu atau dianya saja yang selalu kurang beruntung?

Ah, tapi jangan terlalu dipikirkan. Aku pasti bisa melewati ini semua, batinnya berulang kali. Namun, andaikata saja Seilhwan dipersilakan untuk mengutarakan kejujuran, dia jelas bersumpah akan berteriak dan menolak mentah-mentah perjodohan tidak jelas ini. Cuma diberi waktu kencan selama tujuh hari dari hari pertama kali bertemu, yang benar saja! Dia jelas bisa menemukan banyak pria tampan dan mapan lain di luar sana dengan mudah selain si Pendek Jimin. Lagian, memangnya si Jimin itu punya kelebihan apa, sih, selain memiliki paras yang rupawan? Ah, sebetulnya tidak tampan-tampan amat juga, tapi masalahnya, Seilhwan sering mendengar pernyataan tersebut dari banyak orang. Mata mereka rabun semua atau bagaimana, ya?

Kemudian entah bagaimana, bersama sanubari nan aneh serta waktu yang tak cukup tepat, gadis tersebut dapat merasakan terdapat sentuhan yang perlahan menjamah punggung tangan kanannya yang jadi terasa kelewat dingin pada beberapa detik kemudian. Lantas kedua iris Seilhwan sontak terbuka lebar, menoleh dan langsung menemukan sosok Jimin yang tampak tersenyum dengan bahagia sekali menatap sang ibu seraya menggenggam jari-jarinya erat. Barulah tatkala si gadis merasa tak nyaman tangannya digenggam tanpa izin, mulai menggerakkan jari-jemari guna perlahan-lahan melepaskan sentuhan Jimin, Seilhwan malah makin diberi kejutan lagi ketika mendengar pria tersebut berkata, "Menyenangkan sekali kok, Ma. Ternyata Seilhwan punya kepribadian yang baik dan amat menggemaskan. Sepertinya dia mulai menarik perhatianku lama-kelamaan."

O-oke. Seilhwan terkekeh, serta-merta menyadari barangkali calon suaminya tengah mengajak dia untuk berakting secara tidak langsung atau apa pun itu sekarang. Mendapati ibu mertua yang kelihatan antusias untuk mendengarkan cerita kencan mereka, gadis tersebut mau tidak mau harus memendam niatnya untuk melontarkan penolakan. Yah, setidaknya dia tidak boleh mengecewakan banyak orang.

"Ya, Jimin benar ... Bu." Seilhwan melirik pemuda yang duduk di sampingnya dengan pandangan ragu sesaat. "Kencan kami ... berjalan dengan sangat lancar. Jimin begitu memperlakukan diriku dengan baik layaknya seorang putri, romantis sekali ... pokoknya."

Iya, romantis. Memperlakukan Seilhwan layaknya seorang putri dengan cara menurunkan dia begitu saja di pinggir jalan karena mendadak harus pergi ke rumah Seulgi? Oke, oke. Andaikan kepalanya dipaksa kembali untuk mengingat kejadian menyebalkan itu, mengenang bagaimana Jimin yang begitu tega menyuruh si calon istri keluar dari mobilnya sebab baru saja menerima panggilan yang nama kontaknya terpampang jelas di permukaan layar, bertuliskan "Si Kesayangan" yang sebetulnya mampu membuat Seilhwan muntah di dalam mobil kapan saja. Kalau bisa—gadis tersebut tentu jadi ingin lekas menggebrak meja, menunjuk Jimin dengan tatapan mengintimidasi dan berkata jika pria itu adalah lelaki kurang ajar yang pernah dia temui sepanjang masa.

Lantas pemuda kelahiran tahun '95 tersebut mendadak menolehkan pandangan ke arah Seilhwan, melemparkan tatapan bingung lantaran dia masih sedikit terkejut lantaran ternyata gadis tersebut mau mengikuti alur mainnya. Membenarkan posisi kacamata bulat yang menggantung di atas hidung, memandang sang ibu bersama kedua netra penuh harap, tiba-tiba Jimin balik bertanya, "Tapi, Ma ... bukankah ini terlalu cepat, ya? Tidakkah semuanya benar-benar harus dipersiapkan dengan baik dan matang? Persiapan pernikahan dalam waktu seminggu—apa, coba?"

Wanita tersebut—Taera—terlihat jelas menghela napas. "Persiapannya hampir selesai, kok," katanya. Dia tersenyum puas. "Perjalanannya sudah sampai 80%, serahkan semuanya pada Mama dan kalian berdua hanya cukup mempersiapkan diri untuk menjadi sepasang suami istri pada hari minggu nanti."

Aduh, sial. Mau menangis saja rasanya. Seilhwan mendengkus pelan, pelan sekali sebab cuma dirinya sendiri yang bisa mendengar suara pilu tersebut.

Menatap bergantian dua sosok yang tengah duduk persis di hadapan, sembari diam-diam berasumsi apakah menjadi seorang istri rasanya akan semengerikan itu—seperti perkataan temannya pada waktu lalu. Manalagi andaikan disuruh menikah dengan orang yang belum lama kau temui, cuma diberikan waktu mengenal kepribadian masing-masing selama seminggu, lalu yang terakhir—kau sama sekali tidak mencintainya. Atau bahkan, membenci insan tersebut sebab dia terlalu menyebalkan. Ah, double sialan.

Walakin gadis tersebut akhirnya masih mencoba untuk berjuang sebab siapa tahu terdapat iblis, malaikat atau apa pun itu yang tiba-tiba muncul di samping calon mertua, berbisik bahwa barangkali itu merupakan suatu keputusan yang bagus jika pernikahan Jimin dan Seilhwan diundur selama beberapa hari saja. Oh, atau beberapa minggu dan bahkan beberapa bulan. Yah, lebih mudah sih jika tidak usah menikah sekalian. "Tidakkah Bibi—oh, maaf, maksudnya Ibu berpikir kalau berkencan dalam seminggu merupakan durasi yang kelewat singkat? Sebab kami—" Seilhwan membatu sejenak, menimbang-nimbang dalam waktu terlampau cepat. "Sebab kami berdua merasa belum mengenal satu sama lain sepenuhnya. Seperti ... masih ada sesuatu yang harus digali lebih dalam lagi untuk mengetahui kepribadian masing-masing?"

Taera menaikkan salah satu alis. "Begitu?"

Lantas keduanya mengangguk antusias dalam diam tanpa suara.

"Begini, pernahkah kalian berdua mendengar ucapan tentang berpacaran selepas menikah?" Taera melirik sang anak sesaat, lalu meneruskan, "Itu bukanlah hal yang buruk, sebenarnya. Dan kalian harus mencobanya, percayalah. Mama bisa jamin, itu akan terasa lebih menyenangkan daripada kencan sebelum pernikahan."

Jimin mendadak mengerutkan kening, sedikit merasa tidak terima. "Hah? Siapa coba yang pernah bilang begitu? Aku jelas tidak pernah mendengarnya dari siapa pun."

"Ibumu," kata Seilhwan yakin tiba-tiba mencampuri pembicaraan. Dia mendecak, menunjukkan sekelumit tatapan malas. "Kau jelas-jelas baru saja mendengar ucapan itu dari ibumu sendiri, Jiminnie."

Hah? Jiminnie? Nama macam apa coba itu.

"Ck? Aku tidak sedang ingin bercanda sekarang, Hwannie."

O-oh, oke. Jiminnie dan Hwannie, ya? Dih, menjijikan. Panggilan menggelikan apa lagi coba ini.

Ya ampun, mau muntah.

Namun, seolah-olah Jimin mengerti bahwa gadis tersebut betul-betul sanggup mengikuti segenap alur main yang sempat dia buat mendadak tadi; alih-alih menunggu Seilhwan untuk merespons ucapan yang baru saja dia lontarkan, pria tersebut malah melirik ke arah sang ibu yang ternyata tengah diam-diam mengamati interaksi mereka semenjak tadi. Terkekeh pelan, Taera serta-merta melirik ke arah Seilhwan yang balas melihatnya dengan seulas senyum hangat—dan malu-malu sebelum dia berkata, "Ya ampun, tingkah kalian tampak menggemaskan sekali, tahu."

Jimin sebenarnya mau mengelak keras-keras jika dia bisa berkata jujur sekarang, menggemaskan apanyaaa!? Walakin pada akhirnya mereka berdua cuma bisa berteriak di dalam benak.

Laki-laki tersebut jelas ingin kembali merespon kalau saja sang ibu tidak serta-merta menukas, "Lagi pula, kalaupun kalian berdua mau membuat seribu candi atau apa pun itu dalam semalam supaya Mama bisa menyetujui permintaan kalian untuk mengundur acara pernikahan ini dalam beberapa hari—itu jelas akan menjadi tindakan yang percuma saja, Sayang." Nada bicaranya terdengar kalem, mengindikasikan bahwa permohonan tadi jelas tidak bisa disetujui begitu saja. "Toh sebenarnya juga bukan Mama yang menjadi akar dari rencana pernikahan ini, tahu. Semuanya ada di tangan Papa dan kita tidak bisa menolak rencana ini semudah itu. Cukup jadi anak yang baik untuk mengikuti semua kemauan Papa dan Mama, ya? Mama yakin hal ini tidak akan jadi begitu sulit, kok, jika kalian percaya bahwa ini semua dilakukan demi kebaikan kita bersama?" []

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang