07. The Biggest Sin

1.3K 162 75
                                    

Mati, mati, mati. Jungkook bilang, aku harus mati dan dia akan segera mewujudkan ucapan itu suatu saat nanti.

Tapi, tidak, tidak. Seilhwan buru-buru menggeleng bersama sensasi terik yang terus menjalar dari lehernya. Terhitung sudah sampai sepuluh menit lamanya dan Jungkook betul-betul tak berniat untuk melepaskan cekikan yang diberikan terhadap leher sang adik. Gadis tersebut absolut jadi tak bisa bernapas dengan baik, rasanya begitu sakit dan kini dia malah kebingungan sebab mengapa sampai saat ini kesadarannya belum juga hilang?

Jadi kini situasinya sedang berada di mana Seilhwan yang tengah merasa begitu tersiksa dan Jungkook yang kelihatan bahagia.

Dari sudut penglihatannya yang sekarang sudah terasa begitu lemah, Seilhwan melemparkan pandangan ke arah sekitar ruangan yang kelihatan lengang. Tidak ada siapapun kecuali dirinya dan sang kakak di rumah ini, ini semua tentu semakin memperkecil kemungkinan untuk dirinya selamat dari siksaan Jungkook lantaran tak ada seorangpun yang bisa dimintai pertolongan. Seilhwan sungguh menertawai nasibnya kali ini. Mungkin sebentar lagi, malaikat maut akan mengetuk pintu rumahnya guna menjemputnya untuk pergi. Lantas Jungkook dan adiknya akan hidup bahagia sebab tak ada lagi presensi seorang Im Seilhwan di dalam keluarga mereka, juga hidup Park Jimin yang kemungkinan besar juga ikutan menjadi makmur sebab dia nantinya tak akan dipaksa untuk menikah dengan seorang gadis yang tidak dicintainyaㅡbarangkali pria itu akan memperistri sang kekasih suatu saat nanti lalu mereka akan membentuk sebuah keluarga yang begitu sejahtera?

Ah, jadi intinya, eksistensi Seilhwan di dunia itu faktualnya benar-benar telah membawa petaka bagi sebagian orang, ya? Jadi seharusnya perempuan tersebut cepat-cepat menghilang dari permukaan bumi ini dan itu akan membuat orang-orang bahagia, begitu 'kan?

"Well, Im Seilhwan, aku tidak menyangka bahwa ternyata pertahananmu sekuat ini, ya? Ternyata tidak semudah itu untuk membuatmu mati," sambar Jungkook, sanggup membuat atensi milik Seilhwan kembali jatuh kepada pria tersebut dan serta-merta Gadis Im tersenyum tipis. Seilhwan sebetulnya ingin sekali merespon perkataan sang kakak dengan jawaban kurang ajarㅡseperti biasanya; tetapi sungguh ... sayangnya kini dia tak bisa melakukan hal itu lagi, karena berusaha untuk membuat kesadarannya masih utuh sampai sekarang saja susahnya minta ampun, apalagi kalau ditambah harus berjuang untuk membuka mulut di saat pasokan oksigen dalam paru-parunya tengah mengalami kondisi kritis seperti ini?

"J-jungㅡ"

"JUNGKOOK SIALAN, APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN!?" teriak seseorang yang baru saja membuka pintu. Vokal yang bersuara cukup kencang tersebut sanggup membuat Jungkook dan Seilhwan menolehkan kepala mereka secara bersamaan dalam satu detik cepatnya. Kemudian diam-diam hal tersebut membuat Gadis Im sanggup menarik kedua sudut bibirnya yang tipisㅡmembuat senyuman segembira mungkin sebab dia lagi-lagi memperoleh peluang untuk lolos dari tangan kakaknya sendiri. Kini, wajahnya betul-betul langsung berekspresi bak dia baru saja melihat ada cahaya surga yang baru saja terpancar di balik pintu rumahnya yang dibuka. Terima kasih, Tuhan!

Oke, well, setidaknya kali ini Tuhan masih mau mengulurkan tangan ke arah Seilhwan guna mengirimkan sebuah pertolongan kepada gadis itu untuk yang kesekian kali, 'kan?

ㅡㅡㅡ

Tatkala dia baru pertama kali tinggal di rumah bersama keluarga barunya, Seilhwan ingat sekali kalau kakaknya dulu pernah berkata begini kepada ibunya, "Pokoknya adik Jungkook cuma satu, Bu. Jungkook tidak mau punya dua adik perempuan! Lagipula kenapa juga Ibu bisa-bisanya mengadopsi anak dari Panti Asuhan? Sementara Ibu 'kan sudah punya dua anak kandung di rumah ini? Kenapa!?"

Lantas ibunya berteriak, "Jungkook!" Vokalnya yang terdengar cukup keras tersebut sukses membuat gadis kecil yang tengah berdiri di belakang Jungkook menangisㅡmerasa begitu ketakutan sebab baru kali ini dia melihat ibunya marah dan berteriak pada kakaknya. Kemudian, menyadari bahwa dia baru saja membuat keributan, ibu pun langsung menghela napas, berusaha untuk tetap menjaga amarah di depan anak-anaknya dan kembali berbicara dengan nada yang lebih ramah, "Jangan bersikap begini, Sayang. Maafkan Ibu."

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang