11. Wedding Dress

985 143 60
                                    

"Jim, tidak mencintai itu jelas tak bisa jadi alasan yang pantas kenapa kamu bisa-bisanya berperilaku semacam itu terhadap calon istrimu sendiri," tutur kekasihnya perlahan-suaranya tertangkap begitu hangat, menenangkan, nyaris menyamai bahana ombak yang datang ke tepi laut di tengah malam. "Aku tahu, kamu tentu masih tak bisa dengan mudahnya menerima segenap realitas getir yang telah terjadi di sini. Tetapi kamu harus tahu kalau kamu itu tidak sendirian, Jim. Sebab aku juga merasakan hal yang sama. Kita sama-sama sakit. Itu yang kamu ucapkan padaku tadi, lho, masih ingat?" Seulgi tersenyum nyeri. Perasaan lara memadati ruang kerongkongannya di setiap waktu kala gadis itu mengudarakan segenap kata. "Jadi, andaikan kamu mau mencoba untuk bersikap sebaik mungkin kepada semuanya sebagai upaya untuk berdamai dengan kenyataan jelas bukan termasuk preferensi yang buruk, 'kan?"

Huh?

Seulgi menghela napas, memandang kekasihnya dengan raut setenang mungkin. "Tidak mencintai bukan berarti harus membenci, lho, Jim. Bukankah begitu? Jadi, tolong perlakukan dia selayak mungkin. Dia calon istrimu, kamu harus ingat. Aku tahu kalau kekasihku ini merupakan orang yang kelewat baik, lho. Kamu 'kan kembarannya malaikat, benar?"

"Woi, Jimin-ssi?"

Sedikit terperangah sebelum lekas menggeserkan atensi pada Seilhwan yang tengah bertumpu persis di dekatnya bersama ekspresi heran, Jimin berhasil memulangkan kesadaran diri. Lalu andaikata saja lelaki itu mau mengingat-ingat dan menghitung, dia menduga barangkali sudah sebanyak dua puluh kali Seilhwan menggelengkan kepalanya dalam kurang lebih dua jam belakangan sebagai tanggapan atas rekomendasinya tadi. Raut wajahnya terpandang tak puas akan banyaknya gaun pernikahan yang sempat ditunjukkan pegawai butik, si gadis juga menekuk kedua tangannya di depan dada. Lantas pada gelengan kepala kedua puluh satu, barulah emosi si Jimin mulai terbit ke permukaan, memandang dongkol, kemudian bertanya dengan pandangan tidak percaya, "Heh, Seilhwan. Mau sampai kapan kau terus menggelengkan kepala seperti itu, sih? Ada banyak gaun yang bagus di sini, lalu kenapa kau selalu menolak untuk memilih salah satu di antara mereka? Kau sudah membuang banyak waktu kalau kau mau tahu. Dan aku juga sudah lelah sekali, sial."

"Ya habisnya, sih, tidak ada yang menarik di mataku." Mulai menjatuhkan raga di permukaan sofa dan berpikir sejemang, Seilhwan mengamati barisan gaun pernikahan yang bertumpu di hadapannya kala meloloskan sebuah pertanyaan dengan vokal yang dipelankan, "Eh Jim, tak bisakah kita cari gaunnya di tempat lain saja? Sebab gaun di sini agaknya tidak ada yang bisa menarik hatiku, sungguh."

"Ha?" respon Jimin tak mengerti. Sepasang penglihatan tersebut menyipit sedangkan Seilhwan hanya mendengus letih. "Gaunnya betul-betul tak ada yang bagus atau seleramu saja yang aneh, Hwan?"

"Kalau menurutku, sih, memang tidak ada yang bagus," sahutnya yakin. Gadis tersebut kemudian mengamati Jimin yang serta-merta berjalan menjauh dari posisinya, netranya tertentang tidak begitu menaruh peduli pada si pria yang sepertinya tengah mendekati gaun pernikahan bermodel ball gown dress yang berdiri di dekat dinding ruangan. Gaunnya memiliki motif bunga yang sanggup memberi kesan mewah dan glamor, kelihatan begitu panjang sampai kuasa mencium permukaan lantai yang sedang mereka pijak.

Selepas raganya berhasil menghapus jarak terhadap kedudukan gaun pengantin yang baru saja merampas perhatiannya, Jimin akhirnya memandang Seilhwan yang tengah melihatnya heran. Lelaki itu langsung saja mengarahkan jari telunjuknya ke figur gaun bersama raut tak paham. "Apakah yang ini juga tidak bagus? Ini gaun yang ibuku rekomendasikan kemarin, dan kalau menurutku ini jelas tampak begitu cantik, kok. Harganya juga sangat mahal."

"Mungkin gaun itu memang terlihat bagus dan cantik di matamu, tapi yah tetap saja aku tidak tertarik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mungkin gaun itu memang terlihat bagus dan cantik di matamu, tapi yah tetap saja aku tidak tertarik."

"Ibuku telah menyarankanku untuk memilih gaun yang ini, dan masa iya kau bisa-bisanya tidak tertarik?" tanyanya bersama raut keheranan yang semakin menjadi-jadi. "Dia memiliki selera yang bagus asal kau mau tahu."

Seilhwan mendadak memasang ekspresi tak setuju. "Iya, kah? Kalau begitu sekarang biarkan aku melontarkan sebuah pertanyaan untukmu, Tuan Jimin," balasnya. "Sebetulnya yang akan menikah besok lusa itu aku atau ibumu, sih?"

Jimin mengernyit. "Huh?"

Ikut mengerutkan kening, gadis itu lantas menghela napas tidak percaya. "Ya habisnya!" cetusnya emosi. "Dan juga, apa katamu tadi? Harga gaunnya sangat mahal? Astaga, Jimin. Memangnya kau pikir aku peduli? Tentu saja tidak, huhu." Seilhwan menggeleng pelan bersama raut seperti tengah mengejek. Ia kemudian sekonyong-konyong beranjak dari posisinya, melangkahkan tungkainya ke arah si calon suami sebelum dia membuka mulut lagi. "Lagi pula, sini ya aku kasih tahu. Jim, kau jelas tak bisa menjadikan harga sebagai tolak ukur kualitas suatu barang. Apalagi kalau mulai membicarakan tentang selera masing-masing orang. Sebab tentu akan jadi hal yang percuma saja andaikan gaun tersebut punya harga yang mahal tetapi penampilannya tidak sesuai dengan selera, Jim," pungkasnya lagi. Lalu si gadis serta-merta termenung sejemang, perlahan menggigit bibir bawahnya sendiri dan mengulang perkataannya dengan tegas, "Percuma, kau tahu? Tidak ada bedanya dengan pernikahan kita nanti, itu juga percumaaaaaaaa."

Ha?

Jimin melongo, kalakian memiringkan kepala sebab lagi-lagi mendadak merasa kebingungan. Diam-diam terselip sekelumit perasaan nyeri yang melintas dalam roman tatkala mereka berdua saling melirik tanpa suara. Sentimen berontak yang awalnya terus dipaksa untuk tetap melikut dalam sukma gadis itu sontak berhasil mendominasi kepalanya sesaat. Sesuatu yang tengah mengendap di dalam sana seolah kerap berbisik bahwa semestinya dia melawan predestinasi yang ada, tidak terus memasrahkan diri kemudian membiarkan semua orang memperlakukannya dengan semena-mena, dan semua bisikan tersebut berhasil membuat mulutnya terasa begitu mual. Masih membiarkan kedua lengan menekuk di depan dada, Seilhwan kemudian serta-merta hanya terdiam menunduk dan memandangi gaun pilihan Jimin serta permukaan lantai yang terbuat dari marmer tersebut.

Lantas kali ini Jimin kembali membuka suara, "Loh, kenapa sekarang kau tiba-tiba malah membahas mengenai pernikahan?"

"Ya karena 'kan dua hal tersebut memiliki konteks yang sama," lirihnya. "Sama-sama percuma, huhu."

Kemudian Jimin kelihatan tidak mau ambil pusing. "Ah, sudahlah. Pokoknya menurutku gaun yang ini bagus. Lebih baik pilih yang ini saja daripada bingung terus."

"Lhoooooo? Tapi aku tidak mau, ya!" Seilhwan memprotes. Menggelengkan kepala dengan tegas, lantas melaanjutkan dengan suara merajuk seperti bocah yang tidak diperbolehkan memakan sebatang es krim. "Masa iya aku harus memakai gaun itu, sih, Jim? Gaunnya panjang sekali! Nanti kalau aku mendadak terjatuh karena tidak sengaja menginjak gaun pernikahan yang tengah kupakai sendiri bagaimana? Nanti malu, tahu! Pokoknya tidak mau, ah."

"Itu risiko. Lagi pula juga tidak ada opsi lain lagi dan sungguh aku juga tak peduli, Hwan."

Seilhwan menatap dendam. "Oh? Ya sudah. Kalau kau masih bersikeras memilih gaun yang itu, sana pakai saja gaunnya sendiri. Katanya bagus, 'kan?" Gadis itu kemudian mengangkat salah satu alisnya. "Jadi nanti kau yang pakai gaun, lalu aku yang pakai kemeja. Puas?"

Astaga, gadis ini.

Satu hela napas lelah akhirnya kembali lolos dari kedua belah labium Jimin. Ia menyugar surainya bersama sekelumit roman frustasi, berpikir agaknya mau tak mau dia mesti mengalah lagi kali ini. Berdamai dengan kenyataan. "Oke, ya sudah, aku menyerah. Jadi sekarang kau maunya bagaimana?"

Dalam hitungan detik cepatnya, ekspresi ngambek Seilhwan berubah kembali. Yes, pikirnya. Jadi, sekonyong-konyong mengekspos senyum tipis dan nyaris membuat Jimin merasa kembali terbebani saat mendengar, "Kita sepertinya harus pergi ke butik yang lain deh, Jim," tandasnya. "Sebab aku baru ingat kalau aku ternyata pernah punya gaun pengantin impian yang berada di suatu tempat." []

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang