40. How Could You Leave Me?

629 61 49
                                    

sebenernya nggak yakin kalo banyak yang nungguin, tapi gapapa. aku bakal tetep update (ya iyalah memang sudah kewajiban) walaupun ini sudah jalan tiga bulan sejak chapter terakhir dipublikasi. 👍

selamat membaca! <3









ㅤㅤㅤTERKADANG, SEILHWAN merasa bahwa dia tidak memiliki adikara penuh untuk mengendalikan tubuhnya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ㅤㅤㅤTERKADANG, SEILHWAN merasa bahwa dia tidak memiliki adikara penuh untuk mengendalikan tubuhnya sendiri. Sudah terhisab sebanyak dua kali janin tumbuh dalam perut tanpa adanya keinginan si gadis untuk menjadi seorang ibu. Pengguguran paksa yang pernah dilakukan dulu juga terjadi sonder kehendak si pemilik raga. Kendati belum pernah terpikirkan dalam serebrum perihal bagaimana dia yang serta-merta diharuskan untuk menjadi orang tua pada suatu hari nanti, tidak pernah sedikit pun terbayangkan oleh Seilhwan mengenai karsa untuk membunuh darah dagingnya sendiri. Berhubungan badan, hamil, menggugurkan kandungan—ketiganya berlangsung tanpa kemauan gadis tersebut selaku pemilik tubuh. Lantas kalau sudah begini, salahkah Seilhwan andaikata dia pada akhirnya memutuskan untuk meniadakan embrio yang ada di rahimnya kembali? Seperti waktu itu. Bedanya, pertimbangan kali ini seutuhnya diambil dari kehendaknya sendiri. Bukan karena orang lain dan tanpa campur tangan siapa pun lagi.

Jadi, salahkah?

"Aku yakin dia adalah anak kita."

Perempuan itu tahu-tahu mengangkat tilikan, mengerjap, lantas kembali menaruh segelas kopi tatkala mendapati eksistensi sang suami yang baru saja duduk di hadapan dengan meja makan sebagai partisi. Di sana, pada permukaan meja di mana Seilhwan meletakkan satu gelas kopi bersama piring berisi tteokkebi hot dog secara berhampiran, si gadis sontak mengakhiri aktivitas makan dan memandang Jimin datar sebelum bersabda, "Maaf, tapi—aku sama sekali tidak ingin mengakui janin ini. Toh sebentar lagi dia akan mati."

Pemuda tersebut seketika menahan napas. "Kumohon—jangan."

Aku muak, Jim. Rasanya lelah. Menyunggingkan senyum tipis nan getir, Seilhwan terbengkalai sesaat. Mudigahnya tidak boleh lahir, harus segera digugurkan sebab bertahan hidup pun tidak menjamin calon bayinya akan memperoleh perlakuan baik oleh semesta hingga dewasa nanti. Ada banyak kementakan buruk, luka, rasa sakit tidak berkesudahan, hingga rutinitas terapi yang harus dilakukan si gadis kelak apabila kandungannya masih dipaksa untuk tetap menyapa rawi pada suatu saat nanti. Seilhwan hanya tidak ingin membuat anaknya kelak mempertanyakan mengapa dia harus terlahir ke negeri fana ini serupa apa yang pernah Seilhwan tangisi dulu di kamar mandi. Perempuan itu telah menafakurkan banyak perihal mengenai argumen apa saja yang berada di balik keputusannya untuk meluruhkan embrio lagi. Bukan individualis, dia hanya tengah berikhtiar untuk lebih banyak menaruh kepedulian terhadap dirinya sendiri.

Si gadis menatap tidak hirau. "Kau tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam tindakan yang akan aku lakukan terhadap tubuhku sendiri, kurasa." Seilhwan menghela napas sejemang, berkata setengah mendesak, "Kita harus berpisah, bukan? Di mana surat perceraiannya? Aku akan langsung menandatangani gugatan itu supaya kita bisa langsung menyelesaikannya di pengadilan."

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang