38. Like I'm Gonna Lose You

492 52 37
                                    

hai. ada yang kangen?

buat yang udah mau nunggu panasea update sampe sebulan lamanya, aku mau ngucapin terima kasih banyak-banyak atas kesabarannya! kebetulan di chapter ini, aku dengan berbaik hati menaburkan lebih banyak gula, hehe.

oke, oke. pokoknya, selamat membaca. comments and vote will be very appreciated, ya.

...









ㅤㅤㅤ"KAU INI ... kenapa suka sekali mencari penyakit, sih?" Jimin memandang tidak habis pikir, membawa makanan juga minuman dalam satu nampan pada genggaman, kalakian meletakkannya perlahan di permukaan meja samping kanan ranjang. Ini sudah terhitung kesekian kali Jimin menjumpai istrinya dengan penampakan serapuh ini. Menatap penuh cemas, pemuda tersebut terdengar begitu serius kala bertanya, "Aku panggilkan dokter, ya?"

Mengerjap, Seilhwan menolehkan kepala saat menemukan suaminya yang ternyata sudah kembali dari dapur untuk membuat sarapan. Jasad gadis itu terkampai, bergeming di balik selimut, merenung layuh, jelas memerlukan beberapa detik sebelum vokal lirihnya kembali memenuhi ruangan di pagi menjelang siang ini. "Aku hanya sedang merasa tidak enak badan, lho?"

Jimin menentang remai. Kini Seilhwan tentu kelihatan serupa seorang pasien di rumah sakit yang baru saja terbangun dari koma: kulitnya pasi, pandangannya lindap, lemaknya makin hari kian lenyap dihisap udara. Lelaki itu lantas menyahut menahan perih, "Tapi wajahmu tampak pucat sekali."

Sontak bertenggang untuk beranjak dari posisi terbaring, kali ini sang lawan terkekeh pelan. "Memang sudah begini dari lahir, Idiot."

"Tidak, tidak. Aku yakin pasti ada yang tidak beres." Jimin memberi interval, bergegas duduk di dekat si gadis. "Jauh di dalam sana, kau pasti sedang menahan rasa sakit, bukan?"

Hehe, kok tempe?

Menertawakan kondisi tubuh sendiri, Seilhwan lalu menggigit bibir diam-diam. Andaikan ingin berkata jujur, memang benar bahwa kini dia tengah memendam rasa luar biasa pedih di dalam diri. Seilhwan sendiri tidak tahu apa sebabnya. Barangkali ini karena lambungnya yang jarang menampung makanan, atau lantaran kerongkongannya yang telah menelan sejumlah obat tidak pada dosisnya. Jelas masih ada banyak probabilitas. Manalagi mengingat gaya hidup si gadis yang tentu jauh dari kata sehat, usia Seilhwan kelak mungkin saja tidak kalah pendek dari masa hidup nyamuk apabila dia terus bersikap apatis terhadap dirinya sendiri.

Alih-alih berterus terang, si gadis justru mengernyit. "Apa, sih?" tanyanya heran. "Alay, deh."

"Hwan, cukup—"

"Wah, kau membuat dakjuk? Itu terlihat lezat." Serta-merta mengalihkan topik selepas berhasil menginterupsi, Seilhwan jelas sepenuhnya tertentang tidak ingin melanjutkan pembahasan tadi saat kembali berkata, "Suapi aku, dong."

Jimin mengerutkan kening. "Aku? Menyuapimu?"

"Ih, ih," kata si gadis tidak percaya kala menjumpai tanggapan sang suami. "Aku masih merasa tidak enak badan, lho? Masa disuruh makan sendiri? Tega sekali, sih, dasar suami minim perasaan."

"Bukan begitu—"

Seilhwan buru-buru menukas lagi, "Ayo, cepat suapi." Dia arkian membuka mulut sembari mengatupkan kedua mata. "Aaa~ "

Jimin lalu menghela napas, diam-diam menahan senyum. Sungguh tidak pernah terbayangkan olehnya bahwa sang istri akan bertingkah semanja dan semanis ini kala tubuh ringkih si gadis tengah diserang demam. Namun, dusta andaikata tidak ada sebongkah rasa gugup yang bermukim di dalam sana. Kebahagiaan dan sisa kepuasan akan peristiwa semalam tentu masih terpendam dalam atmanya. Absolut. Dia jelas takkan lupa mengenai perasaan candu dan nyaman tatkala menjumpai rupa adiwarna milik Seilhwan yang kelihatan begitu pasrah terbaring di bawah raga. Kendati masih—rasa kecewa terhadap perihal buruk yang ada tidak lekas hilang dari dalam dada. Merasa geram dan tenteram dalam satu waktu. Jimin realitasnya masih hendak menuntut banyak pernyataan dari si gadis, tetapi agaknya niat tersebut kurang layak dilaksanakan dalam kondisi sekarang ini.

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang