32. Stuck With You

678 83 37
                                    

ㅤㅤㅤSEGUMPAL TINTA BERCORAK HITAM PEKAT seolah baru saja ditumpahkan pada permukaan langit yang membentang luas di atas kepala. Sudah pukul nyaris sembilan. Para bintang dan bulan kali ini sedang absen dalam meramaikan semesta untuk semalam. Tak ada awan yang berjalan mengiringi langkah; hanya terdapat angin malam yang terus menyapu permukaan wajah, menyelimuti tubuh yang sedang merasa cukup kedinginan, menerbangkan segenap helai rambut serta perlahan mengeringkan air mata yang sampai kini tak kunjung berhenti mengalir juga. Kondisi jalan sungguh tampak kelewat sepi jadi Seilhwan tidak ragu untuk menunjukkan sisi lemahnya di sini. Berusaha mengatur napas yang sebelumnya terasa begitu sesak, mengedarkan pandangan ke segala arah, gadis bersurai mentari itu melangkah sendirian di tepi jalan bersama raut wajah yang kelihatan begitu hampa.

Semuanya terjadi begitu cepat. Hingga kini Seilhwan bahkan masih terheran-heran mengapa Jimin bisa menaruh perasaan padanya dan mengaku terang-terangan seperti tadi. Perempuan itu jelas merasa terlampau kaget dan menyesal. Diam-diam juga merasa bersalah lantaran telah melayangkan telapak tangan untuk menampar sang suami namun perbuatan lancang Jimin terhadapnya juga tidak bisa dibenarkan. Pikiran Seilhwan jadi sungguh terasa begitu kalut sampai akhirnya dia berpikir apakah serta-merta meninggalkan rumah seperti ini termasuk pilihan yang tepat?

Entahlah.

Well, gadis itu barangkali sudah menipu dirinya sendiri selama berulang kali dalam sebulan penuh. Selama ini, Seilhwan kerap bersikap abai terhadap perasaannya sendiri demi menghindari luka serta rasa takut yang mungkin akan menghampirinya lagi. Dia berusaha untuk menghapus banyak ingatan tentang Jimin yang terlalu baik mendalami peran sebagai seorang suami, yang senantiasa berada di sisinya untuk memeluk dan memberi ketenangan tatkala jiwa gadis itu tengah dipenuhi oleh rasa sakit. Seilhwan tidak ingin jujur, tidak akan pernah ingin jujur dan meyakinkan diri tentang perasaannya selama ini. Mulut serta isi kepalanya terus menangkal bahwa eksistensi pemuda di sampingnya telah berhasil mengusir kecemasan yang sempat memenuhi dada, mewarnai hati si gadis yang sebelumnya hanya bercorak biru dan abu-abu serta sanggup memberinya rasa nyaman—layaknya rumah.

Tetapi, sebentar. Definisi rumah itu sendiri memangnya seperti apa?

Seperti keluarganya?

Seperti Yoongi dan Kak Serim?

Seperti Taehyung?

Atau benar seperti Jimin?

Sebetulnya, Seilhwan sendiri tidak terlalu banyak memahami tentang itu. Namun, Dokter Kim pernah berkata padanya kalau Taehyung bukanlah rumah. Sebab rumah tidak mungkin melarang seseorang untuk menjadi diri sendiri, tidak mungkin hanya memberi kebahagiaan sesaat kemudian menumpahkan rasa sakit yang tak terkira, arkian berulang kali melontarkan permintaan maaf lantas kembali melukis goresan luka. Pemuda itu nyatanya tidak pernah bisa menjadi rumah yang ramah kendati Seilhwan telah memberi afeksi sebesar semesta.

Namun, apakah gadis itu bahagia tatkala menghabiskan waktu bersama Taehyung yang dulunya pernah menjadi seseorang yang amat dia cintai bahkan hingga kini pun masih? Tentu saja. Sangat bahagia. Apa dia merasa nyaman? Iya. Karena sewaktu-waktu pemuda itu memperlakukannya dengan kelewat baik. Arkian kendati begitu, apa dia juga merasa sakit ketika Taehyung menggenggamnya begitu erat? Jelas. Sebab genggamannya sungguh terasa begitu kuat bak nyawanya tengah dicabut paksa oleh Malaikat Maut.

Kalau begitu, berarti memang hanya Jimin yang pantas disebut rumah.

Sebab agaknya itu bisa menjadi alasan mengapa setiap ada kesempatan barang semenit saja; kenangan manis tentang keduanya sudah kembali menyundak lautan isi kepala, berwujud banyak sekali bak para bintang di tengah kelamnya semesta manusia. Sekonyong-konyong memproyeksikan wajah tenang yang tersenyum tulus, memandang Seilhwan yang baru saja keluar dari kamar mandi lalu berkata dengan nada setengah heran, "Kau 'kan baru sembuh dari demam. Kenapa langsung nekat mandi di malam hari begini, sih? Mana di luar sedang hujan," ujarnya. Menghela napas sejemang, menghabiskan segelas kopi dan meneruskan, "Memangnya tidak kedinginan? Nanti sakit lagi baru tahu rasa."

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang