21. What Do You Think?

920 133 139
                                    

Hari ini persis sudah lima hari lamanya Jimin menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya setelah kemarin mereka sempat berlibur bersama ke Pulau Jeju selama tiga hari dengan gembira. Melupakan presensi segenap masalah dalam sekejap dengan membahagiakan orang-orang yang dia sayang. Kendati tahu bahwa afeksi ceria semacam ini tidak memiliki sifat yang persisten, tetapi Jimin tidak peduli. Setidaknya eksistensi mereka saat ini mampu membuat kepalanya merasa sejuk meski cuma sementara, bukan?

Jadi untuk sekarang, setelah berhasil meninggalkan rumah dan menetap di kediaman milik Seulgi yang terletak jauh dari tempat tinggalnya, Jimin sungguh merasa lebih nyaman. Lebih baik begini, batinnya. Dia lebih baik tinggal di sini daripada berada di bawah atap yang sama bersama perempuan yang bahkan tak pernah Jimin suka.

"Kira-kira sampai kapan kamu akan menetap di sini, Jim?" Merupakan pertanyaan pertama yang Seulgi berhasil lontarkan pada sore ini. Dia lantas menyambungkan tatkala Jimin sontak menatapnya dengan dahi yang mengerut di kursi seberang, semacam, "Bukan apa-apa. Aku hanya khawatir dengan keadaan istrimu, Seilhwan ya, namanya? Dia memangnya sungguh tidak apa jika ditinggalkan sendiri dalam waktu lama seperti ini?"

"Apa? Kamu tidak perlu memikirkannya." Sejemang membatu, Jimin kemudian terkekeh, menggeleng pelan dan merespons dengan heran, "Yang penting aku ada di sini, 'kan? Bersama kamu? Lantas kenapa kamu malah mencemaskan kondisinya seperti itu?"

"Jim—"

Jimin serta-merta menukas, "Aku sudah tidak bisa memperlakukannya dengan baik lagi, Gi, ngomong-ngomong."

Seulgi seketika diam, menggigit labium bawahnya dengan afeksi getir. "Apa? Kenapa begitu? Padahal waktu itu kamu sudah berjanji untuk memperlakukannya dengan baik. Sebab dia tidak punya salah apa-apa, Jim."

"Kata siapa? Kalau sekarang dia jelas sudah punya. Dia telah mengingkari janjinya sendiri padaku, kamu tahu?"

"Janji—apa?" Seulgi memberi interval sejenak, mengerutkan kening. "Kamu tidak pernah memberitahuku tentang itu."

"Tentang hubungan kita." Jimin tersenyum kecut dan menjumpai kedua pipi Seulgi yang sekonyong-konyong bercorak merah samar. Lelaki itu menghirup udara, berusaha meneruskan dengan tenang seraya meletakkan dagu pada telapak tangan yang tengah bertumpu di atas meja makan, "Dia pernah berjanji bahwa dia akan membantuku untuk menjaga hubungan kita dari Mama, tapi kemarin dia malah bisa-bisanya membiarkan Mama datang ke rumah tanpa sepengetahuanku persis di saat kita sedang melepas rindu, hm? Aku tidak suka."

Apa? Seulgi seketika terdiam. Merasa kelewat bingung. Mengapa Seilhwan tega melakukan hal sejahat itu? Apa karena wanita itu cemburu dengan relasi yang tengah dijalankannya bersama Jimin sampai saat ini? Tetapi, masa iya? Kalau benar iya, mengapa? Apa itu merupakan sekelumit indikasi bahwa Seilhwan mulai menaruh rasa terhadap kekasihnya sendiri? Well, Seulgi betul-betul jadi bingung sekarang. Tidak tahu lagi harus meletakkan kepercayaan kepada siapa.

Seulgi juga tidak tahu mesti sampai kapan dia membiarkan Jimin mempertahankan hubungan mereka dengan sesulit ini. Hingga kekasihnya barangkali telah dianggap durhaka oleh ibunya sendiri. Ah, kini perempuan tersebut sungguh jadi merasa tak enak hati. Sebab, kau tahu? Nyatanya Jimin itu termasuk orang yang terlampau keras kepala. Terus bertingkah tak acuh meski sudah diberi nasihat sebanyak dosa yang dikumpulkan satu manusia dalam beberapa tahun lamanya, Jimin sungguh tetap bertindak sesuai apa yang dia mau tanpa mendengarkan banyak perkataan dari orang-orang.

Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?

Arkian dalam durasi pendek untuk menampik pemikiran tidak paham wanita tersebut, Si Park lantas mengeluarkan sebuah benda berbentuk tali berukuran panjang dan juga mini dari dalam kantung celana—terbuat dari bahan liontin emas putih yang memiliki huruf "JS" di bagian tengahnya.

[1] Panasea ㅡ P.jmTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang