Wikrama

51.7K 3.6K 109
                                    


"Mas?" Damar tersentak ketika Kencana membuyarkan lamunannya.

"Mas ada masalah? Akhir-akhir ini Mas sering banget melamun."

Damar menggeleng namun kemudian tersenyum kepada istrinya itu. "Mas nggak papa kok." Namun Kencana tak percaya begitu saja, ia tahu jika suaminya sedang ada masalah dan seperti ada rasa yang mengganjal di perasaannya.

Kemudian Kencana beranjak dari tempat duduknya yang berada di seberang. Perempuan itu berpindah ke tempat duduk di samping suaminya.

"Mas, aku bukan orang yang mudah di bohongi. Nana tahu jika Mas punya masalah namun Nana sadar jika Mas mungkin saja butuh waktu untuk itu. Tetapi Mas lupa jika Nana adalah partner Mas yang siap sedia mendengar keluh kesah Mas. Jadi Nana harap mas tidak menyimpan masalah Mas sendiri." Lalu Kencana memegang  tangan kanan sang suami.

"Semakin Mas menutupi masalah itu, semakin menyakiti diri Mas dan diri Nana. Seburuk dan seberat apapun masalah itu Nana akan selalu siap mendengarkan sekalipun itu kenyataan yang menyakitkan. Mas percaya kan?"

Mungkin kemarin Kencana memberi waktu untuk Damar agar laki-laki itu siap berbagi dengannya sebab sejak lusa Damar berubah menjadi pendiam dan tidak secerewet seperti biasanya. Laki-laki itu juga seperti menyimpan beban sehingga kali ini Kencana sudah gemas dan mendesak sang suami agar mau berbagi dengannya. Ia beranggapan jika suami istri selayaknya saling berbagi, saling terbuka sehingga ia berusaha menjadi seorang istri yang dapat menjadi tempat keluh kesah dan tempat dimana suaminya itu pulang.

"Mas, Nana mau peluk Mas ya? Beberapa hari ini Mas sering diam sehingga Nana pengen meluk jadi mikir dua kali." Ucapan Kencana barusan membuat Damar tergelak. Sejak kapan istrinya itu menjadi manja? Mungkin setelah mengandung anaknya, dengan cepat Damar pun menarik istrinya itu kedalam pelukannya.

Tangan kanan Damar tergerak mengelus rambut Kencana, menikmati pelukan yang terasa nyaman itu. Kemudian pelukan mereka terurai. Lalu tangan Damar bergerak menuju perut sang istri. Tangannya bergerak mengusap perut Kencana lembut.

"Hei anak Ayah, gimana di dalam perut mama? Enak nggak? Ayah nggak sabar pengen ketemu anak Ayah yang cantik dan ganteng ini. Sehat-sehat terus ya nak." Damar kemudian bergerak dan melafalkan doa sambil mencium perut sang istri. Hal itu tak luput dari pandangan Kencana yang terharu atas sikap Damar. Rasanya perempuan itu tak rela bila Damar harus pergi nantinya. Ia seperti tak rela kehilangan sang suami yang begitu menyanyanginya. Namun apa daya, ia harus siap setiap waktu ketika tiba-tiba sang suami harus di panggil oleh negara.

Kencana membalas tatapan Damar dengan seulas senyuman. Hal itu justru membuat Damar bimbang untuk mengutarakan isi hatinya. Ia tak rela harus meninggalkan sang istri yang sekarang sedang mengandung. Namun cepat atau lambat istrinya itu harus tahu sehingga ia memantapkan hatinya untuk berbicara dengan Kencana.

"Hmm, Mas pengen ngomong sesuatu sama kamu."

"Kemarin Mas mendapat tugas untuk operasi militer di Papua. Ini sangat mendadak, senin depan Mas harus berangkat."

Kencana justru tersenyum mendengar kejujuran sang suami. Inilah yang ia tunggu dari Damar, namun begitu hatinya tiba-tiba sesak seperti tak rela, tetapi ia harus tegar. Sudah menjadi resiko seorang istri tentara yang harus siap di tinggal tugas kemana saja.

Damar tersentak melihat senyuman sang istri. Ia kira akan mendapat wajah sedih Kencana, namun justru sang istri tersenyum lembut seakan sudah terbiasa dengan hal itu.

"Mas adalah Abdi negara, Nana juga. Namun bedanya Mas harus siap sedia bila negara memanggil Mas. Mas harus tetap berdiri tegak untuk ketahanan negara ini. Dan sedari awal Nana tahu jika menjadi istri prajurit juga harus siap bila suatu saat sang suami harus tugas entah itu dimana. Nana InsyaAllah ikhlas Mas, sudah menjadi keharusan bagi Nana untuk tetap kuat ketika suatu saat nanti Mas harus meninggalkan Nana untuk bertugas dan inilah tiba saatnya."

Cinta AbdinegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang