Kunjungan

57.5K 4.5K 60
                                    


Mencium aroma rumah sakit yang ia benci serta merasakan badannya yang seakan remuk adalah hal pertama kali yang Kencana rasakan setelah siuman. Ia menatap warna ruangan yang serba putih gading dengan pandangan agak buram.

"Alhamdulillah kamu udah siuman nduk." Disamping kiri, ibunya menatap cemas bercampur lega. Ibu lega akhirnya anak bungsunya itu sadar.

"Haus." Ucap Kencana pelan. Tenggorokannya terasa sangat kering saat ini.

Dengan cepat, ibu mengambil segelas air putih di nakas samping ranjang. Ibu juga membantu Kencana minum dengan memegang gelas dan sedotan.

"Istirahat dulu. Lukamu masih basah dan kenapa kamu nggak sadar kena tipus?" Ibu menahan Kencana yang hendak bangun.

Kencana mengernyitkan dahinya, "Tipus Bu?" Pasalnya ia tak mempunyai riwayat sakit tipus.

Ibu mengangguk dan kembali duduk di samping ranjang Kencana, "Ibu kaget waktu dokter bilang kamu kena tipus. Katanya juga telat dikit kamu juga kena DB. Kok sampe nggak sadar gitu tho, nduk." Sedikit mengomel, tetapi ibu tetap khawatir dengan keadaan anaknya tersebut.

"Nana nggak tau, Bu." Cicit Kencana pelan. Ia sadar jika semua itu juga salahnya. Salahnya tak bisa menjaga kesehatan.

Ibu terlihat menghela nafasnya. Rasanya tak etis dan tega jika memarahi anaknya saat ini.

"Bapakmu ada dinas hari ini. Tadi malam pas Ibu dapat kabar kamu ada insiden itu Ibu sendiri. Bapakmu 2 hari dinas bareng bapak Kapolri dari kemarin."

"Dinas kemana Bu?"

"Ke Aceh."

"Kok nggak bilang Nana kalau Bapak dinas?"

Ibu mencebik, "Ibu sudah hubungi kamu dari kemarin pagi tapi kamu nggak bisa di hubungi. Salah siapa coba?!"

Kencana meringis, ia juga bersalah dalam hal ini. Sejak 3 hari yang lalu, Kencana jarang pulang dan memilih menginap di kantor. Hal itu juga yang membuat ia tak tahu keadaan rumah.
Kencana kemudian melirik jam dinding kamar inapnya. Sudah menunjukkan pukul 17.00 yang artinya ia tak sadar selama 16 jam.

"Nanti malam Guntur sama Genta ke sini." Ucapan ibunya barusan membuat Kencana mengernyitkan dahinya.

"Nana nggak kenapa-napa Bu. Nggak perlu bang Guntur sama Bang Genta kesini."

Ibu langsung menatap galak anaknya itu. Bisa-bisanya bilang tidak apa-apa setelah membuat semua orang jantungan akibat berita tertembaknya putri di keluarga Airlangga itu.

"Dijahit hampir 20 sama opname seminggu tidak apa-apa nduk? Kamu ini loh perlu Ibu rukyah ya!?"

Kencana meringis pelan. Ia sadar jika ibunya sangat khawatir sehingga langsung marah ketika ia mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Padahal keadaannya menunjukkan sebaliknya.

Kemudian terdengar suara salam dan pintu kamar terbuka. Disana ada mas Genta beserta anak istrinya.

"Loh Abang kok udah datang?" Tanya ibu yang kaget melihat putra sulungnya sudah datang. Padahal di telepon tadi mengatakan akan sampai sekitaran isya.

Bang Genta beserta istrinya, Mbak Ajeng, langsung mencium punggung tangan Ibu. Sedangkan Rumi, langsung merengsek ke arah Kencana yang tersenyum ramah menyapa keponakannya itu.

"Gimana nggak datang Bu? Ibu nelpon Genta sambil nangis-nangis. Siapa sih yang tega kalau nggak datang cepet-cepet?" Jawaban Genta membuat Kencana menatap ibunya.

Seperti biasa, ibu hanya menunjukkan cengirannya. "Ibu nangis?" Bukannya menjawab, ibu langsung menggendong si kecil yang sedari tadi berada di gendongan Mbak Ajeng. Ibu selalu merasa gengsi jika di ingatkan jika beliau menangis.

Cinta AbdinegaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang