Sorot matanya menyiratkan kebencian yang mendalam. Tangan terkepal erat sampai-sampai sedikit bergetar karna saking kuatnya. Rahang tegasnya sedikit dinaikkan karna menahan emosi membara bak gunung yang siap meluncurkan lava. Sepulang dari sekolah, Alardo terkejut bukan main melihat orang yang paling ia benci itu masih berada di kediaman rumahnya. Seharusnya orang itu sudah pergi ke tempat asal seperti yang sudah dijanjikan. Tapi, Alardo merasa tertantang untuk menguras emosinya siang ini yang membuatnya harus terjun ke dalam jurang kegelapan.
"Ngapain lo masih di sini?" tanya Alardo ketus dengan nada tingginya.
Veera memasang wajah memelas. Menatap Alardo penuh harap. "Mama di sini karna papa kamu sakit, kamu pasti sibuk dan nggak biasa jagain dia. Jadi, mama masih ada di sini buat ngurus papa kamu."
Veera tidak tinggal dengan Vanio dan juga Alardo. Ia selalu disibukkan dengan pekerjaannya yang banyak menguras waktu. Jadi, Veera sering pesan hotel dan tidak pernah pulang ke rumah. Alhasil, Alardo muak dan menyuruh ibunya untuk tidak perlu pulang. Sebenarnya Alardo merasa senang ibunya tidak pernah pulang, ia tak perlu melihat wajah memelas dari ibunya lagi. Alardo yakin, itu hanyalah kedok yang dibuat-buat oleh ibunya.
"Nggak usah peduli sama gue." balas Alardo sinis. "Gue bisa ngerawat papa sendiri." lanjutnya dengan nada dingin.
"Nak, kamu jangan gitu, mama rela nggak kerja buat ngurus papa kamu. Seharusnya, kamu bantuin mama dong ngurus bisnis."
Alardo mengela nafas. "Bisnis? Lo nyadar nggak?" Alardo mendekati ibunya yang duduk di meja makan. Berbisik di telinganya.
"Seluruh aset kekayaan keluarga Zordan itu, punya Audrey. Dan lo, nggak berhak buat ngatur-ngatur bisnisnya. Dasar wanita jalang." maki Alardo dengan raut wajah puas saat melihat kedua manik mata Veera membulat sempurna. Entah sedang terkejut bersamaan dengan menahan amarah atau ada hal lain yang disembunyikan.
Bagi Alardo, ia tidak pernah memanggil Veera dengan sebutan ibu. Jika kebanyakan orang memanggil ibunya dengan sebutan ibu dan nada bicara sayang yang kental, berbeda dengan Alardo. Sejak kejadian sekitar hampir sepuluh tahun silam, ia bahkan tak pernah memanggil Veera ibu. Selalu kata 'lo' yang ia lontarkan dan nada bicara yang menusuk. Itu hal biasa untuknya. Mungkin kata orang itu tidak sopan dan juga durhaka. Namun, Alardo merasa tidak takut ia mendapatkan karma. Ibunya pun bertindak jauh lebih kejam.
Tanpa babibu lagi Alardo membalikkan badan, segera melangkah pergi.Sebuah suara menghentikannya. "Kamu boleh benci sama mama." ucap Veera lantang. Alardo tidak dapat melihat raut wajah Verra karna Posisinya yang membelakangi.
"Tapi, kenapa kamu berani manggil mama wanita jalang? Serendah itu kah mama di mata kamu?" Veera sedikit terisak.Isakannya semakin kencang dan menjadi-jadi.
Seolah tak mendengarkan ucapan dari ibunya, Alardo melangkah menuju ke lantai atas yaitu kamarnya. Tak peduli dengan semua rengekan memilukan itu. Yang jelas, bagi Alardo itu hanyalah sebuah topeng penutup sifat asli dari ibunya. Alardo tak sebodoh itu!
Brakk..!!
Alardo menutup pintu kamarnya kencang. Mengunci pintu itu rapat-rapat. Dia bersandar di depan pintu sambil menghembuskan nafas panjang. Lelah memikirkan semua ini.Sampai kapan Alardo akan hidup dalam kemewahan di atas penderitaan orang lain. Bahkan ia tidak bisa membayangkan bagaimana tatapan membunuh yang Audrey layangkan padanya. Alardo tidak pernah menduga akan bertemu cowok itu. Yang jelas, bagaimana mungkin Laura berteman dengannya sudah sangat lama. Kenapa semuanya jadi serumit ini.
Alardo juga tidak mungkin menyalahkan Audrey. Karna semua ini adalah kesalahan ibunya. Ia harus berusaha untuk membongkar semua ini. Cepat atau lambat, semua akan berakhir. Tapi, yang paling membuat Alardo sesak. Audrey menyukai Laura.
KAMU SEDANG MEMBACA
Her Secret [ End & Completed ✅]
Teen Fiction(Segera dibaca sebelum dihapus) Hidup dalam limpahan harta tak membuat Alardo Ravaella merasa bahagia. Justru ia menganggap hal itu adalah sebuah kutukan. Seorang badboy yang suka balapan liar dan nongkrong di pub, Alardo juga tidak pernah mengakui...