"Tunggu sebentar, Nak. Jangan pergi dulu." Bu Pelangi menarik tubuh Edel dan membekapnya dalam pelukan—membiarkan gadis itu merasa tenang, karena ia pikir Edel sudah dibuat menangis oleh Regan. "Siapa nama lengkap dan kelas berapa kamu, Nak?"
"Samantha Edelweiss Nadhivea dari kelas X IPA 3, B-bu." Edel berucap dengan suara yang tak terlalu kencang. Tunggu ... apa jangan-jangan Bu Pelangi akan membuat laporan pada wali kelas Edel? Tidak ... jangan sampai. Mau ditaruh di mana muka Edel? Sudah dikenal sebagai makhluk tukang menangis, sekarang ditambah pula dengan kekeliruan.
"Baiklah, kalau kamu disakiti dia lagi, bilang saja sama saya, nanti saya lapor ke wali kelas supaya kalau dia berani jahat sama kamu, dia bisa dihukum."
Edel terdiam. Aduh bukan itu penyebab ia menangis, lantas mengapa guru berkucir satu tinggi itu justru sibuk mengarang?
"Saya nggak apa-apain dia, Bu!" ucap Regan kesal. Bukankah di sini ia adalah korban, lalu mengapa sekarang gadis aneh ini yang dibela? Sungguh lelah jika berhadapan dengan guru perempuan.
Bu Pelangi menatap Regan tajam. Tangan kanannya masih mendekap Edel yang menyembunyikan kepala, sedangkan tangan kirinya meletakkan jari telunjuk di depan bibir merah merona miliknya. Matanya terbelalak lebar.
"Tidak usah banyak bicara kamu. Kalau memang mau pacaran, ya ... tidak usah kasar gitu! Jangan seperti mantan saya, eh curhat. Sudah pokoknya kamu harus minta maaf!"
Regan menggeleng cepat. Untuk apa meminta maaf jika tidak bersalah? Sungguh mempermalukan diri sendiri. Mengapa Bu Pelangi tidak bertanya terlebih dahulu tentang kejadian yang sebenarnya dan bagaimana bisa si Crying Girl hanya terdiam seperti orang bisu?
"Ingat Regan, kalau ada siswa yang tertangkap basah membuat siswi menangis, itu sudah termasuk tindakan perundungan, dan ... kamu bisa dikeluarkan."
Beruntung memang nasib Edel dengan adanya peraturan itu. Ia jadi tak terlalu khawatir soal perundungan yang bisa saja menyerang dirinya sendiri lantaran emosi yang tinggi. Walau julukan aneh kerap merekat pada dirinya, tapi tak apa. Itu hal biasa bagi Edel. Masih tak ada apa-apanya dibandingkan apa yang diperlakukan Ariyanto.
Josh dan Doxy ikut terdiam kaku. Merasa kasihan dengan sahabatnya, tapi di satu sisi ini adalah hal yang lucu. Bila tak ada Bu Pelangi di sini, mungkin sudah mereka buat viral di media sekolah.
Regan mendengus kesal. Wajahnya terlihat penuh dendam saat menatap Edel yang berlagak layaknya korban. Apakah mengeluarkan satu patah kata saja susah?
"Gara-gara lo, sih, ah!" Regan menunjuk-nunjuk Edel, dan tentu saja Bu Pelangi dibuat semakin emosi.
"Ngomong dong kalau gue nggak salah! Lo punya mulut, 'kan? Dipake, dong! Kalau lo tau apa itu fungsi pita suara, cepetan kasih tau kebenarannya!" Regan benar-benar kesal. Ia tak suka diusik. Sekalinya ada yang mengganggu, maka jangan harap hidupnya bisa berjalan dengan tenang. Saksikan saja nasib Edel selanjutnya.
Sampai akhirnya Edel membuka mulut. Ia takut dengan situasi seperti ini, lebih baik memilih untuk pergi dan mencari Daun.
"B-bu, saya boleh pergi nggak? Pengen tenangin diri dulu." Edel mendongakkan kepala.
Bu Pelangi mengangguk pelan. Baiklah jika itu mau siswi di hadapannya sekarang. Kasihan sekali nasibnya diperlakukan buruk oleh seorang lelaki. Memang sedari dulu laki-laki itu tidak pernah menghomati derajat perempuan hingga diperlakukan dengan semena-mena.
Edel mengusap matanya pelan, kemudian pergi dalam keadaan kepala tertunduk ke bawah.
"Woah ... cari masalah sama gue tuh anak!" teriak Regan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Teen Fiction-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...