🐣17: Hari Tersial

699 71 17
                                    

Ini adalah perdana yang kedua kalinya Edel memasuki ruang guru. Berbagai macam tatapan berhasil ia dapati, bahkan sebagian besar dibuat terkejut saat mendapati Edel yang tertangkap basah sudah memberi contekan.

Dikarenakan Ariyanto tak mungkin datang ke sekolah, akhirnya Daun menjadi wakil. Lelaki berwajah trapesium tersebut datang dengan wajah garang.

Ia sendiri pun tak paham dengan apa yang terjadi pada Edel. Gadis ini sungguh mengalami banyak perubahan. Jadi lebih sering membuat dirinya wajib berceramah panjang kali lebar kali tinggi. Padahal dulu ia hanya paham apa itu bercerita dan menangis.

Andai perubahan yang terjadi lebih mengarah ke hal positif, pasti dirinya tak akan repot 'tuk mengurus panggilan seperti ini. Memang tak ada gunanya pula ia pulang cepat ke rumah, tapi setidaknya ia berniat memanfaatkan waktu pulang sekolah 'tuk menghibur otak yang panas setelah dipaksa belajar.

Mendapati wajah Daun yang tak enak dilihat, Edel segera menundukkan kepala. Ia dapat menjamin seribu persen bahwa setelah ini Daun akan melontarkan semua amarah.

Tangan Daun seketika mengarah tajam pada sepupu kesayangannya itu, lalu tak lama segera beralih pada Pak Suhe.

"Maafin sepupu saya, ya, Pak. Saya janji bakal ngedidik dia jadi lebih baik." Daun menganggukkan kepala bersama sebuah kejapan mata.

"Saya benar-benar tidak menyangka kalau anak sekalem dan sepintar Edel bisa berbuat seperti ini." Rasa menyesal tampak terlihat dengan jelas di wajah guru Kimia tersebut. Ia pikir Edel adalah anak baik-baik, seperti sang sepupu yang tak pernah membuat onar dan hanya mengerti mencetak prestasi di sekolah.

Edel terus memejamkan mata. Menikmati suasana gelap yang ia dapat. Terus menahan agar air matanya tak lagi menampakkan diri. Ia memang salah kali ini, dan tak seharusnya menangis.

Sebuah embusan napas mungkin berhasil terdengar di kuping kedua lelaki yang berdiri tepat di depannya. Edel membuka mata, tapi yang terjadi justru tak sesuai harapan.

"Maafin saya, Pak. Saya janji nggak akan ngulangin lagi."

"Kamu tuh ternyata diam-diam menghanyutkan, ya. Diam, pintar, tapi menyimpan segudang perilaku yang tak tertebak." Pak Suhe menggelengkan kepala.

Beberapa guru lainnya yang masih terduduk sembari menyelesaikan penilaian ujian pun ikut menyaksikan kekecewaan Pak Suhe. Itu artinya ... dari sini pula mereka belajar bahwa tak ada murid di angkatan kelas sepuluh tahun ini yang memiliki keseriusan belajar.

Edel meneguk salivanya susah payah. Ya ... ia memang tidak sempurna, tidak sebaik apa yang orang-orang pikirkan. Mungkin sekarang tak hanya pandangan dari para siswa yang buruk, melainkan namanya sudah tercoreng di ruang guru sekalipun.

"Saya tidak mau tahu pokoknya nilai kamu tetap menggunakan nilai ujian yang kemarin, dan kamu akan menjadi orang yang paling diawasi oleh semua guru ketika ujian berlangsung."

Dadanya terasa sesak, bahkan napasnya pun menjadi sulit. Membuat orang-orang yang ia sayang kecewa merupakan salah satu hal terburuk yang pernah Edel lakukan.

Seharusnya ia bisa mengingat perkataan Daun 'tuk berani menolak. Sekarang ... semuanya telah hancur. Berkat kebodohannya pula, semua orang yang sudah mengalihkan segala macam pikiran dari masa lalu itu menghilang.

"Maaf, Pak. Sekali lagi saya minta maaf." Edel berucap dengan penuh penyesalan.

Pak Suhe sedikit menganggukkan kepala. "Baik, sekarang kamu boleh pulang."

Daun segera merangkul Edel keluar dari kantor guru. Gadis itu masih tak berani menatap ke depan. Sungguh ... ia  berjanji 'tuk tidak mengulanginya lagi. Dari manik cokelatnya pula terpampang jelas sebuah harapan 'tuk bisa menepati janji pada dirinya sendiri untuk lebih berani lagi mengatakan tidak.

Edelweiss [Completed]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang