Di satu sisi ia merasa senang karena banyak murid yang terhibur dengan aksinya itu, tapi di lain hal ia harus berhati-hati akan keberadaan Daun.
Ya ... gadis ini masih belum berubah setelah mendapatkan ocehan dari Daun. Ia masih mengulangi semuanya. Edel janji, ini adalah hari terakhir 'tuk melakukan kebodohan. Walau sebenarnya ia sendiri pun tak yakin.
"Hai, Edel. Kamu mau duduk di mana? Sama aku aja, yuk! Rame, loh ...." ucap seorang siswi yang datang menjemput Edel seusai mengantarkan makanan milik Regan, Josh, dan Doxy.
Edel terdiam, kemudian membiarkan cewek itu membawanya ke meja lain 'tuk duduk bersama.
Benar, meja itu sangat ramai. Ketika Edel mendaratkan bokongnya pun, banyak yang melempar senyum ramah—seolah senang dengan kehadiran Edel.
Edel benci keramaian, tapi jika bukan karena paksaan Regan untuk datang ke kantin setiap hari 'tuk menjadi babu, pasti tak akan ia lakukan. Masih lebih nyaman menyendiri di dalam kelas sembari menikmati semburan ac yang bersuhu delapan belas derajat celcius.
"Edel, kamu cantik, ya, kalau diliat dari deket," ucap salah satu dari mereka yang sedang menikmati semangkuk bakso sapi.
Edel hanya tersenyum tanpa mengeluarkan satu kata pun.
"Kamu kok diem banget, sih? Ayo, dong, ngobrol sama kita-kita. Nggak bosenkah?" Kini siswi lain di meja itu ikut mengeluarkan suara.
Diem itu salah satu bentuk kenyamanan, batin Edel menjawab.
"Woi, nanti semuanya lo yang bayar, 'kan, kayak kemaren?" Seorang siswa datang menghampiri meja tempat Edel duduk.
Edel mengangguk pelan. Sebenarnya ada sedikit tasa bersalah karena tak mendengarkan perkataan Daun. Aduh ... bagaimana jika ancaman itu benar-benar ia lakukan?
Edel sibuk mengecek sekitar. Raga Daun masih tak terlihat. Semoga saja laki-laki itu sibuk belajar di dalam kelas untuk ujian nanti.
"Kamu kenapa?"
Edel menggeleng.
"Kamu nggak makan?"
Jawaban yang sama kembali Edel berikan pada siswi kepo tersebut.
"Besok kamu traktir kita lagi?"
🐛🐛🐛
Sesampainya di rumah, jari-jari mungil itu bergerak lincah—menghitung uang yang tersisa untuk bulan ini. Jumlah uangnya sudah berkurang setengah dari yang biasanya ia miliki di bulan-bulan lalu.
Kepalanya menggeleng pelan. Menyesali akan semua perbuatannya, tapi masih ragu untuk mengambil keputusan. Baru teringat soal kebutuhan Ariyanto. Ia harus berjaga diri agar tak mendapat pukulan apabila tidak memberikan uang.
Jika dihitung lebih lanjut untuk pembagian ke depannya, sudah pasti tak akan cukup sampai akhir bulan nanti. Tak mungkin meminta uang tambahan dari Tiara yang sudah rela bekerja keras di luar negeri demi menghidupi sang putri. Akan terkesan sangat boros pastinya.
"Aku harus gimana?" tanya Edel pada diri sendiri.
"Kerja?"
"Tapi kalau kerja, nanti papa ngamuk, nggak, ya, karena nggak ada yang bukain pintu waktu dia selesai judi?"
Edel benar-benar pusing sekarang. Berbelok ke kiri salah, ke kanan pun begitu. Benar ternyata kata Daun, perbuatannya ini justru merugikan diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Teen Fiction-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...