Mata Ariyanto memerah, bahkan dirinya terbaring di atas sofa dengan kaki terangkat pada senderan sambil merokok. Wajahnya memiliki beberapa bekas lebam yang entah disebabkan dari mana. Pria itu tersenyum tak jelas hingga membuat Edel yang baru saja memasuki rumah langsung berlari ke dalam kamar.
Tak ada reaksi apa pun, tapi pria itu masih berada dalam kondisi yang tak jelas. Walau sang bokong berada di pinggir dan hampir terjatuh, pria itu tampaknya nyaman-nyaman saja.
"Gila, kapan lagi gue bisa kayak gini. Anjer ... bangsat!" teriak Ariyanto dari ruang sofa. Walau tak paham dengan apa yang ia ucapkan, tapi ia merasa seperti tak bisa mengendalikan apa yang sedang terjadi pada dirinya sendiri.
"Hahahaha ... ya ampun, duit oi duit, dateng sini lo ke gue! Jangan kelayapan terus ke rumah orang. Setan!" Tangannya membanting sebatang puntung rokok yang sudah habis dihisap ke atas lantai. Seperti menyuarakan amarah dari dalam hati.
"Anak Sialan, mana lo? Bukannya nyamperin gue, malah ngga nampakkin muka. Ah, bangsat! Oh, lagi jadi pelacur kali dia ngelayanin om-om." Ariyanto tertawa keras sebelum akhirnya terlelap dalam mimpi. Entahlah, ia sendiri pun tak sadar dengan apa yang terucap. Semua berada di luar kendali.
Edel yang baru saja melemparkan tas ke atas kasur terdiam. Apalagi saat mendengar teriakan Ariyanto dari luar. Dirinya terkulai lemas di depan pintu. Bersender sembari melepaskan jaket yang sudah melindungi ia dari pertanyaan orang-orang.
Menatap kosong tembok putih yang tak jauh berada di hadapannya. Sedikit tersenyum sinis—menertawakan betapa mirisnya hidup yang ia miliki sekarang.
Bulir-bulir bening itu akhirnya keluar walau agak tersendat jalannya. Tak lagi mengenal apa itu mengusap, yang ia tahu hanyalah membiarkan air matanya berlari keluar dari tempat berteduh sampai puas.
"Kapan Tuhan cabut nyawa aku, ya?" tanya Edel pada diri sendiri sambil menatap langit kamar. Bolehkah berdoa agar malaikat pencabut nyawa segera datang dan membawanya pergi ke akhirat? Ia sudah tidak tahan hidup di dunia. Tak kuat menghadapi segala kekejaman yang ada.
Mengisap ingus yang sedari tadi ingin melarikan diri membuat isakkan sang gadis semakin nyaring terdengar. Edel menarik lutut sebelah kanan hingga bisa ia jadikan tumpuan untuk menaruh kepala.
"Maafin aku, Kak Daun. Andai aku tau semuanya bakal kayak gini, aku pasti bakalan nurut." Matanya mengerjap sesekali.
Dulu Daun adalah salah satu alasan bagi dirinya untuk bertahan, tapi sekarang? Semua telah pergi. Apakah masih memiliki guna untuk bertahan? Siapa yang peduli?
"Iya, aku tau. Harusnya aku nggak jadi pembohong kayak gini." Napasnya terembus kasar, lalu sang bola mata akhirnya menoleh ke arah laci favoritnya.
Ia segera bangkit, kemudian melangkah dan menaikki kasur dengan seragam sekolah yang masih melekat.
Tangannya mengusap sebuah laci kayu yang sudah lama ia tinggalkan. Kembali tersenyum sambil menggelengkan kepala, ia jadi menghitung sudah berapa lama ia tidak menjenguk si kotak rokok. Kasihan, pasti ia rindu dihisap oleh Edel sampai ujung.
"Aku beneran udah nggak peduli mau kayak gimana lagi kondisi tubuhku. Toh, kalau bisa mengikis usia, kenapa enggak dicoba? Hahaha ...." Tawanya terdengar miris, lalu dengan cepat ia menculik sebatang rokok dari tempat berteduhnya, dan menyuapi para serpihan tembakau dengan api.
Kini, salah satu kakinya kembali terangkat. Segera dihisapnya sebuah batang yang baru saja ia bakar dengan nikmat.
"Maaf, udah lama nggak ngasuh kamu dengan baik. Ditelantarin." Edel kembali menepuk bagian dekat ujung rokok pelan agar serbuk abu yang memaksa untuk merekat bisa berpindah ke atas asbak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Ficção Adolescente-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...