"Please, bukain!" Suara Edel masih terdengar keras dari luar sana. Josh dan Doxy pun merasa semakin iba walau mereka sedikit merasa aneh dengan karakter Edel.
"Lo harus jadi babu gue sampe kita lulus!" Ucapan itu lolos begitu saja dari bibir Regan. Josh dan Doxy berhasil dibuat menganga. Apakah cowok itu tidak memiliki rasa perikehewanan, eh perikemanusiaan terhadap seorang perempuan? Memang, sih, Edel itu termasuk salah satu cewek aneh di sekolah. Tapi bagaimana jika Edel berani melapor?
Edel tersentak dari dalam. Itu artinya selain harus melayani Ariyanto di rumah, ia juga menjadi babu di sekolah.
"Ya-ya-ya udah, aku mau. Tapi bukain." Sebuah senyum kini terulas di wajah Regan. Bagus, ia tak salah berucap. Dengan mudah pula gadis itu setuju walau sebenarnya Edel melakukan ini semua bukan karena takut terhadap Regan, tapi ia hanya ingin menghabiskan waktu lebih lama di luar rumah.
"Bukain pintunya," perintah Regan pada kedua laki-laki yang berdiri di belakangnya sekarang.
Sedikit celah dari pintu yang terbuka secara perlahan sudah menampilkan wajah Edel yang berantakkan. Berbagai jenis anak rambut sudah berdiri seperti sedang menyaksikan pemandangan di depan, sementara dagunya terus bersembunyi.
Jantungnya sudah berhenti melakukan senam irama, sementara kakinya sangat bersemangat empat puluh lima untuk berlari dan meninggalkan situasi horror ini.
"Tunggu. Jangan kabur dulu." Edel yang baru saja melangkah sontak berhenti.
Tangan Regan membawa selembar tisu keluar dari saku celana abu-abunya, kemudian mengarahkan tangannya ke hadapan wajah Edel.
"Lap dulu air mata lo."
Tangannya bergemetar saat meraih tisu pemberian Regan. Apakah ini bukan jebakan?
Karena waktu untuk masuk tinggal menghitung menit, akhirnya tisu itu ia letakan secara kasar di atas tangan Edel.
"Jangan geer. Gue ngasih tisu ini bukan karena kasian sama lo, tapi kalau sampe lo masuk ke dalem kelas pake topeng tomat kayak gini, bisa bahaya nasib gue."
Edel mengangguk pelan. Ia paham maksud Regan. "Makasih, ya."
"Cie ... Regan, cie ...." Josh dan Doxy memukul bahu satu sama lain—seolah takjub dengan apa yang diperbuat Regan. Ternyata temannya ini masih memiliki sedikit rasa kasihan.
Regan menatap keduanya sinis.
"Inget satu hal lagi, lo harus tepatin janji lo tadi. Kalau sampe lo nggak nurut, gue bakar semua buku-buku lo. Nggak cuman itu aja, gue bakal pastiin kalau hidup lo nggak akan tenang!" Regan meletakkan jari telunjuknya di depan wajah Edel.
"I-iya, aku bakal nurut sama kamu." Edel benar-benar pasrah. Apakah mungkin ia sudah ditakdirkan untuk hidup di bawah perintah orang lain? Ibarat menjadi pembantu tanpa upah.
Regan mengacungkan jempol, kemudian memutar badan—diikuti Josh dan Doxy—'tuk kembali ke dalam kelas.
Sungguh ... ini adalah hari paling menyenangkan yang pernah Regan alami seumur hidupnya. Edel adalah manusia pertama yang dengan mudahnya ia buat menurut. Tidak seperti yang lainnya.
Tiba-tiba saja langkah Regan terhenti. Ia menoleh ke belakang. Ah, ia lupa menjelaskan apa saja yang harus Edel lakukan selama mereka masih ada di satu sekolah yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Teen Fiction-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...