🐇3: Konsekuensi

1.3K 119 31
                                    

"Mas Regan tumben berangkat lebih awal," ucap Bi Rahmi—pembantu di rumah cowok yang bermasalah dengan Edel kemarin.

"Iya, Bi. Saya ada urusan." Regan mencaplok roti tawar berisi selai serikaya di piring Chowy —ayahnya yang sedang duduk di kursi meja makan.

"Astaghfirullah, roti Ayah kamu ambil gitu aja. Ayah juga buru-buru mau ke kantor, woi! Ada meeting!" teriak Chowy yang berakhir disambut tawa oleh Mari—istrinya.

Dengan sengaja pula Regan menggigit kasar roti hasil curiannya itu dan melangkah ke luar. Emosinya sudah terlanjur dibuat melambung tinggi, dan kali ini ia harus datang ke sekolah lebih awal demi mendapati Edel saat suasana sedang sepi.

"Biarin, Ayah oles lagi aja!"

Tiba-tiba saja langkahnya terhenti. Ah, ada satu hal yang ia lupakan. Regan berputar arah, kemudian kembali ke meja makan dan mengambil tiga lembar roti untuk diberikan pada teman-temannya andai mereka mau membantu nanti.

"Sekarang ngapain balik lagi? Roti Ayah nggak disabet lagi, 'kan?"

Regan tertawa kecil sembari menggeleng.

"Tumben anak itu udah berangkat," sahut Mari bingung.

⛏⛏⛏

Edel terduduk sendirian di kursi kursi memanjang yang menempel pada tiang tembok depan kelas. Diam tanpa melakukan aktivitas apa pun. Sibuk memandangi lapangan tanpa tahu apa yang harus ia lakukan sekarang.

Gadis ini tidak menyukai keramaian. Ya ... memang kalau di luar kelas pun pastinya banyak siswa yang berlalu lalang, tapi setidaknya suara yang terdengar hanyalah langkah kaki. Tak seperti di kelas yang dipenuhi oleh suara gibah, atau mungkin menyetel musik sekencang-kencangnya sebelum sibuk menggunakan otak untuk berpikir keras. Terutama saat pelajaran Matematika.

Di tengah lamunannya itu, gadis bersurai hitam ini berhasil dibuat  kaget dengan kehadiran Regan yang sudah muncul di hadapannya secara tiba-tiba. Cowok itu sendiri, tidak bersama teman-temannya seperti kemarin.

Edel terus menundukkan kepala. "Ma-maaf."

"Gue nggak butuh kata maaf lo. Gue butuh lo kasih tau ke Bu Pelangi kalau lo yang salah dan gue di sini nggak salah apa-apa." Regan segera mendaratkan bokongnya di sebelah Edel sambil berucap dengan nada yang tidak terlalu kencang.

Lagi-lagi Edel menangis. Ia tak bisa mendengar suara teriakan. Baru dibentak sedikit saja, berlian berharganya sudah mampu berseluncur. Salahkan saja hatinya yang terlalu lembut.

"Aduh, drama banget, sih, lo! Lo maunya apa? Jangan nangis, dong, woi!"

Edel masih tak menjawab apa pun, bahkan ia tak berani menatap wajah Regan. Sampai akhirnya Regan mengamit dagu Edel—agar keduanya saling menatap. Regan tak suka berbicara dengan manusia yang selalu membuang muka saat berucap. Apakah ia tidak menganggap kehadiran lawan bicaranya atau bagaimana?

"Nggak usah nangis, Anjing!"

Suasana sekolah masih sepi, jadi tak perlu takut bagi Regan akan menjadi pusat perhatian. Mungkin jika bisa diamati lebih lanjut, depan kelas yang menghadap lapangan utama ini tidak dihadiri oleh siapa pun.

"Ma-maafin a-aku," balas Edel pelan.

"Woi kalau ngomong yang jelas! Jangan sok gagap gitu."

Tiba-tiba saja seorang guru yang baru saja sampai di sekolah sempat mencuri pandangan dan menatap mereka lekat. Regan langsung melempar senyum ramah. Dengan secepat kilat pula tangannya terlepas dari wajah Edel. Ia justru berpura-pura menanyakan rumus Matematika untuk ujian nanti. Padahal ... jelas saja kelas mereka berbeda.

Edelweiss [Completed]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang