Bola kristal bening itu kembali bermain di wajah Edel saat melihat angka di kertas ulangan Kimianya, bahkan semangat untuk belajar lebih baik lagi pun hilang dalam hitungan detik.
Ini adalah perdana Edel mendapatkan nilai 40 selama menempuh pendidikan SMA setengah tahun lebih. Padahal ia sudah berjanji agar tak pernah menyentuh angka itu, tapi mengapa takdir berkata lain?
Hatinya terasa rapuh, bahkan sesak sudah menyelimuti separuh dada. Kepalanya menggeleng pelan tiap kali menatap.
Mungkin memang hanya Edel yang merasakan hal ini. Hanya orang-orang dengan target tinggi yang bisa merasakan. Teman-teman sekelasnya? Tentu saja tidak peduli. Mau berapa pun yang didapat, semuanya tidak memberi pengaruh apa pun.
Tangannya membuka sebuah buku catatan sembari menunggu kedatangan sang guru yang sudah membuat janji. Sekarang sudah jam tiga sore, tapi guru yang bersangkutan masih juga belum menampakkan diri.
"Edel, nanti kamu noleh, ya, kalau dipanggil," ucap salah seorang siswa. Dirinya sudah tak niat membuka buku, apalagi melirik segelintir rumus mematikan. Andai saja ia tidak dipaksa memasuki jurusan IPA, pasti ia tak akan mengandalkan Edel terus.
Edel terdiam. Dirinya masih merasa resah, bahkan tidak tenang. Tampak dari jari-jarinya yang terus melucuti rok hitam bergaris putih selututnya.
Gadis itu hanya menatap kosong para tulisan yang memaksa 'tuk dibaca. Sang otak pun terasa tak mau diajak berkompromi. Mengapa sangat sulit rasanya menghafal cara yang menempel di kertas putih bergaris itu?
Edel, kamu harus fokus, batin Edel terus mendukung, tapi yang terjadi justru ia melirik ke sana kemari—sibuk menyaksikan penampakkan orang-orang yang tak belajar.
Jika anak murid di kelas IPA terkenal akan kerajinannya, tapi di kelas Edel, semuanya sangat tak terasa. Bahkan karakternya sendiri pun tak beda jauh dengan murid di kelas IPS.
Bibirnya terus bergerak—berusaha membaca dan mengingat cara-cara menyelesaikan soal kelak. Ya ... ia harus lulus. Tak boleh menyia-nyiakan uang yang diberikan oleh sang ibu 'tuk belajar. Secerca harapan tentang penjelasan dari sang guru 'tuk kembali berkumpul pun terbesit. Pasrah dan ingin berjuang kini bercampur menjadi satu.
Ekhem!
Suara serta langkah kaki berhasil membuat semua murid yang awalnya tengah bercanda ria kembali ke tempat duduk masing-masing. Raut wajahnya sama sekali tak berubah, bahkan beberapa masih ada yang melempar tawa.
"Sudah belajar?"
"Belum, Pak," jawab semua peserta remedial. Mereka sangat berharap agar ujian ulang ini bisa ditunda hingga beberapa hari ke depan. Belum siap rasanya jika harus melaksanakan remedial di hari itu juga—setelah kertas ulangan dibagikan.
Pak Suhe yang merupakan guru pembimbing mata pelajaran tersebut hanya menggelengkan kepala. Angkatan kali ini sangat berbeda dibandingkan angkatan lainnya. Mungkin benar apa yang kerap digosipkan oleh teman-temannya di ruang guru, kelas X tahun ini adalah kelas termalas.
"Kalau gitu saya kasih waktu belajar 5 menit. Tidak ada tambahan waktu karena seharusnya kalian bisa memanfaatkan detik dan menit yang sudah berlalu." Setengah puitis memang ucapan dari Pak Suhe, mungkin sang istri bekerja sebagai guru Bahasa Indonesia.
"Anjir!" seru beberapa orang siswa. Lagi pula waktu istirahat juga mereka gunakan untuk mengisi perut, apakah guru gendut berbibir cokelat ini tak memiliki toleransi?
"Sepuluh menit, deh, Pak. Gimana?" Salah seorang murid mulai membuka suara, sementara yang lainnya tampak mendukung usulan tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Fiksi Remaja-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...