🪐12: Kerja Kelompok

736 75 17
                                    

"Kamu ngapain berdiri di situ?!" teriak Bu Petog yang masih sibuk membuat campuran tepung untuk resep hari ini.

Edel masih terdiam kaku di depan ruang eskul, bahkan jantungnya pun terus berolahraga tanpa henti. Karena terlalu gugup pula gadis itu menggaruk tengkuk yang tak gatal. Tak lupa sang air mata pun ikut jatuh membasahi pipi.

"Aduh ... kamu udah gede, nggak usah nangis segala. Anak saya si Sekar Wangi aja nggak secengeng kamu! Cepet masuk! Mau saya anggep bolos?" Sudah waktunya dibuang, kini muridnya harus menangis seperti balita.

Edel berjalan gontai memasuki ruangan. Teman-teman sekelompoknya pun hanya bisa menatap iba. Sedikit merasa kasihan,  tapi tak bisa membantu apa-apa.

Sementara kelompok lainnya terlihat sibuk membuat masakan agar lebih cepat selesai dan bisa menertibkan para cacing yang terus berdemonstrasi. Walau sebenarnya di balik itu semua terdapat rasa bersyukur karena tak mendapat guru pembimbing seperti Bu Petog.

"Cepet, kalau nggak kamu goreng aja ayamnya! Awas kejatohan air mata!" ucap Bu Petog sinis.

Kedua alis tak berambutnya masih mengerut. Pipi tirusnya pun masih menampilkan warna merah muda. Tempat yang dipenuhi oleh beberapa kompor ini nyatanya mampu membuat emosi Bu Petog meningkat lebih cepat.

Untung saja saat selesai eskul para murid akan memberikan sekotak hasil masakannya. Jadi, Bu Petog tak perlu repot-repot memasak sayur di rumah. Hanya menambahkan dua piring nasi, lalu dimakan bersama suaminya untuk mengenang masa-masa pacaran.

Edel mengangguk paham. Walau Bu Petog memiliki kadar emosi yang tinggi, tapi hal ini tak pernah mengurungkan semangat Edel 'tuk tetap mengikuti eskul tata boga. Berkat eskul ini pula ia bisa berhemat di rumah.

Tangan Edel bergerak dengan lincah saat menggerakkan spatula. Aroma khas dari ayam yang digoreng bersama baluran tepung berhasil membuat rasa lapar berteriak riuh. Tapi ... Edel harus ingat, makanan ini harus diberikan kepada Regan. Ia harus bisa menahan lapar.

Nafsu makannya seketika bergejolak. Ingin rasanya pulang dan menyantap makanan ini di rumah, tapi ... ah, ia harus menuruti pesan Regan agar hidupnya tenang.

Sampai akhirnya ia buat sang telapak tangan menutupi hidung dan mulut. Ya ... ia tak boleh tergoda dengan hidangan ini.

Seorang siswa yang datang membawakan sebuah loyang 'tuk dijadikan alas pun berhasil dibuat Edel bingung. Apakah makanan yang digoreng ini memiliki bau tidak sedap atau bagaimana?

"Ayamnya udah basi, Del?"

Mata Edel terbelalak lebar, kemudian segera melemparkan senyum bersama sebuah gelengan kepala. "Nggak, kok."

"Terus kamu kenapa tutup idung?"

"Takut meler aja, soalnya panas." Jelas Edel berbohong kali ini, dan ini adalah pertama kali ia mengatakan sesuatu yang tidak benar. Padahal biasanya ia selalu menjunjung tinggi nilai kejujuran.

Siswa yang bertanya tadi pun hanya mengangguk—seolah ingin membiarkan percakapan mereka berhenti sampai di situ. Sebab rasanya terkesan aneh saja, bukankah gadis itu bisa meminta tolong 'tuk mengambilkan tisu andai sang lendir keluar?

🐣🐣🐣

Tepat eskul selesai, saku rok Edel bergetar. Tangan kanannya menyelinap masuk ke dalam dan mengambil sebuah ponsel. Terpampang jelas nama Regan di sana.

Regan. S
Cepetan ke kelas gue! Inget, bawa makanannya!

Tanpa memberikan balasan, Edel segera memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Gadis ini harus cepat. Tak boleh berlama-lama 'tuk pergi ke kelas Regan.

Edelweiss [Completed]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang