"Dari mana kamu?" Suara berat yang berasal dari balik pintu masuk menginterupsi langkah Edel. Rambutnya sudah tak karuan, bahkan aroma rokok pun bisa tercium oleh hidung Edel.
Suasana sunyi dan sepi di malam hari tentunya membuat perasaan Edel semakin menegang. Tak ada siapa pun di luar sana, bahkan para tetangga pun sibuk beristirahat di dalam rumah.
Ariyanto berkacak pinggang dengan tatapan garang. Walau ia selalu berbuat kejam pada sang putri, tapi masih terbesit dalam hatinya 'tuk peduli walau sedikit. Masih ada rasa tak mau jika anaknya menjadi seperti apa yang ia lakukan sehari-hari.
Edel masih tak melanjutkan langkahnya sama sekali. Tapi tetesan bening itu dengan berani menampakkan diri di depan Ariyanto seolah tak takut dengan apa yang terjadi selanjutnya.
"Kalau saya nanya ya ... dijawab, dong! Emang saya barang? Patung? Jangan berani-beraninya kamu kurang ajar!"
"Tata ker-kerja, Pa."
"Kerja apaan kamu? Mucikari?!" Belum sempat Edel menjawab, tapi sebuah tamparan sudah mendarat dengan sempurna di pipi Edel.
"Enggak, Pa. Tata kerja di kafe." Bibirnya bergetar, sementara hatinya terasa begitu pilu. Walau ia bersahabat dengan batang rokok, tapi pikiran 'tuk menjadi seorang mucikari tak pernah terbesit.
Seketika pria itu terdiam, kemudian melangkah masuk dan tak peduli bagaimana perasaan Edel saat itu. Sedikit rasa lega sempat singgah walau sementara.
"Cepet masuk! Siapin makanan!" Ariyanto kembali berteriak dari dalam. Pria itu sedang menyaksikan layar televisi dengan kaki kanan yang menopang kaki kiri. Hari ini hatinya sedang bahagia, sebab ia sudah memenangkan perjudian sebanyak tiga kali. Rencananya besok akan ia hamburkan uang itu untuk berjudi lagi atau mungkin membeli obat candu.
Edel menurut begitu saja. Memang sudah biasa ia diperlakukan bagai seorang pembantu di rumah. Lagi pula keluarganya tak sanggup menyewa tukang bersih-bersih, dan andai memiliki uang pun, pasti akan habis dalam waktu singkat.
Gadis itu segera melangkah ke dapur, lalu mengecek sisa persediaan bahan makanan. Kosong. Itulah yang terpampang di depan wajah Edel. Bagaimana bisa ia memasak? Belum memiliki bahan apa pun, sedangkan Ariyanto pasti akan mengamuk andai ia tidak bisa menciptakan suatu hidangan.
"Maaf, Pa. Stok bahan makanan kita habis. Tata masakin mie instan aja, ya?" tanya Edel ragu. Mungkin bagi ia sendiri, itu adalah makanan yang nikmat. Tapi bagi Ariyanto, belum tentu. Pria itu sangat pemilih, bahkan ia selalu meminta yang aneh-aneh.
Sedikit tak sadar diri akan kondisi keuangan, tapi ia memiliki gaya hidup hedon. Sebab terbiasa sejak menikah dengan Tiara dan diperlakukan layaknya seorang atasan. Walau keduanya sudah berpisah, tapi sikap Ariyanto tak pernah berubah sekalipun kondisi keuangan tidak memungkinkan.
Ariyanto enggan menjawab. Terlalu serius dengan tayangan di depan mata sampai memasuki alam mimpi.
Dengan perlahan gadis itu mengintip. Ah, syukurlah ayahnya sudah tidur. Itu artinya tinggal membuat hidangan khusus dirinya sendiri. Hari ini ia aman walau sekujur badan terasa begitu pegal.
Tangannya ia angkat ke atas, kemudian memiringkan lehernya ke kiri dan kanan untuk melepas rasa pegal yang ikut pulang ke rumah.
"Andai setiap hari Papa kayak gitu. Merem terus tiap aku udah sampe rumah. Pasti hidupku bakal tenang." Senyum sinisnya kini terulas. Sudah beribu kali disiksa sejak kecil, dan pastinya ada harapan agar salah satu dari mereka pergi. Entahlah ... siapa pun itu, pergi bersama alasan ataupun tidak, Edel tak peduli.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Teen Fiction-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...