🦇32: Kehilangan

825 68 6
                                    

Regan sibuk menatap layar ponselnya. Terus mengusap sampai deretan foto paling akhir, namun hasilnya tetap saja nihil. Tak ada yang bisa membuat fokusnya terhadap kejadian kemarin teralih.

Tidak ... semua orang memang tidak ada yang mengejek, karena takut dengan konsekuensinya, guru-guru pun tampaknya hanya membicarakan dari belakang saja. Terkecuali Pak Tayo yang sudah melontarkan begitu banyak rasa kecewa.

Padahal jika saja kemarin tidak terjadi, pasti Regan akan dicalonkan sebagai ketua eskul tahun depan. Tapi sayangnya ... semua impian itu harus gagal dalam hitungan detik.

Di sisi lain, tak hanya itu yang ia pikirkan sekarang. Wajah Edel terus terbayang tiap kali menengok ke samping. Biasanya ada gadis lugu nan bodoh yang berdiri di sana, sekarang kosong bagaikan selembar kertas putih.

Dalam diam Josh dan Doxy terus memperhatikan sahabatnya tersebut. Sungguh berbeda dari biasanya yang kerap kali membahas topik tentang berenang.

"Lo sedih, ya, diputusin Edel karena nggak dapet restu dari abangnya?" tanya Josh.

Regan seketika melemparkan tatapan sinis. Sejak kapan dirinya dan Edel berpacaran? Kenapa manusia satu ini sangat senang menyimpulkan segala sesuatu sendiri, sih?

"Mau kita bawain Edel ke sini, nggak, Jing?" Kini, Doxy berinisiatif walau tak tahu darimana pikiran itu datang. Siapa tahu saja Regan bisa kembali tersenyum. Kalau sudah seperti ini, 'kan jadi sulit untuk meminta contekkan jika mendapat tugas nanti.

"Nggak. Lo berdua inget, ya, gue sama si Manusia itu nggak pacaran. Kecamin itu!" Regan segera bangkit dan melangkah pergi. Josh dan Doxy yang masih terduduk bersama dua mangkuk mie ayam merasa bingung sendiri. Sungguh kasihan segelas teh hijau dingin yang tidak diseruput sama sekali.

"Kita minum aja, yuk," ucap Josh sambil menahan air liur. Kata Alya, minuman itu tidak boleh dibuang, jadi lebih baik dimasukkan saja ke dalam saluran pencernaan agar tidak mubazir. Betul, 'kan?

"Gue nggak homo, ya. Lo aja sana habisin!" Lebih baik ia tak usah menyentuh daripada harus meneguk segelas teh hijau dingin bersama sesama jenis. Apa yang akan dikatakan orang-orang? Bisa-bisa disangka tidak normal.

Baru saja Josh menyentuh mulut gelas teh hijau itu dan memutus jarak antara bibirnya dengan si gelas, tangan Doxy langsung melayang menepuk bahu sahabatnya tersebut.

Dengan berat hati, si teh hijau harus melompat keluar dari sarangnya dan berpindah ke atas meja. Sungguh kasihan.

"Kata Bunda, nggak boleh mubazir. Dosa. Terus sekarang lo buang minuman itu dengan sia-sia? Gila, lo, Xy. Udah buang rejeki pemberian Tuhan. Astaghfirullah," ujar Josh sambil menggelengkan kepala. Sudah menganggap bahwa dirinya adalah seorang ustaz yang tengah bertausiah kepada jemaat.

Tak paham lagi dengan apa yang dilakukan oleh sahabat playboy-nya tersebut, Doxy memilih kembali ke dalam kelas. Lebih baik menyaksikan kegalauan Regan dibandingkan mendengarkan celotehan tidak jelas Josh.

"Tuh, si Boboho cariin!"

Josh sibuk melihat ke segala penjuru—sibuk meneliti satu persatu manusia yang bisa saja menjadi parasit.

"Man—?!" Di mana Doxy? Kenapa cowok itu menghilang? Apakah ditelan oleh arwah Boboho? Jangan-jangan yang Doxy lihat itu arwah, dan sekarang ... sahabatnya telah hilang ditelan gadis aneh itu?

Mata Josh masih membelalak lebar, kemudian segera berlari keluar dari kantin hingga mendapat beberapa tatapan aneh.

"Ada arwah Boboho! Doxy ditelen!" teriak Josh sembari berlari.

Tentu tidak ada yang percaya dengan ucapan Josh barusan, mungkinkah ini yang disebut sebagai azab karena sudah menjalin hubungan dengan banyak perempuan?

Edelweiss [Completed]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang