"Halo, gimana kondisinya?" tanya Dokter Tempura yang baru saja memasuki ruangan diikuti dua orang suster.
"U-udah ba-baikkan."
"Masih pusing atau muntah emas?"
Bingung rasanya bagi Regan saat bertemu dengan dokter seperti ini. Bagaimana bisa mengajak pasien berkonsultasi, tapi juga diselangi oleh canda?
"Udah nggak mual, tapi masih pusing sedikit." Dokter Tempura mengangguk senyum, lalu membiarkan kedua perawat yang mengikutinya untuk mengecek ketersediaan infus dan juga tensi darah.
"Bagus." Seketika jari telunjuk wanita paruh baya itu menunjuk ke arah Regan. Mengedipkan sebelah mata, lalu berkata, "Pasti dia udah mau sembuh karena kamu, bukan sepupunya yang galak itu. Ya, 'kan?"
Daun seketika mendongak, berjalan menghampiri brankar dan mendengus kesal. Melihat langkah Daun yang semakin dekat, akhirnya Dokter Tempura segera keluar dari ruangan—mengantisipasi supaya hal-hal seperti keributan tidak kembali terjadi.
"Lo sekarang tau gimana rasanya gue berhadapan sama dokter gila kayak dia," ucap Daun sembari menatap Regan sinis.
Cowok yang menjadi lawan bicaranya itu hanya mengangguk pelan. Masih merasa segan bila harus berbincang dengan Daun. Tapi kalau dipikir-pikir, Daun sepertinya sudah tidak marah sampai mau mengajak ia bercerita.
Selang tak lama ketiganya terdiam, seorang wanita akhirnya kembali masuk bersama Mari yang berjalan di belakangnya.
Matanya yang sembab, napas yang masih memburu, bahkan tak percaya bahwa takdir sekejam itu. Memang sudah lama terpisah akan jarak dan waktu, tapi mengapa rasanya masih sakit saat ditinggalkan?
"Kenapa?" tanya Regan dan Daun sambil menoleh ke arah dua wanita yang mulai berjalan menghampiri mereka semua.
Tak hanya Tiara yang menangis, melainkan Mari pun. Sama-sama dibaluti oleh kulit yang sudah memerah, bahkan sulit untuk berkata-kata.
"Mama kenapa?" tanya Edel lembut.
Tiara menggeleng tidak percaya, sementara Mari langsung mendudukkan diri ke sofa sambil mengatur napas. Andai ia masih sempat meminta maaf pada beliau, pasti sebuah beban perasaan bersalah juga akan ikut pergi.
Regan yang tak tahan melihat sang ibu kembali bersedih kembali datang 'tuk merangkul. "Mama kenapa? Mama kuat. Jangan nangis lagi, dong. Ada aku di sini."
Mari masih terdiam bersama penyesalan. Sayang ... sejak kejadian saat itu, sedikit pun tatap muka tak pernah lagi terjadi. Terlalu malu rasanya untuk meminta maaf, bahkan ia sendiri sampai mengurung diri di rumah lantaran perasaan bersalah yang begitu besar.
"Papamu ...."
Edel menatap Tiara kaku. Masih bergeming dengan perasaan tak peduli andai sesuatu terjadi pada Ariyanto. Tidak seperti Regan yang justru merasa kaku saat mendengar ucapan dari Tiara yang belum selesai, apalagi sang ibu sampai menangis.
"Me-meninggal ka-karena overdosis narkoba. Tadi waktu Mama gotong ke mobil, banyak serpihan sabu di bawah badan dia."
"Oh." Hanya satu kata yang berhasil keluar dari bibir sang gadis bersurai hitam panjang. Tak ada rasa sedih, bahkan air matanya pun tampak tak peduli dengan situasi. Begitu pula dengan Daun yang tampak tidak syok.
Kini, hanya Mari, Regan, dan Tiara yang dibuat merasa berduka. Kedua wanita yang merasa ditinggalkan, sementara Regan justru ikut merasa sedih lantaran merasa kaget dengan meninggalnya ayah Edel.
"Sabar, ya, Del," ucap Regan pelan yang masih mengusap punggung Mari lembut. Dengan kepala yang tersender di atas bahu, Regan masih tak tega meninggalkan ibunya sendirian dalam kondisi seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Novela Juvenil-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...