Masih tak ada jawaban, Regan menoleh sebentar. Loh, kenapa sang gadis justru menunduk? Apakah ia salah berucap? Bukankah keluar dari pekerjaan dan beristirahat di rumah, lalu berduaan dengan dirinya adalah hal yang paling memuaskan?
"Edel, sekarang kita mau ke mana lagi?"
"Pulang aja," balas Edel singkat bersama sebuah isakan kecil. Ya ... ia butuh 'tuk menenangkan diri.
Tunggu, ada sesuatu yang salah dari jawaban Edel. Ya ampun, apa yang sudah dirinya lakukan hingga manusia itu kembali menangis? Kenapa kali ini rasanya berbeda? Biasanya saat melihat beberapa tetes air mata yang keluar, perasaannya sama sekali tak tersentuh.
Agar tampak sebagai cowok yang gentle, perlahan Regan memperlambat tancapan gasnya, lalu sedikit berbelok untuk berhenti di dekat pohon rimbun di depan sana.
Setelah sampai di tempat yang Regan rasa bisa menjadi penyejuk hati dan pikiran, akhirnya putaran roda itu terhenti.
"Kenapa?" tanya Regan seraya turun dari motornya dan mengangkat helm yang dipakai oleh sang gadis dan menggantungnya di atas spion sebelah kiri. Tak lupa hal yang sama pun ia lakukan pada helm miliknya.
Edel yang masih terduduk dalam keadaan menunduk pun menggeleng sembari mengusap air matanya kasar. "Kita ngapain berhenti? Aku mau pulang."
"Ya udah, kita pulang. Tapi lo kasih tau gue dulu kenapa nangis. Lo nggak suka karena bawa motornya kekencengan apa kelambatan?" Sebisa mungkin ia mengingat nasihat dari Ziva. Cowok itu selalu salah, jadi ia harus pintar menyalahkan diri sendiri agar sang calon pacar bisa merasa nyaman. Andai cewek yang salah pun, semua kembali ke kalimat awal.
Sungguh bertentangan dengan prinsipnya memang. Tapi demi Edel, semua harus dikorbankan agar jalannya semakin mulus. Jika dipikir-pikir, cewek itu menyusahkan. Tapi tetap saja membuat sang hati rindu. Tak kuat untuk berada dalam jarak jauh, walau pengorbanan untuk terus mengalah sangatlah besar.
Edel menggeleng pelan. "Kalau gitu aku pulang sendiri aja. Makasih udah nganterin." Perlahan, kaki Edel bergerak dan bersiap melangkah turun.
"Ya udah gue anterin."
Edel mengangguk paham, kemudian kembali ke posisi duduk awal dan menunduk (lagi). Andai saja jarak rumahnya sudah dekat, dapat dipastikan bahwa dirinya tidak akan bersama Regan lagi. Kalau bukan karena takut berpapasan dengan Daun, pasti tak akan terjadi.
Pada akhirnya hanya keheningan yang berani merampas suasana saat itu. Tak ada lagi yang membuka pembicaraan, bahkan Regan pun berhenti berbicara lantaran merasa takut jika Edel menangis semakin keras.
Ah, akhirnya ia sampai juga di depan rumah. Segera turun dengan cepat dan melangkah masuk ke dalam tanpa menghiraukan siapa yang sudah mengantar. Tak lagi ingat akan ucapan terima kasih yang biasanya terbayang, kali ini yang ia inginkan hanya satu hal. Rokok.
Hanya itu satu-satunya jalan yang membuat Edel merasa tenang. Mungkin ... untuk besok dan seterusnya, hanya benda itu yang akan menjadi sahabat sejatinya. Ia pikir ia bisa berhenti karena sudah bekerja dan menghabiskan waktu di luar, tapi Regan mengubah segalanya.
Dengan cepat cewek itu mengunci pintu rumah dan berlari masuk ke dalam.
Deg!
Seperti ada satu anak panah yang menusuk jantungnya sekarang. Apa yang harus ia lakukan? Sumpah, seharusnya kemarin ia juga bertanya tentang cara menghadapi kemarahan seorang perempuan.
"Lo kenapa, Manusia? Gue nggak ngapa-ngapain lo, 'kan? Terus masalahnya apa coba? Ih, ribet, deh, lo." teriak Regan dari kejauhan. Tentu saja Edel dapat mendengar hal itu. Ternyata memang benar, kemarin itu bukanlah Regan yang ia pikir sudah berubah menjadi baik.
![](https://img.wattpad.com/cover/213822636-288-k421322.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Roman pour Adolescents-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...