🚃48: Ariyanto

512 49 3
                                    

Pria paruh baya itu mengendarai motor dalam keadaan mata memicing. Mengurai luasnya kota metropolitan tanpa peduli siapa yang akan menabraknya. Lagi pula, andai itu terjadi, paling juga hanya jatuh, dan ia bisa mendapatkan lebih banyak uang untuk berjudi.

Hingga akhirnya roda yang terus berputar terpaksa berhenti di depan rumah yang sangat sederhana.

Pria itu melangkah masuk, kemudian segera menggedor pintu tanpa ampun hingga seorang pria yang tak jauh berbeda dari umurnya ikut menampakkan diri.

Senyum sinis Ariyanto kembali mengembang, lalu meminta benda haram yang menjadi separuh nyawa bagi dirinya dengan tidak tahu diri. "Mana sabu? Mau, dong!"

Pria di hadapannya hanya menggelengkan kepala sembari mengusap hidungnya yang tiba-tiba gatal. Emosinya seketika memuncak, kemudian langsung berkata, "Halah, yang kemaren aja belom lo bayar kan, Bangsat?!"

Ariyanto mendengus, lalu mengeluarkan setumpuk uang dari Edel dan diberikannya pada pedagang narkoba tersebut. Dengan bangga ia berikan tanpa menghitung berapa jumlahnya, yang jelas sangat tebal. "Cepet, mau tiga bungkus. Kalau nggak cukup, besok gue bayar lagi!"

Dengan lincah dan cepat tangan sang pedagang menghitung. Lalu segera kembali dan mengambil beberapa bungkus plastik berisi bubuk-bubuk kristal.

Ariyanto langsung merampas benda itu dengan paksa, kemudian melenggang pergi menuju tempat judi. Niatnya hari ini adalah memamerkan benda yang sudah ia dapatkan pada teman-temannya. Hanya tiga bungkus, sih, tapi bisa dijadikan alat untuk berbangga diri bahwa ia habis membeli narkoba.

Sesampainya di sebuah gedung tua yang tak lagi terurus, Ariyanto kembali masuk. Tampak beberapa orang bertato dan rambut yang berantakkan sedang melemparkan beberapa kartu judi ke atas lantai.

"Tiga juta, Bro!" Pria berambut gondrong itu mengangkat dagu ke udara. Ya ... ia sudah memenangkan permainan hari ini, dan ini adalah waktunya untuk pergi.

Namun, kehadiran Ariyanto nyatanya membuat mereka semua membelalakkan mata lebar. Bukankah kemarin pria itu sudah kalah berjudi? Mengapa pula masih berani menampakkan diri ke sini? Memangnya mampu membayar utang?

"Woah ... si setan udah dateng! Mana utang lo, Njing?!" tanya seorang pria berkepala botak.

Ariyanto menggelengkan kepala tak peduli. Bodoh jika mereka mengira Ariyanto akan membayar utang di sini. Tujuan Ariyanto hanya satu, membuat mereka semua semakin naik darah karena sudah berani menagih utang. Biasanya kan terbalik. Karena kalah sekali saja, semua sudah belagu.

"Hahaha ... kampungan lo semua!" pekik Ariyanto tak sadar diri. Tubuhnya berputar mengitari area perjudian sambil menunjuk satu persatu orang yang tengah terduduk manis menunggu giliran.

"Cepet lo! Mau gue bunuh, ya, lo?!" teriak si pria kepala plontos yang semakin terbawa emosi. Mengingat utang Ariyanto sebesar sepuluh juta yang berujung menjadi sebuah janji untuk dilunasi.

Ariyanto justru tertawa kencang. Benar-benar tak tahu diri mereka semua. "Kapan-kapan gue bayar!"

Segera mendaratkan bokong di tempat yang masih tak berpenghuni, kemudian mengambil kartu yang sudah tergeletak dengan rakus. "Mana sini gue ikutan main lagi. Kalau sampe menang, lo semua bayar gue lima puluh juta! Oke?!"

Semua pria di sana menggelengkan kepala kasar. Belum tentu memenangkan saja sudah belagu. Bagaimana jika ternyata kalah? Siap merenggang nyawa?

"Oke, kalau lo kalah, jangan harap besok masih bisa hidup. Hahaha ...."

Ariyanto mengangguk setuju dengan tingkat percaya diri yang luar biasa. Ia yakin, pasti hari ini ia membawa uang banyak dan bisa berpesta sabu di rumah.

Edelweiss [Completed]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang