Deg!
Terasa seperti ada yang menusuk jantung Edel sekarang. Jujur, ia masih tak tahu harus menjawab apa. Sekujur tubuhnya membeku. Apakah ia tidak salah mendengar?
"Kamu nggak bercanda, 'kan?"
Regan menggeleng.
"Aku ...." Tunggu, sebenarnya ia masih belum tahu harus menjawab apa. Ah, ia bingung. Di satu sisi mulai merasa jatuh hati pada Regan, tapi semua pesan-pesan Daun juga masih teringat dengan jelas di kepalanya.
Gue nggak tau harus ngomong apa andai lo masih deket-deket sama dia.
Ya ampun, apa yang harus ia lakukan? Menerima demi kebahagiaan diri sendiri atau memikirkan perasaan orang yang selama ini sudah berjasa untuknya?
Edel berusaha mengatur napasnya. Terdiam sembari menenangkan jantung yang terus berdebar adalah satu hal yang bisa ia lakukan. Jujur, ia ingin, tapi ... apakah boleh mengorbankan kepercayaan orang lain demi sesuatu yang bisa menumbuhkan kenangan indah di dalam hati?
Begitu pula dengan Regan yang rasanya semakin tidak tenang. Kenapa Edel berpikir sangat lama? Kepada siapa takdir akan memihak? Kalau saja Edel sampai berani menolak, harus berbicara apa ia kepada Ziva nantinya.
"Gimana?" tanya Regan sekali lagi. Apakah script dari Ziva semalam tidak memberikan efek positif? Ia pikir, kalau murid bahasa yang membuat dan hasilnya puitis, pasti tak memerlukan waktu 'tuk berpikir panjang. Tapi kenapa Edel masih terdiam dan tampak mempertimbangkan dari segala aspek?
Maaf, Kak Daun. Tapi aku beneran jatuh cinta sama Regan. Aku beneran nggak bermaksud, tapi aku nggak bisa coba buat nolak untuk kali ini. Sekali lagi, maaf.
"I-iya, a-aku ma-mau." Beriringan dengan sejumlah kata yang keluar, sang air mata pun ikut merayakan momen tersebut.
Seketika senyum Regan kembali mengembang lebar. Akan ia ucapkan banyak terima kasih pada Ziva karena sudah ikut andil dalam aksi penting ini.
"Berarti sekarang kita pacaran?" tanya Regan gugup.
Edel mengangguk pelan, dan Regan yang baru saja bernapas lega pun ikut terduduk di samping kekasih barunya. Tangannya seketika bergerak mengusap puncak kepala Edel, bahkan ia juga berbisik, "Thank you for accepting me. I love you."
Tentu saja kalau pasangannya Edel, tak akan pernah ia dengar balasan serupa. Gadis itu justru masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Mungkinkah ini hanya mimpi atau memang nyata?
"I-iya sama-sama, Regan." Edel menundukkan kepala. Masih bingung dengan keputusan yang sudah ia ambil. Apakah sudah tepat atau justru merugikan banyak pihak?
Tiba-tiba saja seorang cowok yang baru saja keluar dari kelas dan hendak mencari kenyamanan di area taman sekolah dibuat terkejut. Rahangnya mengetat, bahkan kedua tangannya pun ikut mengepal.
Napasnya yang memburu membuat segala ekspetasi akan relaksasi otak seketika pergi melarikan diri. Benarkah yang ia saksikan di hadapannya ini bukan sang sepupu?
Sakit rasanya melihat kebersamaan mereka. Dari jauh-jauh hari ia sudah memberi tahu Edel bahwa sampai kapan pun, tak 'kan pernah ia beri izin untuk berdekatan seperti ini.
Namun, sekarang ... nyatanya semua berbeda. Apa yang terucap melalui bibir, justru berbalik dengan kondisi hati. Ternyata ia sudah salah menaruh kepercayaan. Dipikirnya Edel adalah sepupu terbaik yang akan selalu setia menuruti segala nasihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Fiksi Remaja-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...