🐝13: Bertemu Dia

683 75 7
                                    

Ariyanto semakin jarang terlihat  di rumah. Mungkin pria paruh baya itu sedang menikmati pundi-pundi dari hasil judinya.

Edel kerap merasa lega. Hatinya terasa damai saat menyaksikan sunyi dan sepi di tempat tinggalnya. Tak perlu melakukan senam jantung dan bisa beristirahat dengan tenang merupakan salah satu hal yang sulit didapatkan.

Tubuhnya ia baringkan di atas kasur. Embusan angin dari alat pernapasannya pun ikut melompat ke luar sebentar.

Bola matanya melirik ke sebuah kursi belajar di sebelahnya, seketika terhenti saat menatap tas sekolahnya. Dengan cepat tubuh Edel bangkit, lalu segera berpindah posisi—duduk menghadap tas sekolahnya.

Kedua tangannya sibuk merogoh tas—berusaha menemukan sebuah dompet lipat hitam polos. Setelah itu ia ambil barang berharga itu—hendak memeriksa jumlah uang yang tersisa.

Dengan lincah para jari bergerak di atas kertas persegi panjang tersebut. Lembaran warna merah muda sudah tidak bisa dikatakan banyak lagi. Mungkin hanya tersisa enam lembar saja. Jika dihitung lebih teliti pun, andai mendapat uang transferan dari sang ibu, tetap saja tidak mencukupi andai gaya hidupnya terus seperti ini.

"Apa aku kerja aja, ya?" Edel masih menimang keputusannya. Masih belum yakin apakah itu adalah yang terbaik atau bukan. Tapi kalau dilihat dari jam pulang Ariyanto yang semakin larut, sepertinya kesempatan itu sah-sah saja 'tuk diambil.

"Kalau papa marah gimana, ya? Tapi aku juga butuh uang. Apa mungkin kalau setengah dari gaji yang dikasih aku kasih papa biar dia seneng?" Edel menganggukkan kepala. Keputusannya semakin bulat. Semoga saja Ariyanto terus pulang larut agar ia bisa bekerja dengan tenang sepulang sekolah.

Edel mengambil ponsel pintarnya, lalu sang jari pun bergerak lincah—sibuk mencari lowongan pekerjaan melalui sebuah aplikasi. Ada salah satu kafe yang tampak menarik perhatian Edel. Tempat itu berani mempekerjakan anak yang duduk di bangku SMA.

🐛🐛🐛

Sudah beberapa hari Edel menunggu setelah melakukan interview di Kafe Ice Bear. Akhirnya ia mendapat panggilan dan bisa langsung bekerja paruh waktu.

Suasana kafe didominasi oleh warna putih dan biru muda, bahkan terdapat beberapa stalaktit yang berhasil menggambarkan suasana kutub berhasil menampilkan kesan unik. Edel—sebagai pegawai baru pun harus mengenakan sebuah kaos dan celemek putih, serta topi bermotif beruang kutub.

Tapi ada satu hal yang tampak mencuri perhatian Edel. Ada seorang lelaki yang kerap ia lihat di sekolah. Cowok berambut jabrik dengan manik hitam pekat itu sedang berkutat dekat mesin kopi.

Ah, tapi Edel tak boleh terus menatapnya. Bisa-bisa orang lain justru menaruh curiga dan menyangka hal yang tidak-tidak.

"Kamu nanti minta ajarin yang lain buat bikin kopi, ya," ucap seorang pria paruh baya yang merupakan manager dari Kafe Ice Bear.

Edel mengangguk paham, kemudian segera memasuki ruang kerja dan meminta karyawan lainnya 'tuk membantu walau sedikit dilanda kecanggungan.

"Iya, jadi nanti kamu harus perhatiin ini udah sampe berapa mili, karena kalau kelebihan juga rasanya berubah," kata seorang barista perempuan ramah.

Edel paham. Pengalaman bekerjanya kali ini tidak terkesan buruk, bahkan teman-teman di sini pun terkesan ramah dan mau mengajarkan dengan sabar. Ia rasa, di sini juga bisa menjadi tempat pelarian di kala stres akibat tekanan dari Ariyanto.

"Sekarang kamu coba bikinin pesanan buat nomor antrian tujuh puluh lima, ya." Perempuan itu menepuk bahu Edel, lalu membantu menyiapkan bahan apa saja yang dibutuhkan.

Dengan cermat gadis berusia 16 tahun itu mempraktikkan apa yang sudah diajarkan. Sungguh ... perempuan yang membantu Edel dibuat senang. Tak salah pula atasan mereka menerima Edel sebagai karyawan paruh waktu. Sangat membantu.

Tiba-tiba saja seorang lelaki yang sering Edel temui di sekolah menoleh—sedikit merasa kepo dengan perbincangan seru di belakang. Siapa gadis yang sedang diajarkan? Tampaknya kalau dilihat dari tubuh bagian belakang, ia adalah Edel.

"Loh, lo kerja di sini juga?" tanya si cowok berbibir tipis.

Sengaja ngegantung WKWKWKKWKW

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sengaja ngegantung WKWKWKKWKW

Iya bab kali ini cuman 600 kataan, biasanya 1000. Tapi insyaallah bab selanjutnya 1500🤣

Happy reading!

Love u,

Bong-Bong❤️

Btw udah riset di google, kalo masih ada aja perusahaan yang nerima anak di bawah 17 tahun kalau part time gitu

Edelweiss [Completed]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang