🍕11: Macan

779 78 15
                                    

Hari ini adalah hari yang paling dinantikan oleh Edel. Mungkin bagi beberapa orang terkesan membosankan, tapi Edel justru sangat menunggu hal ini. Ia mengikuti eskul tata boga sepulang sekolah.

Jika biasanya Edel tak memiliki teman, tapi di tempat inilah dia mengenal berbagai orang dari kelas lain walau tak terlalu akrab.

Mungkin pula karena persamaan hobi yang dimiliki, mereka jadi lebih bisa berbincang dan memilih topik untuk dibicarakan saat praktik memasak.

Beberapa dari anggota kelompok satu—kelompok Edel—merasa bahwa gadis yang terkenal suka menangis itu bisa diandalkan walau terkadang suka membuat panik orang-orang di sekitarnya.

Hanya di tempat ini Edel bisa merasakan yang namanya kebahagiaan. Memang biasanya memakan waktu yang cukup lama, tapi hanya kegiatan ini yang bisa ditoleransi oleh Ariyanto lantaran berkat itu semua, anaknya bisa menyiapkan hidangan makan malam.

Andai Ariyanto sudah sampai di rumah terlebih dahulu pun, Edel sudah meletakkan kunci di dalam kotak rahasia beralaskan sebuah kain putih bertuliskan  ancaman bagi siapa pun yang berani membuka. Kotak itu menempel di dekat pintu gerbang.

"Ini margarinnya, aku udah bawa. Seratus gram, 'kan?" tanya Edel sembari meletakkan bahan yang ia bawa di atas meja kayu berukuran satu meter.

Lima orang siswa yang juga mengelilingi meja itu mengangguk kompak, kemudian ikut mengeluarkan bahan apa aja yang mereka bawa dari rumah.

"Hari ini kita mau bikin chizza, ya," ucap seorang wanita berusia tiga puluh tahun berambut seleher yang merupakan guru pembimbing kelompok satu—Bu Petog.

"Iya, Bu."

"Bahannya sudah lengkap semua?" tanyanya sembari menatap semua bahan yang terbaring di atasnya.

Sebuah anggukkan berhasil ia dapatkan lagi. Tapi sepertinya ada sesuatu yang kurang di sana. Ah, iya, tak ada telur di sana. Bagaimana caranya mereka membalurkan ayam untuk digoreng nanti? Bisa-bisa gagal pula adonan yang sudah dibuat.

"Siapa yang bawa telur?"

Sebuah keheningan berhasil merampas suasana saat itu. Tak ada yang menjawab. Semua sibuk menengok ke kiri dan kanan. Masih berusaha 'tuk mengingat tugas siapa itu.

Sampai akhirnya salah satu dari mereka berinisiatif untuk membuka grup kelompok. Astaga pantas saja si telur tidak mau hadir di sini.

"Ya ampun, Nova mana?" Seorang gadis berkucir satu dengan pita merah sibuk melirik ke semua sudut ruangan.

"Kan ... makanya kalau mau eskul itu diperhatiin dulu temennya siapa aja yang bolos atau ijin, jadi nggak usah ribet-ribet kayak gini!" seru Bu Petog sebal.

Sudah bukan pertama kali mereka berbuat seperti ini. Yang menjadi masalah adalah, Bu Petog jadi harus sampai rumah lebih lama lantaran jarak sekolah dan tempat tinggalnya yang terlampau jauh. Padahal ia sudah berharap bisa pulang tepat waktu untuk bertemu buah hatinya—Sekar Wangi.

Andai murid-muridnya bisa mengerti, pasti bayi lucu di rumahnya itu senang karena bisa mendapatkan ASI secara langsung.

"Maaf, Bu. Nova baru ngabarin saya kalo dia sakit," balas gadis berkucir satu tadi.

Bu Petog menghela napas kasar. Mengapa jika sakit tidak memberi tahu sejak awal agar bisa membeli bahan yang kurang  lebih cepat? Sungguh ... anak zaman sekarang. Lebih senang mengabarkan sesuatu secara dekat dan tidak memiliki niat untuk antisipasi.

"Ya udah sekarang beli di kantin," perintahnya. "Siapa yang mau beli? Edel sama Sasya aja."

Kedua gadis yang ditunjuk itu sontak mengangguk cepat, lalu langsung berjalan keluar dari lingkaran kelompok 'tuk pergi menuju kantin.

Edelweiss [Completed]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang