"Lo udah ijin sama Bang Daun dan bilang ke dia kalau lo mau beli bahan sama temen kelompok?" tanya Regan yang sudah berdiri di samping pintu masuk sekolah. Senyumnya terulas lebar.
Baiklah ia akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin, bahkan mengajaknya berlama-lama di pasar swalayan. Setelah dicerca oleh kedua sahabatnya terkait hubungan ia dan juga Edel, kini Regan berniat mencari hiburan. Jika semuanya dilakukan bersama dia, pasti akan terasa indah.
"U-udah," balas Edel singkat sambil mengangguk pelan. Jika bukan karena Regan memiliki jasa, pasti ia tak akan melakukan ini. Mau bagaimanapun, dari segala macam kekasaran yang diterima, semuanya memiliki dampak positif.
"Dikasih nggak?"
Edel kembali mengangguk pasrah. "Iya, soalnya tadi Kak Daun juga mau kerja kelompok. Jadi, nggak bisa bareng. Terus juga langsung ngangguk."
Seolah bergerak sendiri, kini tangan Regan sudah mengusap lembut kepala Edel—bagai seorang anak kecil yang sudah melakukan hal terpuji.
"Good girl!"
Edel tersenyum malu-malu, setelah akhirnya mengikuti langkah Regan dari belakang menuju pasar swalayan.
Di tengah embusan angin yang begitu kencang, tangan Regan seketika berjalan ke belakang. Mencari pasangan untuk menemani hoodie yang ia kenakan. Kasihan tidak ada yang menyentuh, selama ada kesempatan, kenapa tidak dilakukan? Kan ia sedang meniru semua cara Ziva.
Tak tahu apakah tangan Edel memang hanya bisa menuruti segala tarikan atau bagaimana, tapi yang jelas dengan lemas jari-jari itu pasrah saat ditarik untuk berpindah posisi ke depan perut Regan. Tak lupa, tangan sebelahnya pun juga ditarik agar sang perut bisa mendapatkan sebuah belaian dari dua buah tangan.
"Biar nggak jatoh. Lo kan kayak kapas, nanti terbang. Jadi harus dilem di sini," ucap Regan sembari mengusap dua buah tangan yang masih menempel di perutnya.
"I-iya." Bukan sosok hangat Regan yang ia bayangkan, melainkan sosok sang ayah yang tiba-tiba saja muncul. Edel memang benci kepada Ariyanto, tapi tiap kali merasakan beberapa hal yang sama, ingatan manis itu kembali.
Mungkin gadis ini memang salah, karena terlalu banyak berharap pada sesuatu yang tidak mungkin. Ya ... Ariyanto tidak akan kembali seperti dulu. Mungkin semua itu hanyalah sebuah mimpi indah yang diberikan oleh Tuhan, dan seketika semuanya berganti menjadi sesuatu yang kejam.
Sebenarnya Regan sendiri pun tidak mendengar apa yang Edel ucapkan, tapi ya sudah. Ia akan menjawab, "Oke."
Tunggu ... apakah Regan bisa membaca pikirannya hingga menjawab 'Oke'? Astaga ... ia tak boleh tahu akan semua ini. Hanya Daun saja yang boleh. Semoga Regan hanya asal berbicara.
Setelah akhirnya dirampas oleh suara bising dari kendaraan sekitar, mereka pun sampai di pusat perbelanjaan.
Tiba-tiba saja segerombol murid berseragam putih hitam bergaris—persis seperti yang Edel kenakan menatap kehadiran Regan dan juga dirinya penuh heran. Jadi, benar gosip yang disampaikan oleh Sasya saat berbelanja bersama?
"Loh, Edel, jadi lo udah jadian sama manusia jahat ini?" tanya Sasya yang kembali memastikan. Andai saja benar, pasti teman-temannya akan semakin percaya pada segala gosip yang ia sebar.
Edel menggeleng cepat, sementara Regan yang baru saja meletakkan helm di atas motornya mengangguk cepat. Ini adalah kesempatan untuk membuat Edel merasa malu, lalu dengan mudahnya akan menerima cinta Regan suatu saat nanti.
"Iya. Kenapa?" Seketika mereka semua bungkam, kemudian segera masuk ke dalam. Edel yang masih terkejut dengan ucapan Regan, terdiam bagaikan patung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Roman pour Adolescents-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...