Edel kembali menjadi sosok penyendiri. Mereka yang sempat menjadikan Edel sebagai teman sudah pergi tak tahu ke mana. Seperti kata pepatah, di saat kita berada di puncak, maka semua orang akan mendekat. Begitupun sebaliknya.
Dunia terasa milik sendiri. Tak ada suara, ucapan, bahkan pendengaran yang mau menyapa. Sunyi bagaikan padang pasir yang sepi.
Di saat orang-orang sibuk berbincang, berbahagia bersama teman-temannya, Edel hanya bisa menelungkupkan kepala di jam kosong. Berharap akan kedatangan guru pengganti untuk mengusir penat kala kegelapan alam bawah sadar tiba.
Tak ada tugas ataupun pekerjaan rumah yang bisa Edel kerjakan sekarang. Batinnya pun terus berceloteh ria soal penyebab guru pelajaran hari itu tak masuk.
Edel memang menyukai kesendirian, tapi terkadang ia juga butuh komunikasi. Ia masih bisa merasakan yang namanya bosan, tapi rasa percaya diri sangat segan untuk memihak.
"Edel." Suara itu berhasil membuat gadis berusia enam belas tahun tersebut mengangkat kepala.
"Ya?"
"Bagi tisu, dong! Air gue tumpah."
"Kamu nggak mau ngepel aja?" Dari ancaman Daun kemarin, Edel mulai bisa belajar 'tuk menolak walau rasanya sulit.
"Mager ambil pel-an."
Edel terdiam, kemudian segera memberikan beberapa lembar tisu. Cewek dengan tubuh gemuk dan rambut yang terkepang dua seperti perempuan desa itu tersenyum bahagia.
Tanpa mengucapkan terima kasih ataupun hal lainnya, gadis itu segera pergi dan menumpukkan beberapa lembar tisu di atas genangan kecil yang ia ciptakan sendiri.
"Jorok, ih! Masih basah, anjir!" ucap teman di sebelahnya. "Ambil pel-an aja, Dut."
Ia terdiam dan masih fokus mengeringkan lantai.
"Kurang itu tisunya. Sinilah biar gue mintain."
Saat Edel baru saja kembali menelungkupkan kepala, ketenangan yang baru ia dapat kembali diusik.
"Bagi tisu lagi. Temen gue nggak becus ngelapnya, jadi butuh banyak tisu."
Dengan terpaksa pula Edel harus melayani agar tak dicap sebagai manusia pelit.
"Ya udah, apa mau aku yang lap-in?"
Gadis yang berdiri di hadapan Edel kini membelalakkan mata lebar. Benar-benar bodoh. Tapi baiklah, ia tak akan menolak. Siapa tahu saja dengan bantuan Edel semuanya menjadi lebih cepat beres.
Edel bangkit, lalu mengikuti langkah gadis itu menuju mejanya. Segera membungkukkan badan untuk membantu sekaligus berjaga-jaga agar tisunya tidak habis. Sebab sudah sering sekali Edel kehabisan tisu hanya karena diminta oleh mereka.
Apalagi uangnya harus ia bagi sebaik mungkin agar bisa mencukupi hidup setiap bulan. Apakah mungkin ia akan bekerja demi menambah pundi-pundi? Ah, tapi rasanya tak mungkin. Bisa habis nasibnya bersama Ariyanto nanti. Hiasan indah di dalam tubuhnya pasti bertambah banyak.
Kring ...!
Semua murid sontak bersorak gembira. Andai mereka bisa pulang sedari tadi tanpa mengkhawatirkan larangan dari guru piket, pasti rasanya akan menjadi lebih nikmat.
Edel masih membantu membersihkan cairan bening tersebut tanpa peduli suara apa yang baru saja menelusup, dan tiba-tiba saja Regan sudah berdiri di belakangnya dengan tas ransel hitam polos.
"Woi!" Telunjuk Regan mencolek bahu Edel, dan tentu saja hal itu berhasil membuat Edel menoleh.
Bagaimana bisa Regan ada di sini? Apa yang membuatnya menjadi niat seperti itu sampai mencari Edel?
KAMU SEDANG MEMBACA
Edelweiss [Completed]✔️
Novela Juvenil-Dia yang abadi bersama air mata dan jalan menuju kematian Ini adalah kisah tentang Edel, seorang gadis yang selalu mengekspresikan senang atau sedih melalui air mata. Selama hidupnya, ia tak pernah berani berkata "Tidak". Terlalu sering menuruti s...