5. Oh! Berhasil! (revisi)

210 19 5
                                    

Sudah hampir waktu tutup Resto&Cafe, anehnya Daehyun tidak pernah lagi melihat Yoongi sejak makan siang. Ia bahkan tidak yakin apa Yoongi masih berada di Resto&Café atau tidak. Apa Yoongi tidak apa-apa? Apa yang dia lakukan di ruang kerjanya selama ini? Itu benar-benar membuat Daehyun sangat penasaran.

Setelah menatap pintu ruang kerja Yoongi cukup lama ia akhirnya mengalihkan pandangannya dan mencari seseorang untuk bertanya.

"Seokjin Hyung, apa kau melihat Yoongi Hyung?"

Ia segera berjalan cepat menuju Seokjin yang baru saja membersihkan tangannya di celemeknya.

Seokjin yang mendengar suara itu segera menjawab.

"Yoongi? Dia pasti tidur"
Seokjin lalu melihat jam tangannya. Saatnya untuk bersiap-siap membereskan resto&café. Ia tidak ingin Daehyun melakukan pekerjaan berat. Jadi, tidak ada salahnya mengirim anak kecil di depannya ke sarang– maksudnya ruang kerja Yoongi.

"Apa kau bisa membangunkannya, Daehyun?"

Sejenak, Daehyun terdiam. Fokusnya teralihkan. Sorot matanya tidak sengaja ke arah area café. Seokjin mengikuti tatapan Daehyun dan salah mengartikan tatapannya.

“Mau minum apa? Katakan. Aku akan membuatkannya untukmu.”

Daehyun sedikit tersentak dan segera mengangkat tangannya untuk meraih baju Seokjin yang menjauh.

“Ah, tidak. Bukan itu yang kuinginkan.”

“Lalu?”

Daehyun menggulum ke dalam bibirnya. Ia ragu mengatakannya.

“Itu… Apa aku boleh menggunakan itu?”

Melihat Daehyun menunjuk mesin penyeduh kopi, Jungkook dan Taehyung, dari kejauhan segera mengangkat tangan mereka tinggi-tinggi. Kalimat terakhir Daehyun tidak sampe ke telinga mereka, jadi  kesalahpahaman terulang kembali.

"Apa kau mau hot chocolate lagi? Aku akan membuatkannya untukmu! Aku jamin lebih enak dari pada buatan mulut kotak.”

"Eeh!? Siapa kau panggil mulut kotak, Kelinci?!"

Suara mereka menggelegar ke penjuru ruangan hingga akhirnya mereka beradu mulut sampai Jimin harus melerainya. Jin hanya dapat menghela napas dan mengusap wajahnya dengan tangan kanannya. Jika saja masih ada pengunjung, entah bagaimana nasib mereka nanti.

Melihat ada kesempatan, Daehyun segera pergi dan membuat minuman yang ia ketahui secepat mungkin.

"Selesai."

Ia mengatakannya dengan sangat bangga.

Tidak membutuhkan waktu yang lama, segelas Ice Americano dan empat gelas milkshake telah tersedia di counter café. Ia melihatnya dengan puas dengan kedua tangan yang berada di pinggang.

"Hyung, minumlah milkshake ini. Aku akan pergi membangunkan Yoongi Hyung."

Tanpa menunggu jawaban keempat Hyung yang masih berargumen, Daehyun masuk ke ruang kerja Yoongi dengan Ice Americano di genggamannya.

Tanpa ia ketahui juga, keempat Hyung itu seketika berhenti bertengkar dan terdiam menatap empat gelas milkshake buatan Daehyun. Dengan cepat mereka mengecek apakah ia menyentuh benda tajam atau berbahaya lainnya.

"Aman," kata Taehyung.

"Di sini juga aman," lanjut Jungkook.

"Ini adalah akibatnya karena kalian suka bertengkar," gerutu Jimin.

Seokjin mengabaikan mereka bertiga dan segera meminum salah satu milkshake.

"Enak. Apa kalian mengajarnya?"

Seokjin menatap Taehyung dan Jungkook yang merupakan barista café, sedangkan mulutnya tidak berhenti menyeruput dan mengecap milkshake-nya

Mereka berdua hanya menggeleng dan mengatakan bahwa Daehyun hanya melihat mereka membuat pesanan.

"Itu berarti dia menirunya dengan sempurna, tapi bukankah pesanan Ice Americano itu empat jam yang lalu dan milkshake merupakan pesanan sekelompok remaja yang mengganggu Daehyun tadi siang? Buku resep juga telah aku simpan di tempat yang tidak bisa di jangkaunya," kata Jungkook.

"... wow, dia memang punya ingatan yang bagus," sahut Taehyung bangga lalu meminum milkshake-nya.

"Kalian terlalu berlebihan. Ice Americano hanya perlu di seduh dari mesin penyeduh dan diberi es batu agar minuman itu sesuai dengan namanya. Dan juga, bahan milkshake hanya dari bubuk. Blender dengan air dan es batu saja sudah jadi," sahut Jimin.

setelah mengatakan itu, ia akhirnya sadar, wajahnya langsung sedikit pucat dan memberi saran agar Seokjin mem-black list Daehyun untuk menyentuh mesin bertekanan tinggi itu.

Di sisi lain, Daehyun masuk ke ruangan Yoongi dengan sangat hati-hati, ia tidak ingin mengagetkannya. Ia melihat Yoongi tertidur dengan posisi duduk di depan meja kerjanya. Leptopnya masih menyala dengan pemberitahuan error di mana-mana dan beberapa kertas yang lumayan memiliki banyak coretan salah. Toko di tutup jam 21.00, ia hanya memiliki waktu 30 menit untuk memperbaiki semuanya. Sebelum melakukan apa yang harus ia lakukan, ia memberikan Yoongi selimut lalu menarik kursi di sampingnya.

"Agak berantakan... lebih baik kerja ulang."

Ia tahu kalau mengotak-atik pekerjaan orang itu tidak baik, apalagi tanpa izin. Tapi ia tidak bisa membiarkan kata ‘Error’ itu menetap di layar, tangannya sangat gatal untuk menghilangkannya. Jadi, ia memilih membuat program baru dan tidak mengganggu pekerjaan yang telah Yoongi buat.

Pertama Daehyun memperbaiki permasalahan di kertas baru lalu menyalinnya di leptop setelah memperhatikan tujuan dibuatnya program itu.

Beberapa menit kemudian, Daehyun menatap tajam layar monitor dengan jari telunjuk yang telah siap untuk menekan tombol enter. Ia memejamkan kedua matanya lalu menekan tombol itu dengan penuh harap.

Klik

Saat ia membuka kedua matanya,  di layar terpampang tulisan Success. Walau waktunya terlewat, ia dengan semangat bersorak.

"Oh! Berhasil!”

Yoongi terbangun karena suara Daehyun dan cukup terkejut melihatnya berada di ruangannya.

"Apa yang kau lakukan di sini, Daehyun? Jika kau ingin istirahat… hoam… Jangan di kursi, tidurlah di sofa," kata Yoongi dengan suara khas baru bangun tidur.

"Tidak, Hyung. Aku ke sini untuk membangunkanmu karena Resto&cafe akan ditutup. Ini Ice- Eh? Sudah mencair?”

Ice americano itu sekarang hanya menjadi americano, esnya telah mencair. Apa temperatur saat ia menyeduh kopi tadi terlalu tinggi?

"Tidak apa-apa. Mencair atau tidak, ini tetap Ice americano," sahut Yoongi lalu meminumnya. "Oh, apa kau mengurangi kadar gulanya? Café ini cukup aneh, masa ice Americano pake gula."

"Lebih tepatnya tidak menggunakannya sama sekali. Hyung tadi bilang tidak suka manis dan seharusnya memang begitu. Tapi… bukannya Hyung yang mengurus café?”

Yoongi terdiam sejenak sambil memutar-mutarkan minumannya. Menyesapnya sedikit lalu menghela napas panjang.

“Tanyakan itu kepada barista.”

Daehyun hanya mengangguk mengerti, mungkin.

"Omong-omong, kenapa kau tidak langsung membangunkanku?"

"Hyung tadi tertidur dengan sangat nyenyak. Jadi, aku berpikir mungkin membangunkanmu sebentar lagi."

"Dan kalimat 'berhasil'?"

Sejenak Daehyun terdiam lalu menggulum bibirnya ke dalam. Ia lalu menunjuk layar, di mana hasil kerjanya terpampang.

"… Oh, ini. Maaf menggunakan leptopmu tanpa seizinmu.”

Yoongi kaget dan langsung melihat leptopnya. Dia hanya menatapnya tidak percaya, program yang ia kerjakan selama 10 jam berfungsi!

"Kau yang mengerjakannya?"

Yoongi menanyakannya sekali lagi dengan nada tidak percaya.

"Iya, maaf. Ini kertas cakaranku."

Yoongi menerima beberapa lembar kertas itu dan menganalisisnya dengan serius.

"Kau benar. Kenapa bisa aku tidak memikirkan ini? Daehyun, terima kasih."

"Sama-sama….”

Ia bingung. Hyung di depannya, seorang pria dewasa, tidak menggunakan nada tinggi, tetapi nada yang sangat membuatnya ingin tersenyum. Begitu juga dengan para hyung yang berada di luar ruangan. Ia juga mengingat dua dokter yang sangat baik itu.

Apa ia memasang tamengnya terlalu kuat? Apa dinding yang ia buat terlalu tinggi hingga membuatnya merasa canggung dengan semua kehangatan yang ia terima? Tunggu, kapan hal itu mulai terjadi? Ah, ia akhirnya ingat. Itu saat ia pertama kali menapakkan kakinya di rumah yang sekarang nyaris diambil.

Ia tahu semua orang, baik anak-anak maupun dewasa, berbeda satu sama lain. Hanya saja instingnya yang membuatnya untuk melakukan semua itu, untuk tidak langsung menerima sepenuhnya kehangatan yang ia terima. Untuk tidak mempercayai orang lain.

“Karena Hyung telah bangun, aku akan bersiap-siap untuk pulang."

Yoongi ingin melempar pertanyaan lagi, tetapi ia menahannya dan mempersilahkan Daehyun pergi.

Pintu telah tertutup, tangan Daehyun masih memegang kenop pintu. Wajahnya menampakkan ekspresi rumit. Insting dan nalurinya benar-benar bertolak belakang. Satu menyuruhnya untuk membangun lebih tinggi dinding dan memperketat penjagaannya. Sedangkan, satunya lagi menyuruhnya untuk membuka pintu, yang sudah lama ia tidak perhatikan, dan mempersilahkan lima pria yang baru ia temui sehari serta dua dokter yang baru ia temui beberapa kali untuk masuk ke wilayah yang ia jaga ketat.

“Ugh!”

Rasa sakit di kepalanya kembali muncul. Ia tahu ini bukan pertama maupun kedua kalinya ia merasakan rasa sakit itu.

“Ugh… sakit ini mulai muncul kembali saat seminar. Apa aku harus ke rumah sakit? Aish, itu akan memakan biaya.”

Di sisi lain, setelah Daehyun keluar, Yoongi melihat CCTV dan terkejut bahwa Daehyun hanya memperlukan waktu 45 menit untuk mengerjakannya.

"Sudah kuduga, dia masih seperti dulu. Tapi kenapa nilai rapornya hanya rata-rata? Apa dia sengaja?"

Yoongi sekali lagi menghela napas panjang. Tatapannya masih berfokus kepada raut wajah Daehyun yang terekam CCTV saat ia mengerjakan programnya.

Senyum samar mulai terukir.

“Ia bahkan hampir tidak berkedip… sama seperti dulu.”
.

.

Daehyun telah mengganti pakean dan bersiap-siap untuk pulang. Sebelum melangkahkan kakinya keluar dari Resto&Café, ia dihadang oleh Seokjin.

“Ada apa, Hyung?”

Ia mulai khawatir. Raut yang dikeluarkan oleh Seokjin sangat serius. Apa ia melakukan kesalahan? Ah, apa sekelompok remaja tadi telah melemparkan komplainnya? Apa yang harus ia katakan?!

“Mulai detik ini.”

Daehyun mencengkram ujung sweater-nya. Ia akan menerima semua kalimat yang benar dan membantah jika ada yang salah.

“Kau dilarang untuk menyentuh mesin apa pun itu di area café, tidak, kau dilarang masuk ke area belakang counter café.”

Ia terkejut karena Seokjin memberitahunya bahwa ia dilarang untuk masuk ke area barista.

“A-Apa ada yang rusak?! Aku benar-benar melakukannya dengan sangat hati-hati tadi.”

Mendengar suara yang gemetar keluar dari mulut Daehyun membuat Seokjin merasa sedikit bersalah. Terdapat kesalahpahaman di sini.

Ia mengangkat tangannya hanya untuk mengelus rambut Daehyun. Tetapi, kedua matanya segera membulat saat melihat reaksi Daehyun yang memejamkan kedua matanya dan seperti telah siap untuk menerima pukulan.

Ia segera menurunkan tangannya dan memilih untuk berlutut dengan satu kakinya.

“Daehyun.”

Mendengar namanya disebut, Daehyun akhirnya membuka matanya. Ia melangkah mundur sebab ia terkejut dengan perubahan posisi Seokjin.

“Maafkan aku. Aku tidak memarahimu karena menyentuh mesin-mesin itu. Aku hanya khawatir kalau saja kau tidak sengaja melukai dirimu.”

Seokjin mengulurkan tangannya, membiarkan jari kelingkingnya mencuat keluar.

“Berjanjilah kepadaku kalau kau tidak akan melakukan sesuatu yang berbahaya dan minta bantuan jika kau kesusahan. Apa kau bisa?”
Kalimat itu seperti sebuah penawaran, tetapi entah kenapa itu terasa seperti kalimat yang absolut.

“Ehm… baiklah. Aku berjanji.”

Daehyun mengaitkan jari kelingkingnya hingga membuat gerakan mengunci.

“Hah?"

Ia tidak menyangka akan benar-benar dikunci. Seokjin tidak melepaskan tangannya.

“Apa ada orang lain yang membuatmu bereaksi sepertu itu?”

Tecegang. Ia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Tatapan mata yang dikeluarkan oleh Seokjin sangat menakutkan.

“Tidak.”

“Lalu, kenapa kau bereaksi seperti itu? Daehyun, jangan berbohong kepadaku.”

“Aku tidak berbohong.”

Apa reaksinya tadi sangat berlebihan? Ia memang memejamkan matanya karena berpikir akan mendapatkan pukulan.

“Katakan sejujur-jujurnya.”

“Aku jujur!”

Ia mulai frustasi.

“Aku melakukan itu hanya karena memikirkan kemungkinan terburuknya! Aku tidak sengaja pernah melihat atasan memukul bawahannya karena melakukan kesalahan. Hanya itu.”

“Aku tidak akan melakukan itu.”

Raut wajah Seokjin mengatakan bahwa apa yang ia katakan serius.

“Aku tidak akan memukulmu, tetapi memberikanmu hukuman.”

“Eh? Bukankah itu sama saja?”

Seokjin tersenyum. Pembicaraan ini tidak akan ada akhirnya jika menjawab semua pertanyaan bocah di depannya.

Ia mengangkat sekali lagi tangannya. Reaksi yang sebelumnya tidak terlihat lagi maka dengan begitu tangannya dengan mulus mendarat di kepala Daehyun.

“Tunggulah di pintu keluar. Jika aku tidak melihatmu di sana, hukumanmu akan bertambah.”

Beberapa saat kemudian, Daehyun jalan dengan wajah cemberut. Ia akhirnya tahu kenapa ia dilarang menyentuh barang-barang yang berada di belakang counter café.

"Dihukum karena membuat minuman? Apa salahnya? Terlebih lagi, hukuman macam apa ini?" batin Daehyun sambil melirik kedua Hyung yang setia berada di sampingnya menuju rumah.

Ia pulang dengan Taehyung dan Jimin lewat batu gunting kertas, sedangkan Jungkook... ia terduduk di pojok restoran menerima kekalahannya.

Bukannya ia tidak suka diantar oleh mereka, hanya saja ia merasa tidak enak.

Sepanjang perjalanan, Taehyung bertugas mendorong sepeda Daehyun. Awalnya Daehyun menolak, tapi tentu saja tidak didengar.

"Ada apa, Daehyun?" tanya Jimin sebab dari awal mereka meninggalkan Resto&Cafe Daehyun tidak berhenti melihat ke belakang atau mengawasi sekitarnya dengan sangat waspada.

"Ah, tidak ada apa-apa," jawab Daehyun.

"Jangan Bohong. Dari tadi aku perhatikan kau sangat waspada dengan sekitarmu. Apa yang kau lihat?" tanya Taehyung.

Daehyun tidak langsung menjawabnya, ia kembali melirik ke belakang yang membuat kedua Hyung mengikuti arah pandangnya.
Tidak ada apa-apa di sana. Jalan yang hanya dapat di lewati satu mobil sangat sunyi dan terdapat lampu jalan redup yang membuat suasana semakin mencengkam.

Daehyun menarik lengan baju Taehyung dan Jimin, menyuruh mereka untuk merendahkan diri mereka sejenak.

"Aku rasa ada yang mengikuti kita."

Taehyung dan Jimin langsung menatap satu sama lain dengan terkejut lalu menatap Daehyun dengan tenang.

"... Benarkah?"

Bagaimana Jimin tidak percaya? Ia tidak melihat siapapun di sana.
Daehyun mengangguk dengan sangat yakin.

"Mungkin hanya perasaanmu. Kau sudah bekerja seharian… mungkin hanya halusinasimu saja."

Walau Taehyung terdengar membantah pernyataan itu, matanya tidak berhenti menatap lorong gelap itu.

"… Mungkin," sahut Daehyun pelan. Lalu kembali melanjutkan perjalanan mereka.

“Kau harus menghubungiku jika sesuatu yang aneh terjadi. Apa kau mengerti? Kau menyimpan nomor teleponku, kan?”

Daehyun mengangkat ponselnya ke arah Taehyung.

“Lebih tepatnya, Hyung telah menyimpannya sendiri.”

Taehyung tersenyum dan menepuk lembut pipi Daehyun. Ia belum mau pergi. Ia ingin tinggal dan menemani Daehyun, tapi ia tahu ia tidak dapat melakukannya sekarang.

“Masuklah. Udara sangat dingin.”

Setelah melihat Daehyun masuk ke dalam rumah, Jimin dan Taehyung berjalan ke arah gang kecil dan sedikit terkejut melihat orang yang tidak asing di hadapan mereka, Jungkook, orang yang mengikuti mereka bertiga secara diam-diam.

"Maaf, aku mengikuti kalian secara diam-diam. Tapi, apa aku terlalu mencolok?"

"Tidak, sama sekali tidak."

Jimin sama sekali tidak menyadari keberadaan Jungkook, begitu juga Taehyung yang terlihat lega.

Awalnya Taehyung berpikir bahwa orang yang mengikuti mereka adalah orang yang berbahaya, tapi tetap saja, itu masih membuat Daehyun ketakutan.

"Tapi, Daehyun dapat menyadarinya. Bagaimana jika dia berpikir bahwa orang jahat mengikutinya?"

"Dia pasti akan lari ke kerumunan orang dan itu dapat membuatku kehilangannya," sahut Jungkook lalu berpikir sejenak. "Bukankah kita punya alat pelacak untuknya? Kenapa belum diberikan?"

"Hei, dipikiran Daehyun sekarang kita hanyalah orang yang baru ia kenal beberapa jam yang lalu. Apa kau tidak berpikir mendapatkan hadiah dari orang yang baru dikenal itu cukup aneh?"

Mereka hanya dapat terdiam
mendengar perkataan Jimin.

Drrt...

Drrt...

Drrt...

Suara during ponsel memecah keheningan. Jimin mengangkat telponnya dan menekan tombol speaker agar Taehyung dan Jungkook dapat mendengarnya.

"Ada apa, Hoseok Hyung?"

‘Kalian bertiga cepatlah ke sini.’

Suara Hoseok terdengar serius.

"Bagaimana dengan Daehyun?"

"Namjoon telah memasang CCTV dan pendeteksi jika ada sesuatu yang memaksa untuk masuk saat ia pergi tadi. Termasuk alat pendeteksi wajah milik Yoongi Hyung. Dia sekarang- kenapa ada stok mi instant di lemarinya?! Namjoon! Bukankah sudah kukatakan untuk menyingkirkan semua makanan instant?!"

"Aku telah menyingkirkan semuanya, Hyung! Coba kuliat... itu hanya udon dan terdapat set sayuran di dalamnya!"

"Tetap saja itu makanan instan!"

"Kalian berdua berhentilah bertengkar. Hoseok, lihat, Daehyun hanya makan sereal. Ini pasti dia mengingat seminar dadakanmu itu."

“Bagaiaman jika dia memakannya setelah sereal, Seokjin Hyung?!”

Mereka bertiga yang mendengar kerusuhan hanya diam dan menyimak.

"Intinya, kalian bertiga cepatlah kemari!"

Tuut...

Sambungan telepon diputuskan dengan teriakan Hoseok.

Mereka bertiga bergegas masuk ke mobil yang telah mereka siapkan. Mobil itu tidak jauh dari rumah Daehyun. Daehyun tidak curiga karena begitu banyak mobil tetangga ikut terparkir di dekat mobil itu.

"Kenapa dia marah ke kita?"
Jungkook yang berada di kursi belakang membuka suaranya setelah keheningan yang berlangsung lama.

“Entahlah. Hoseok Hyung memang sangat sensitif saat Daehyun makan makanan instant. Dia sangat kesal saat melihat Daehyun makan ramyeon di swalayan. Tanpa berpikir panjang, ia datang ke sekolah Daehyun untuk membuat seminar untuk mengurangi makan makanan instan," sahut Jimin matanya tetap fokus ke depan karena dia yang bertugas mengendarai mobil. "Apa kalian ingat?"

"Tentu saja! Siapa yang tidak mengingat kejadian dua bulan yang lalu itu. Dia melakukannya tanpa membicarakannya kepada kita semua," gerutu Taehyung. Ia selalu ditolak untuk menemui Daehyun walau hanya berpapasan saja setelah mengetahui seminar dadakan itu.

Mereka terus membicarakan kekesalan mereka terhadap Hoseok. Karena terlalu asik bercerita, mereka melewati tempat tujuannya. Markas tersembunyi yang berada di dalam hutan sekaligus rumah mereka.

TBC:)

Genius Boy [BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang