24. Park (Revisi)

60 12 0
                                    

“Sepertinya lukamu telah sembuh, pasien—maksudku, Hyeong.”

Mendengar kata tersebut keluar dari mulut Daehyun, pria itu mendegus kesal lalu mengambil semua lolipop yang Daehyun pegang. Ia hanya akan membiarkannya, untuk kali ini, mungkin.

“Eh? Itu punyaku! Hei—“

Kalimat itu tidak berhasil keluar sepenuhnya. Daehyun sedikit tersentak saat menatap kedua mata yang diberikan pria itu kepadanya, tetapi ia tetap membalas tatapan tajam itu dengan keberanian yang dipaksakan. Uh, dia benar-benar ingin kabur.

“Barusan kau memanggilu apa?”

“Uuh... Baiklah. Maafkan aku.” Daehyun membuka kedua telapak tangannya ke arah pria itu, memohon agar lolipop yang direbut itu kembali ke tangannya. Ia tidak akan memohon seperti itu jika stok lolipop itu masih tersedia di rak minimarket. “Hyeong, kembalikan... kumohon.”

“Tidak."

Sabar. Daehyun harus sabar. Ia sudah melewati hari-hari dengan tujuh Hyeong yang juga sedikit menyebalkan.

Setelah keheningan menemani mereka beberapa detik, pria itu kembali melemparkan pertanyaan. Kali ini lebih lembut, dan Daehyun bersyukur akan hal itu.

“Kenapa kau tidak mengambil keranjang?”

“Aku tidak tahu kalau belanjaanku akan sangat banyak hanya karena lolipop.”

“Jangan lakukan itu lagi. Tongkat lolipop ini memang terbuat dari plastik, tapi tetap saja dapat membuat tanganmu sakit atau terluka.”

“Palingan hanya lecet, tidak terlalu sakit.”

“Beda cerita jika luka kecilmu itu tersiram dengan air garam.” Dengan serigaian di wajahnya.

Daehyun yang mendengar maupun melihatnya langsung bergidik ngeri. Melihat si kecil hanya terdiam, pria itu langsung berjalan ke kasir dan membayarnya. Setelah ia menerima semua belanjaannya yang berisi barang yang Daehyun ambil, ia menarik pelan tangan Daehyun yang masih setia di tempatnya menuju restoran yang berada di samping minimarket.

Sebelum melangkah masuk ke dalam restoran yang terlihat sangat berkelas tersebut, Daehyun dengan sekuat tenaga menahan dirinya.

“Apa yang kita lakukan di sini?” tanya Daehyun yang sekuat tenaga menahan dirinya.

“Makan. Ini untuk balas budiku waktu itu.”

“Kau tidak perlu membalasnya sampai mentraktriku makanan di tempat seperti ini. Bukannya sudah impas? Kau juga sudah menyelamatkanku yang hampir jatuh ke jurang saat wisata sekolahku dulu.”

“Kalau begitu anggap saja sarapan yang terlewatkan, brunch.”

“Brunch? Tidak mau.”

“Kenapa? Apa ada tempat yang lebih enak dari restoran ini? Katakan saja.”

Jika mensangkut pautkan akan makanan ter-enak, dia akan dengan bangga mengatakan masakan Seokjin dan Yoongi, tidak lupa dengan makanan penutup buatan Jimin. Namun, membawa atau bahkan menyebutkan di mana ia tinggal kepada pria menyebalkan itu adalah pilihan yang buruk. Lagi pula, pria itu masih asing. Tidak mungkin ia akan dengan mudahnya membuka kan pintu.

“Lebih baik aku makan di gerai kecil seperti itu. Murah dan enak,” sahut Daehyun sambil menunjuk gerai kecil di sebrang jalan. “Dan juga cepat.”
Bukannya ia menolak makanan gratis, ia hanya tidak ingin lama-lama dengan pria di depannya.

Park mengikuti arah di mana Daehyun tunjuk, namun dengan cepat ia menolaknya.

“Aku yang mengajakmu. Jadi, pilihan berada di tanganku.”

"Lalu, kenapa Hyeong tadi bertanya kepadaku?"

"Aku menariknya kembali."

Daehyun tidak suka dengan nada pria tersebut yang terdengar mutlak, tidak ingin dibantah.

“Memang pasien Park yang mengajakku, tapi aku bisa menolaknya karena itu sebuah ajakan, undangan. Kau hanya mengundangku, bukan memerintahku,” sahut Daehyun panjang lebar. “Lain kali saja, aku sangat sibuk.”

Mendengar penolakan membuat cengkraman pria itu menguat.

“Lepas! Itu sakit!” seru Daehyun sambil memukul tangan pria itu bertubi-tubi. Tangannya seperti seakan-akan remuk jika tidak dihentikan.

“Ah, maaf, aku kelepasan,” sahut pria itu saat menyadari aksinya. Lalu dengan cepat menarik lengan baju Daehyun ke atas. “Sedikit merah… bagaimana jika kita kompres sebentar sambil menunggu makanan yang akan tersaji.”

Daehyun menatapnya tajam, membuat ekspresinya sejengkel mungkin, lalu menghela nafas yang sangat panjang. Pasien kali ini sangat keras kepala. Mendapat anggukan dari Daehyun membuat pria yang berada di hadapannya langsung tersenyum dan menuntunnya ke salah satu ruangan VIP yang ada.

Sekali lagi, Daehyun menolaknya sebab biayanya pasti akan bertambah, tapi dengan cepat pria itu atau Park menunjuk sekelilingnya. Tidak ada lagi meja kosong, atau lebih tepatnya semua meja yang berada di restoran itu memiliki sebuah tanda yang menunjukkan bahwa meja tersebut telah direservasi. Ini bukan hari raya, kan? pikir Daehyun dengan segala rencana yang mulai ia susun di kepalanya.

“Kita ke restoran lain saja. Gerai di luar juga pasti tidak kalah enaknya.”

“Apa kau baru saja membandingkan restoran ini di depan manajer restoran?”

Daehyun mengikuti arah telunjuk Park. Ia cukup terkejut kalau manajer restoran dan empat pegawai lainnya berdiri tidak jauh darinya. Ia berharap suaranya tidak terlalu keras.

“Jika kau tidak mau di ruangan VIP. Jadi, apa kau ingin menunggu? Kalau aku tidak masalah. 2 jam bukanlah angka yang besar.”

“2 jam?!” seru Daehyun kemudian ia menatap ke arah manajer yang untuk menanyakan kepastiannya.

Manajer itu hanya mengangguk dan segera berjalan untuk membuka salah satu pintu ruang VIP.

“Semakin lama kau berpikir, semakin lama juga waktu yang kau habisakan di sin—”

Park menghentikan kalimatnya karena Daehyun tiba-tiba menarik lengan jasnya. Park tersenyum lalu mengusap kecil kepala Daehyun.

“Pilihlah sesukamu, Hyeong akan membelinya untukmu.”

Setelah melihat-lihat menu yang ada, Daehyun memutuskan untuk memilih jajangmyeon karena penyajiannya pasti cepat. Tapi saat ia melihat harganya, matanya langsung membulat tidak percaya. Satu mangkok di restoran itu sama dengan sepuluh mangkok di toko kecil.

“Jangan lihat harganya,” kata Park dan langsung mendapatkan anggukan dari Daehyun.

“Jajang—”

“Pilih yang lain,” sela Park tanpa mengalihkan pandangannya dari menu.

Daehyun membalik halaman selanjutnya dan menemukan menu makanan dengan harga yang lebih murah. Dengan percaya diri dia menunjuk menu tersebut sambil menatap pelayan yang berada di  sampingnya.

“Pajeo—”

“Aku akan memilih makananmu,” sela Park sekali lagi.

Daehyun menatap Park bingung dicampur kesal karena ia belum menyelesaikan perkataannya, tapi selalu dipotong. Untuk apa menu yang berada dihadapannya jika bukan untuk dipilih? Daehyun menutupnya lalu memberikannya ke pelayan.

“Tadi bilang pilih sesukaku,” gerutu Daehyun pelan.

Ia hanya dapat memainkan kakinya dan tempat-tempat saus yang berada di atas meja, menunggu Park menyelesaikan pesanannya. Daehyun menatap jam sambil mengira-ngira waktu yang akan ia habiskan di restoran itu.

“Memangnya, apa kesibukanmu itu?” tanya Park setelah pelayan yang melayani mereka telah pergi.

“Mengantar makanan,” jawab Daehyun tanpa melihatnya, ia masih sibuk dengan racikan yang ia buat dari saus yang berada dihadapannya. Ia balas dendam.

“Kau kerja?!” seru Park dengan nada cukup tinggi lalu memukul meja.

Itu membuat Daehyun tersentak karena pukulan itu. Terdapat sedikit rasa bersalah, namun ia tetap membiarkan sedikit amarahnya keluar. Bocah kecil di depannya itu belum menatapnya karena sibuk menahan saus yang hampir jatuh. Apa saus itu lebih penting daripada dia?

“Tatap aku!”

Daehyun perlahan menatapnya dan memundurkan dirinya hingga belakangnya menyentuh sandaran kursi.

“Kau tidak perlu memukul meja,” sahut Daehyun kesal. “Aku tidak kerja, ini hanya tugas ringan.”

“Apa bedanya?”

“Ya, beda. Dari hurufnya saja sudah beda.”

Pembicaraan mereka terpotong karena pelayan datang mengantarkan baskom kecil berisi air dingin dan handuk kecil. Tanpa seizin pemilik tangan, Park langsung menarik tangan Daehyun lalu mengopresnya dengan handuk yang telah ia basahi.

“Park Hyeong, kau terlalu berlebihan,” kata Daehyun.

Pria yang dipanggil Park langsung menatap Daehyun bingung. “Park Hyeong? Apa kau benar-benar lupa namaku?”

Daehyun menggelengkan kepalanya. “Agar adil. Aku hanya memberikanmu margaku. Jadi, kita gunakan saja itu.”

“Makanya beritahu aku namamu.”

Park memercikkan air yang berada di baskom itu ke wajah Daehyun yang langsung membalasnya dengan wajah cemberut.

“Aku tidak mau.”

“Kau benar-benar sangat keras kepala.”

“Tapi tidak sekeras dengan pria yang berada di hadapanku,” sahut Daehyun pelan yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Park.

Tidak lama setelah itu, makanan mereka datang. Lauk yang datang sangat banyak hingga Daehyun yang melihatnya kembali membulatkan matanya. Walaupun dalam porsi kecil, tetap saja Daehyun tidak bisa menghabisi maupun mencicipi semuanya, lauknya kebanyakan pedas. Hanya ada dua yang dapat ia makan selain nasi, yaitu tonkasu dan japchae. Park yang melihat Daehyun hanya makan dua macam lauk langsung mengambil buldak dan mengarahkannya ke mangkuk Daehyun. Dia tahu kalau bocah di depannya tidak bisa makan makanan pedas, ia hanya ingin berbincang dan mendengar semua ocehan dari mulut kecil itu. Mungkin dengan itu, waktu mereka bersama akan lebih lama.

“Ini enak,” kata Park saat Daehyun menarik mangkuk nasinya menjauh.

“Bagimu itu merupakan makanan yang sangat nikmat, tapi bagiku itu merupakan makanan yang sangat menyakitkan,” sahut Daehyun.

“Ini tidak terlalu pedas. Aku juga terkadang melihat anak seusiamu menikmatinya,” sahut Park lalu memasukkan buldak itu ke dalam mulutnya. “Apa kau kenyang hanya memakan itu? Mau pesan lagi?”

“Tidak perlu. Kedua Hyeong-ku sebentar lagi akan menyelesaikan pekerjaannya.”

Sejenak terdapat keheningan yang menyelimuti mereka. Daehyun tidak menyadari bahwa pria yang berada di hadapannya sedang menatapnya tidak senang. Setelah mangkuknya telah bersih dari butiran nasi, Daehyun duduk tanpa melakukan apapun. Porsi pria dewasa memang sangat luar biasa, batinnya sambil menatap Park.

“Apa pekerjaanmu tidak berjalan dengan lancar lagi?” tanya Daehyun yang membuat Park menghentikan sumpitnya bergerak.

“Lagi?” balas Park.

Daehyun mengangguk. “Keadaanmu mirip seperti saat pertemuan pertama kita, hanya saja lebih baik.”

“Jelaskan secara detail,” sahut Park lalu meletakkan sumpitnya. “Dan panggil aku ‘Hyeong, bukan ‘kau’.”

Daehyun hanya dapat mengangguk pasrah agar masalah tersebut tidak menjadi panjang.

“Begini, saat pertemuan pertama, Hyeong mengenakan jas lengkap yang tentu saja sangat acak-acakan dan emosi Hyeong juga sedang naik kala itu. Sedangkan yang kedua, Hyeong hanya menggunakan pakaian olahraga, sangat santai, dan menghampiriku dengan senyuman seperti telah mendapatkan apa yang Hyeong inginkan. Itu sempat membuatku sangat terkejut dengan perubahan Hyeong yang secepat itu. Tapi sekarang, kondisi Hyeong kembali. Mungkin lebih baik Hyeong belajar kendalikan emosi karena hasil dari pekerjaan tidak selamanya mulus. Bisa-bisa Hyeong dipecat karena mood swing mengerikan itu,” jelas Daehyun.

“Bagaimana caraku dipecat jika aku adalah pemiliknya? Ketua dari semua anak buah yang ada,” balas Park sambil tersenyum dengan tatapan mata angkuh.

“Ketua? Itu berarti semua anggota Hyeong diselimuti dengan ketakutan saat berada di sekitarmu.”

“Apa kau takut kepadaku?”

“Hmm… tidak juga.”

Park memajukan badannya dan membuat tangan kirinya sebagai tumpuan dagunya. “Kenapa?”

Daehyun memejamkan matanya, memikirkan alasannya. “Sebab Hyeong tidak akan melukaiku? Mungkin itu.”

Lalu membuka matanya perlahan, memerhatikan wajah yang cukup sulit ditebak. Senang? Kaget? Bingung? Entah yang mana menggambarkan wajah pria di depannya.

“Jadi, bekas cengkraman yang berada di tanganmu itu apa?”

“Itu karena Hyeong dalam kondisi yang tidak baik. Hyeong juga tadi mengatakan kalau tadi itu hanya kelepasan.”

“Kau mempercayaiku?”

“Jadi, Hyeong bohong?”

“Ah, tidak. Aku tidak bohong.” Lalu meminum segelas air sebagai pertanda bahwa ia telah selesai makan. “Yang kau katakan memang benar. Sebelum aku bertemu denganmu tadi di minimarket, aku baru saja meninggalkan salah satu tempat yang bisa dikatakan rumah rekan kerjaku. Ya, katakan saja begitu. Dan saat aku berkunjung ke sana, mereka malah menyambutku dengan sangat kasar, padahal aku datang dengan niat yang menurutku sangat baik.”

“Jadi, Hyeong berdebat dengannya hingga membuat Hyeong tertekan seperti sekarang? Apa itu sangat buruk?”

“Sangat buruk hingga fisik juga ikut. Ia melempar Tanturm-nya kepadaku. Mengerikan, bukan?”

Daehyun mengangguk. “Itu mengerikan dan sangat berbahaya. Memangnya masalah Hyeong dengannya apa? Sampai segitunya.”

“Banyak.” Park mengambil pisau makan di sampingnya. “Ia melakukan semua yang tidak aku suka. Dan aku ke sana untuk memeringatinya.” Tanpa sadar, ia mulai serius dengan ceritanya. Ia memainkan pisau itu dengan sangat lincah di jemarinya. Pisau itu berputar lalu…

Tak!

Tertancap dengan mulusnya di meja.

“Tapi dengan kebaikanku, aku membalasnya dengan hanya sekali gerakan agar ia tidak cari masalah lagi denganku.”

Merasa sudah tidak nyaman dengan topik yang ia bawa sendiri, Daehyun segera mencari kalimat yang tepat untuk mengakhirinya

“Makanya Hyeong pergi makan untuk merilekskan pikiran?” tanya Daehyun ragu-ragu. Tatapan matanya masih terfokus ke pisau yang berdiri tegak dengan pegangan pisau yang sedang dielus lembut oleh Park.

“Ya, itu benar, Bocah naif,” jawab Park.

“Kalau begitu, mungkin ini sedikit terlambat, tapi aku meminta maaf dengan tulus kepada Hyeong. Tadi aku sempat menolak ajakan dan memukul tangan Hyeong keras,” sahut Daehyun setulus-tulusnya. Satu gerakan tadi membuat nyalinya mengecil sejenak, terutama saat ia mengingat telah melakukan kekerasan kepada Park.

Park yang mendengarnya hanya tertengun lalu tersenyum. Keras? Yang ia rasakan tidak lebih dari sebuah tepukan lembut.

Drrt…

Drrt…

Park mengambil ponselnya lalu menatap sejenak nama yang terpampang di sana sebelum menjawabnya. Tatapannya berubah, terlihat sangat marah, tapi ia menahannya. Ia menerima panggilan tersebut dengan wajah datar yang dingin. Tidak lama kemudian, ia mengeraskan rahangnya dan mengerutkan dahinya.

“Basmi mereka, jangan biarkan ada yang lepas. Aku akan memberitahumu lebih lanjut lewat pesan.” Park mengatakannya dengan penuh penekanan dan tatapan matanya memancarkan kekejaman yang sangat dalam.

Dengan serigaian di mulutnya. Ia mulai mengetik setiap kata di ponselnya dengan aura mematikan yang telah mengelilinginya. Sebuah tangan berusaha menggapainya, dengan cepat ia mencengram tangan tersebut lalu menatap tajam orang yang berani mendekatinya. Ia telah mengharapkan ekspresi ketakutan, memelas, bahkan menyedihkan, tapi ia salah, tebakannya salah. Tatapan yang ia dapat merupakan tatapan yang telah lama ia tidak dapatkan, yaitu tatapan khawatir. Ia segera melepas tangan kecil itu.

“Apa Hyeong tidak apa-apa?” tanya Daehyun. “Ekspresi Hyeong benar-benar sangat menyeramkan.”

Park tidak menjawabnya langsung, ia terlebih dahulu mengecek lengan Daehyun lalu menghela napas lega. Ia menyampingkan badannya lalu membuat kaki sebelah kirinya sebagai tumpuan kaki kanannya.

“Memangnya seperti apa?” balas Park.

“Hyeong seperti ingin membunuh orang,” sahut Daehyun.

“Apa kau sadar dengan perkataanmu?”

“Itu hanya perumpamaan. Huft... Hyeong tidak bisa diajak bercanda.” Lalu menetapkankan dua jarinya di kedua ujung alis milik Park dan menariknya agar kerutan itu hilang. “Berhentilah memasang wajah mengerikan itu.”

Park hanya menganggukkan kepalanya kecil. “Itu wajar karena aku baru saja menerima kabar buruk bahwa di dalam wilayahku terdapat tikus busuk yang memakan uangku.”

“Itu pasti karena Hyeong menaruhnya sembarang tempat. Tikus itu hewan yang cukup pintar, tapi rakus. Makanya dia selalu jadi hewan uji coba selain kelinci.”

“Jadi, apa yang harus aku lakukan? Menabur racun di sekitar wilayahku?” tanya Park. “Berikan aku saran maka aku akan menerima permohonaan maafmu tadi.”

Daehyun segera masuk kedalam mode berpikirnya setelah mendengarnya, tidak mempedulikan sikap pria di hadapannya yang berubah.

“Aku rasa itu tidak bagus. Jika mereka mati, baunya akan bertambah. Bagaimana dengan jebakan? Pancing mereka dengan makanan, maka mereka pasti akan datang sendiri. Setelah itu, buang mereka jauh-jauh agar tidak kembali.”

“Buang? Lebih baik aku langsung membunuhnya di tempat.”

“Ugh… apa Hyeong tahan dengan baunya?”

“Sudah terbiasa.”

Daehyun menatap Park dengan sangat tidak percaya. Bagaimana bisa Park mengatakan “Sudah terbiasa” pada aktifitas yang menjijikkan itu? Apa itu berarti rumah atau tempat yang selalu dikunjunginya wilayah yang penih tikus?! Uh, Daehyun tidak ingin memikirkannya.

“Hyeong, bersihkan wilayahmu dengan benar.”

“Hm? Ya, tentu saja.  Hyeong akan membersihkannya hingga kau bisa mengunjungi-ku dengan tenang. Oh, aku juga tidak keberatan untuk menjemputmu.”

“Huh? Tidak. Tidak, terima kasih.”

“Terserah.”

Park mengambil pematik dan sebungkus rokok di sakunya. Ia baru saja menetapkan sebatang rokok itu diantara bibirnya, tapi sekali lagi ia diganggu. “Kenapa?”

“Itu tidak baik untuk kesehatan.” Sebab terdapat secangkir kopi di samping piring Park. Itu bukan kombinasi yang bagus.

“Tapi baik bagi mentalku, Dokter Kim yang naif.” Lalu menyalakan pematik itu.

Tidak tinggal diam, Daehyun merampas pematik dan bungkus rokok itu dari tangan dan juga yang berada di mulut Park, mau tidak mau Park berteriak kesal. Daehyun mengabaikannya, begitu juga perasaan takutnya kepada Park. Ia celupkan batang rokok itu ke dalam secangkir kopi yang belum habis, sedangkan bungkus rokok dan pematik ia buang ke tempat sampah. Park melihat semua itu, tapi ia hanya diam.

Setelah membalas sejenak tatapan Park, Daehyun segera pergi mengambil kantong yang merupakan barangnya. Amarah yang Park pendam segera mereda dan menatap Daehyun bingung sebab Daehyun kembali mendekatinya dengan setangkai lolipop yang telah ia buka bungkusnya. Ia mengira Daehyun akan lari. Sekali lagi salah, bocah di depannya benar-benar tidak dapat ditebak olehnya.

“Apa… yang kau lakukan?” tanya Park.

“Menawarimu obat yang lebih baik, tapi jangan banyak-banyak karena gigimu nanti berlubang dan itu sangat sakit,” jawab Daehyun polos.

“Jadi, kau memiliki gigi yang berlubang?” tanya Park lalu mengunci pipi Daehyun dengan dua tangan besarnya. Kedua matanya mengecek setiap deret gigi yang berada di rongga mulut yang terbuka paksa. Sedangkan Daehyun hanya dapat pasrah. Ia lelah untuk memberontak.

“Tidak ada. Kau berusaha membohongiku? Jika kau tahu, aku sangat benci dengan hal tersebut,” kata Park. “Kau juga memanggilku dengan sebutan ‘Kau’ tadi.”

“Apa peduliku? Terserah aku ingin memanggilmu apa,” gerutu Daehyun lalu menyingkirkan dua tangan besar itu dari pipinya. “Dan tentu saja tidak ada karena yang berlubang adalah gigi susuku yang telah tercabut. Makanya dengar dulu semuanya sebelum memotongnya. Kau benar-benar pasien yang sangat menyebalkan.”

Daehyun mengecek jamnya, perkiraan Hoseok dan Namjoon keluar dari ruang operasi telah lewat 10 menit. Daehyun menaruh lolipop itu di tangan Park lalu mengenakan ranselnya, tidak lupa menaruh semua lolipopnya di dasar ranselnya. Ia tidak tahu kenapa ia melakukannya, tapi di dalam lubuk hatinya mengatakan untuk menyembunyikannya dari para Hyeong, terutama Hoseok.

“Sebagai Dokter-mu, aku sarankan kau tidak memegang pisau saat dalam kondisi yang tidak stabil karena itu sangat mengerikan,” kata Daehyun yang sudah mengambil ancang-ancang untuk kabur.

Sejenak, Daehyun terdiam lalu menatap pisau itu sekali lagi.

“Aku berhenti jadi Dokter, permainannya sampai sini saja. Jadi untuk kedepannya carilah dokter yang berpengalaman, bukan aku.” Lalu membungungkukkan badannya ke arah Park. “Terima kasih atas makanannya. Aku pergi dulu.”

Daehyun meninggalkan Park tanpa mendengar balasan. Setelah tidak lagi melihat sosok kecil itu, Park segera beranjak dari kursinya dan membayar semua makanan yang telah mereka santap, termasuk semua meja yang sudah ia reservasi sebelumnya. Ia keluar dari restauran tersebut sambil mencari kontak nama di ponselnya lalu menelponnya.

"Apa kau berhasil menangkapnya?"

"Tentu saja, Tuan. Kami akan segera membawanya ke tempat biasa."

Mendengar balasan yang dia inginkan itu membuat langkahnya menjadi ringan. Jika begini, rencananya tidak akan terganggu hanya karena satu tikus kabur.

“Berikan saja dia pelajaran."

"Maaf?" tanya seorang disebrang telepon dengan nada terkejut. Pelajaran, itu berarti hanya memperingati orang itu. Bukankah dia menerima pesan untuk membasmi orang itu sebelumnya? Apa dia salah baca?

"Ah, katakan kepada Sungwoong-sshi, bahwa hari ini merupakan hari keberuntungannya.”

“Ke—kenapa tiba-tiba?”

“Kenapa? Karena suasana hatiku sedang dalam kondisi yang sangat baik.” Lalu memakan lolipopnya. “Bermain dengannya adalah pilihan yang sangat tepat. Aku bahkan mendapatkan obat dari Dokter kecilku itu, tapi sayangnya dia sudah pensiun.”

“B-Bukan kah dia juga telah menipu Tuan?”

“Jangan merusak mood-ku.”

Orang di sebarang telepon langsung bungkam. Tangannya yang memegang ponsel bergetar tidak terkendali. Bahkan rekan kerja yang berada di sekitarnya berhenti melakukan ‘pembersihan’ itu, akibat melihat wajah pucatnya.

“Cepat bersihkan tempat itu lalu bawa dia kepadaku. Tikus itu masih dibutuhkan.”

Tuut…

Park mematikan ponselnya sepihak lalu mengirim pesan lagi kepada orang yang berbeda. Setelah mendapatkan balasan, ia segera tersenyum dan menatap pantulan dirinya di kaca mobil. Benar-benar hari yang indah, pikirnya

TBC:)

Masalah rl cukup padat, jadi lambat...

Makasih~

REVISI
02062022

Genius Boy [BTS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang