Bagian 3

57.8K 4.3K 62
                                    

Tadi setelah mengabaikan rasa malu akibat godaan Bapak dengan senyum tipis, aku berkenalan dengan tiga orang asing yang duduk bersama Bapak dan Ibu diruang tamu.

Wanita yang sepertinya lebih tua dibandingkan Ibu bernama Annisa. Wanita berjilbab yang sempat membuatku membayangkan ibu yang mungkin akan semakin cantik diusia sekarang jika mengenakan outfit yang sama seperti Tante Nisa.

Hanya saja baik Ibu bahkan aku sendiri pun, belum siap sepenuhnya untuk mengenakan itu. Walaupun sudah berusaha menjadi muslimah yang baik.

Selain hal itu, permintaannya pun sedikit mengusikku. Aku diminta memanggilnya Mama. Tidak lupa harus panggilan Papa kepada Om Raka. Sebenarnya, sedikit menggelikan jika aku harus melakukannya.

Seperti aku calon menantu mereka saja.

Namun hal aneh adalah ketika aku bertatapan dan berjabat tangan dengan laki-laki itu. Dia mengenalkan dirinya sebagai Raksa. Samudera Raksa Baskoro nama lengkapnya.

Aku tak tau kenapa ketika bertatap mata dengannya, aku merasakan getaran asing. Tatapan matanya itu mampu membuatku tidak bisa mengalihkan perhatian. Juga senyum diwajahnya membuatku merasa aneh.

Bahkan seakan aku mengenal dirinya. Mencoba mengingat pun, aku hanya menelan kecewa karena tidak memperoleh apapun. Padahal aku sama sekali tidak mengalami lupa ingatan akibat kecelakaan atau lainnya.

Mungkin saja aku pernah melihatnya disuatu tempat. Walaupun aku tak ingat kapan dan dimana pastinya.

"Vivi, kenapa lama?"

Aku menoleh kearah Ibu yang membuka pintu kamarku. Senyum terlihat dibibirnya ketika melihat penampilanku yang kali ini berbeda dari penampilan sehari-hariku. Jauh terlihat lebih baik.

Setelah membersihkan badan karena sesampai dirumah rasanya aku sudah kucel dan juga sedikit berkeringat karena kegerahan, aku mengenakan dress ini. Ibu tadi yang memberikannya untuk ku kenakan setelah mandi.

"Harus pakai dress ini ya, Bu? Padahal cuma makan siang aja, dirumah pula."

Aku sangat yakin bahwa dress yang aku kenakan saat ini baru dibeli. Sebab seingatku, aku tidak menyimpan dress ini didalam lemari. Juga ingat bahwa sebelumnya Ibu tidak pernah memberikannya padaku, selain beberapa menit yang lalu.

Ibu berjalan mendekat. Tangannya merapikan rambutku yang tergerai. "Iya harus! Ayo keluar," ajak Ibu yang segera aku turuti.

Lagi-lagi yang aku terima dari laki-laki itu adalah tatapannya, beberapa detik setelah aku kembali bergabung di ruang tamu. Sebelum kemudian dia mengalihkan tatapannya itu dengan senyum yang menghiasi bibirnya. Jantungku, seketika berdetak cepat.

Aku kenapa sih jadi begini?

"Aku gak pernah sekalipun memuji Kakak. Tapi kali ini dress nya mantap, bisa buat Kakak kelihatan cantik," ujar Revan sambil menaikkan alis dan disertai dengan seringai dibibirnya.

"Dengar ya! Aku memang dasarnya cantik, kalau kamu gak tau," ucapku kesal. Bagi Revan, mengusik ketenanganku adalah hal wajib untuknya. Kalau berjauhan rindu, kalau dekat menganggu.

"Mama gak menyangka ternyata pilihan Raksa tepat. Cocok sekali sama kamu, cantik."

Aku tersenyum singkat untuk menyembunyikan kebingunganku dengan ucapan Tante Nisa. Jadi dress ini pemberian Mas Raksa?

Kalau begitu, apakah mungkin laki-laki ini yang juga sering mengirimi hadiah untukku? Tapi rasanya juga tidak mungkin. Aku bahkan tidak mengenalnya sebelum ini.

"Sebaiknya kita makan siang terlebih dulu. Setelah sholat Zuhur kita lanjutkan berbincang-bincang," ajak Bapak.

Setelah makan siang dan dilanjutkan dengan sholat Zuhur, kami kembali duduk diruang tamu. Hanya saja suasana sedikit terlihat serius, tidak sesantai tadi.

"Bagaimana persiapannya, Sa?" Pertanyaan Bapak kini tertuju kepada laki-laki didepanku.

Mas Raksa mengalihkan perhatiannya dariku yang membuatku sedikit lega. Sebab sejak tadi, dia sering melirikku. Lalu ketika dia sadar bahwa aku mengetahuinya, dia tersenyum lalu menatapku terang-terangan. Hal yang mampu membuatku salah tingkah.

Laki-laki ini kenapa sih sebenarnya?

"Sudah sembilan puluh lima persen, Pak. Akad nikah rencananya hari Sabtu di Mesjid dan resepsi esok harinya di hotel yang minggu lalu saya bawa Bapak sama Ibu kesana. Semua persiapannya tidak ada kendala, Pak, Bu."

Sebenarnya aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan. Sejak tadi mereka membahas hal yang berkaitan dengan pernikahan. Tapi siapa yang akan menikah? Apa hubungannya pernikahan itu sama Bapak dan Ibu?

Aku melirik Revan yang duduk santai disampingku. Wajahnya terlihat malas untuk ikut serta dalam pembicaraan. Tapi memang dia dari awal tidak diajak sama sekali sih.

"Sebenarnya mereka membicarakan apaan sih?" tanyaku berbisik.

Mengabaikan lima orang yang kini beralih untuk membahas mengenai jumlah undangan yang sudah siap untuk disebar mulai besok.

Dan kenapa pula Bapak sama Ibu harus menyebar undangan kepada kenalan mereka?

"Oh, pernikahan. Acaranya minggu depan, hari sabtu sama minggu. Makanya Kakak disuruh pulang sekarang, biar bisa persiapan dulu."

"Pernikahan? Memangnya siapa yang akan menikah?" tanyaku bingung. Sedetik kemudian mataku melotot seakan bisa keluar. "Kamu yang mau nikah?" tanyaku tak percaya.

Revan memukul kepalaku singkat dengan tangan kanannya. Aku yang kaget, tanpa sadar mengaduh hingga membuat perhatian teralihkan kepada kami berdua. Aku menatap Revan dengan kesal, "Sakit tau."

"Kalian kenapa?" tanya Bapak heran.

Revan hanya diam sebagai tanggapan pertanyaan Bapak. Aku tersenyum sambil menggosok kepalaku lembut. "Gak kok Pak. Biasa, Revan kan menyebalkan." Sangat malahan.

Kepalaku menoleh kesamping, melihat Ibu yang kini membalas tatapanku. "Bu, keberatan jika Vivi sama Ibu bicara berdua sebentar?"

Ibu menatapku bingung. "Ada apa Vi?"

Tanpa menjawab Ibu, aku beralih menatap mereka bergantian. "Vivi sama Ibu permisi sebentar."

Aku lebih memilih membawa Ibu ke kamarku. Letaknya dilantai dua sehingga memudahkan untuk berbicara berdua tanpa didengar yang lain. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan dan juga bicarakan dengan Ibu.

"Sejak tadi aku bingung, Bu. Sebenarnya acara yang Ibu maksud kemaren adalah makan siang tadi? Lalu hubungannya dengan pernikahan apa? Siapa yang mau menikah?"

Ibu tersenyum geli. "Iya. Acara yang Ibu maksud adalah acara makan siang, sekalian membahas sudah sejauh mana persiapan untuk pernikahan," jawab Ibu yang kemudian terdiam.

"Lalu? Jawaban pertanyaanku berikutnya?"

"Ya, pernikahan anak Bapak sama Ibu lah, siapa lagi."

Aku mengusap wajahku dengan telapak tangan. Walaupun usianya sudah hampir dua puluh tahun, aku yakin Revan belum sanggup untuk membina rumah tangga. Apalagi dia akan menjadi pemimpin rumah tangganya. Rasanya Revan belum mampu dengan jiwanya yang kadang masih begitu kekanakan.

"Aku bukannya kesal karena dilangkahi. Juga bukan gak mau memberi restu. Tapi bukankah terlalu cepat, Bu? Revan masih terlalu muda untuk menikah. Aku yakin dia bahkan belum mampu untuk memimpin rumah tangganya."

Ibu tertawa, menepuk pundakku berkali-kali. "Bukan Revan lah Vi. Dia memang masih kecil dimata Bapak dan Ibu, masih bocah. Kamu yang akan menikah dengan nak Raksa."

Apa?

***

Mas Raksa kenapa sih suka lihat-lihat Vivian begitu? Untung aja mau nikah.

Nikah dulu Mas, baru lihat anak gadis orang sepenuhnya 😁

Habis malu karena ngomongin diare sampai didengar orang, eh sekarang Vivian kaget. Udah mau nikah aja dianya 😂

Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,

P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang