Bagian 23

42K 3.2K 160
                                    

Tinggal beberapa hari lagi menuju hari wisudaku. Bapak, Ibu, Revan, Mama, Papa dan Bang Kiki akan hadir dihari yang bersejarah itu. Tapi tentu saja pendamping wisudaku juga akan datang, Mas suamiku tercinta.

Bahkan sejak aku memberi kabar jadwal seminar hasil, Ibu dan Mama sudah mulai antusias menyiapkan baju seragam. Karena sekalian setelah acara wisuda kami mau foto studio bersama.

Aku melangkahkan kaki memasuki lobi setelah diturunkan Nela di depan hotel. Kami baru saja kembali dari kampus untuk mengambil toga dan jubah wisuda.

Awalnya mood ku sangat bagus sejak tadi. Hanya saja pemandangan Mas Raksa yang duduk berdua dengan Selena di sofa lobi, dengan posisi yang hampir tanpa jarak itu membuat darahku mendidih seketika.

Apa-apaan mereka?

Mbak Ira, Mbak Popi dan Mbak Ana menatapku prihatin. "Mereka sudah lama disana Mbak?" tanyaku ketika berhasil berjalan pelan dan hati-hati agar kedatanganku tidak disadari oleh Mas Raksa.

"Belum terlalu lama juga sih Mbak," jawab Mbak Ira.

"Siapa duluan yang duduk disana, Mbak?" tanyaku lagi.

"Pak Raksa, Mbak. Terus Selena tiba-tiba datang dan duduk disebelah Pak Raksa. Sudah beberapa kali Pak Raksa terlihat pindah duduk, tapi ujung-ujungnya tetap begitu," giliran Mbak Popi yang menjawab.

Aku menyandarkan tubuhku ke meja resepsionis. "Memangnya Mas Raksa kenapa harus duduk disana? Ada yang ditunggu?" tanyaku penasaran.

"Ada Mbak. Kalau gak salah temannya. Tadi Pak Raksa sempat bilang, kalau temannya datang, Pak Raksa minta dihubungi. Tapi Pak Raksa akhirnya nunggu dilobi langsung," ucap Mbak Popi.

"Aku ke sana dulu ya Mbak-Mbak. Mau bikin tontonan gratis sih, tapi jangan ketawa ya? Beruntung lobi juga lumayan sepi nih. Tapi aku titip ini sebentar ya, nanti aku ambil lagi," ucapku sambil meletakkan barang bawaanku diatas meja.

Setelah trio Mbak resepsionis nya mengangguk, aku melangkahkan kaki kearah sofa dimana Mas Raksa duduk. Aku berdiri dengan sedikit merunduk dibelakang Mas Raksa yang sedang membaca sesuatu diponselnya.

Selena sudah lebih dulu menyadari kedatanganku. Dia mendengkus dan sedikit memberi jarak antara dirinya dengan Mas Raksa.

Sadar diri juga dia ternyata?

Aku mengecup pipi Mas Raksa yang membuat suamiku itu menoleh segera. "Sayang, kapan balik dari kampusnya?"

"Baru saja, Mas."

Di celah yang sedikit antara Mas Raksa dan Selena, aku memaksakan diri agar bisa duduk. Membuat Selena menggerutu ketika aku dengan sengaja mendorong tubuhnya. Aku tidak tau bagaimana ekspresi Selena karena sengaja membelakanginya.

"Sayang, aku kangen," ucapku manja kepada Mas Raksa. Kemudian melabuhkan ciuman singkat dibibirnya. Suara pekikan terdengar dibelakangku.

Tapi memang dasarnya Mas Raksa ketagihan, dia tetap menarik tengkukku dan melabuhkan ciuman lembut. Walaupun tidak lama, mungkin karena Mas Raksa sudah sadar bahwa kami berada ditempat yang tidak tepat. Meskipun tidak ramai, tetap saja orang-orang yang ada melirik kami.

"Kenapa duduk dilobi Mas?" tanyaku sambil meletakkan kepala dibahunya. Aku memperbaiki posisi dudukku sehingga bisa melihat Selena yang menatapku kesal.

"Mas lagi nunggu teman, sayang. Tapi dari tadi dia nya belum sampai-sampai."

Aku menganggukkan kepala. Kemudian menegakkan kepala untuk menatap Selena sepenuhnya. "Ada Mbak Selena tenyata? Saya tadi gak sadar. Mbak Selena lagi menunggu siapa?"

Mas Raksa yang menatapku dengan tatapan bertanya hanya aku abaikan. Ini giliran Selena, bagian Mas Raksa nanti, belum sekarang saat nya.

"Jangan bilang Mbak nungguin saya?" tanyaku sambil menunjuk diri.

"Kenapa pula saya menunggu kamu?" tanya Selena semakin kesal.

Aku mengangkat bahu acuh. "Mungkin karena pesan Mbak Selena gak pernah saya balas. Oh atau apa mungkin gara-gara telfon dari Mbak Selena gak saya angkat-angkat lagi?"

Selena menatap Mas Raksa panik. "Anu. . . itu. . . bukan. . . Saya sedang menunggu teman."

"Oh, begitu. Suami saya juga lagi nungguin temannya. Teman Mbak Selena mungkin sama menyebalkan seperti teman suami saya. Teman seperti apa yang membuat temannya menunggu lama?" ucapku dramatis.

Selena berdiri dari tempat duduknya. "Sepertinya teman saya gak jadi datang. Saya kekamar dulu."

Tak perlu menunggu lama, Selena langsung berjalan menuju kearah lift. "Mbak Selena, tunggu!" ucapku.

Aku berdiri dan melewati Mas Raksa yang masih duduk sambil menatapku dengan raut penasaran. Mungkin Mas Raksa juga heran kenapa aku bisa mengenal Selena.

"Jadi Mbak sudah menduga ya kalau saya belum memberi tau tentang pesan-pesan itu kepada Mas Raksa?" Selena hanya terdiam. "Apapun yang Mbak lakukan agar saya meninggalkan Mas Raksa gak akan mempan, jadi percuma."

"Saya hanya. . .," ucapnya gugup.

Aku memotong ucapannya. "Mbak orang berpendidikan. Harusnya bersikap seperti orang yang berpendidikan. Jauhi suami saya mulai dari sekarang karena saya tidak akan tinggal diam jika hal seperti tadi terjadi lagi. Saya tidak akan melarang kalian berteman. Tapi bertemanlah dengan wajar dan tau batasan."

Aku mengambil sedikit rambut Selena yang bergelombang. Menggulung-gulungnya ke jari telunjukku. Rambutnya benar-benar halus sekali. Pakai sampo apa sih dia?

"Kalau tidak, saya yang akan membuat Mbak Selena dijauhi suami saya. Saya tau, Mas Raksa itu terlalu baik sehingga sebagai teman yang sudah mengenal lama, dia peduli dengan Mbak. Tapi ketika saya meminta Mas Raksa untuk menjauhi Mbak, Mas Raksa pasti akan melakukannya. Mbak sendiri kan yang bilang Mas Raksa bela-belain nunggu saya dewasa? Jadi Mas Raksa pasti tidak akan mau kehilangan saya hanya karena Mbak."

Aku mencoba tersenyum manis. Karena saking manisnya beberapa laki-laki yang melalui kami melirikku terang-terangan. "Paham bukan maksud saya?"

Entah Selena sadari atau tidak, kepalanya mengangguk. Dengan kepala menunduk, Selena masuk kedalam lift.

Kakiku kini menuju Mas Raksa yang sekarang tidak sendiri. Seorang laki-laki yang pernah aku temui saat resepsi dulu sedang berbincang dengan Mas Raksa.

Setelah berbasa-basi sedikit, aku meminta ijin untuk berbicara sebentar dengan Mas Raksa. Dengan membawa suamiku itu sedikit berjarak dengan temannya.

"Kenapa Mas memilih menunggu teman di lobi dengan berdempetan bersama Selena dibandingkan menunggu dikamar? Padahal nanti juga bisa dihubungi kalau dia sudah sampai. Aku belum selesai ngomong," tegurku ketika Mas Raksa hendak bicara.

"Kunci kamar?" pintaku tidak sopan sambil mengadahkan tangan. Segera setelah kunci kamar beralih, aku mengantonginya kedalam saku celana.

Aku meletakkan kedua tanganku diatas bahu Mas Raksa. Menepuk-nepuk nya pelan. "Nanti, Mas cari kamar lain ya. Malam ini gak usah balik ke kamar biasa. Besok pagi siapkan penjelasan yang masuk akal. Kalau aku belum percaya dengan penjelasan Mas, tambah lagi waktu bermalam nya untuk kamar yang sama."

Mas Raksa hendak bicara tapi aku cegah dengan menutup mulutnya dengan tanganku. "Besok sayangku."

"Sayang?"

Aku mengabaikan panggilan Mas Raksa, yang kini sudah menampilkan raut wajah frustasi. Tangannya meremas rambut yang terlihat acak-acakan. Mungkin Mas Raksa bimbang antara mengikutiku atau tetap bersama dengan temannya.

Sementara itu teman Mas Raksa tadi mendekat dan memeganginya sambil bertanya-tanya Mas Raksa kenapa.

Aku tersenyum menuju Mbak-mbak resepsionis yang menatapku melongo. "Abaikan saja Mbak, drama tadi sedikit memalukan," ucapku disertai tawa.

Satu wanita penggoda suami orang dan satu suamiku yang terlalu baik, sudah aku buat tak bisa berkutik.

***

Stay safe and healthy semuaa 😍
Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,
P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang