Wajah tampan Mas Raksa memenuhi layar ponselku. Baru sehari, rasanya sudah begitu merindukan Mas Raksa. Ternyata bukan hanya Mas Raksa yang akan kangen, aku bahkan lebih dulu merasakannya.
Aku membalas senyum Mas Raksa tak kalah lebarnya.
"Cantiknya istri Mas, pagi ini. Mau kemana sayang?"
Aku tertawa mendengar ucapan Mas Raksa. Seperti ijinku kepada Mas Raksa kemaren, hari ini aku akan dipamerkan Mama kepada teman-teman arisannya. Karena itulah pagi-pagi aku sudah berada dirumah Mama dengan gamis yang sama seperti Mama.
Tak tanggung-tanggung, Mama sudah menyiapkan itu jauh-jauh hari. Untungnya ukuran gamis ini memang sesuai denganku.
"Mas tebak dulu deh, aku lagi dimana?" tanyaku seraya memperlihatkan kepada Mas Raksa sebuah kamar dengan pintu yang terbuka lebar melalui kamera ponsel.
"Dikamar Mas, dirumah Mama." Tebakan Mas Raksa benar.
"Aku mau pergi sama Mama, arisan Mas. Yang kemaren aku ijin itu. Ternyata Mama sudah menyiapkan gamisnya sekalian."
"Kamu jangan kaget kalau dapat pakaian lagi dari Mama untuk menghadiri acara lain. Mama sudah menyiapkan itu lama, malahan gak cuma satu. Ada beberapa, tapi Mas lupa berapa."
Aku terkekeh mendengarnya. Memang begitu kali ya seorang wanita yang cuma punya anak tunggal, laki-laki lagi. Jadi istri sang anak lah yang akan disayangi setelah putra sendiri.
Mengandung dan melahirkan Mas Raksa adalah perjuangan besar bagi Mama. Selain karena resiko keguguran akibat kehamilan Mama yang sedikit bermasalah, resiko kematian juga bisa datang kapan saja. Mengancam Mama dan calon bayi.
Hingga yang aku dengar, setelah melahirkan Mas Raksa melalui operasi caesar, beberapa bulan kemudian Mama juga melakukan histerektomi atau operasi pengangkatan rahim.
"Tadi malam kenapa gak hubungi aku, Mas?"
Bukan tanpa alasan aku bertanya. Karena tadi malam aku mendapatkan pesan dari Selena. Foto dirinya tengah berada direstoran bersama Mas Raksa.
"Semalam, salah satu investor mengajak Mas makan malam diluar. Tanpa sengaja ketemu sama teman-teman lama juga. Karena sudah lama gak ketemu, Mas jadi lupa waktu. Sampai hotel sudah jam sebelasan, Mas pikir kamu sudah tidur."
Semalam saat jam sebelas itu aku sama sekali belum tidur. Ketika sedang fokusnya mengerjakan tugas akhir, pesan Selena langsung membuatku resah. Hingga aku uring-uringan menunggu Mas Raksa untuk menghubungiku.
Awalnya aku ingin yang menghubungi Mas Raksa lebih dulu, tapi aku urungkan.
Teman-teman ya? Bukankah itu artinya tidak hanya Selena saja?
Sebenarnya melihat foto yang dikirimkan Selena tidaklah aneh. Didalam foto jelas menampakkan meja yang dipenuhi oleh piring dan gelas kotor yang sudah kosong. Mas Raksa duduk dikursi dengan jas yang disampirkannya dipunggung kursi.
Sementara Selena duduk dengan mantel yang melekat dipunggungnya. Aku tebak dia baru datang ketika Mas Raksa hendak beranjak.
Hanya saja pesan yang ditulisnya dibawah foto yang membuatku geram. Saya dan Mas Raksa baru saja selesai makan malam romantis. Beruntung kamu tidak disini, jadi saya bisa temani Raksa selama disini.
Walaupun begitu, aku percaya penuh pada Mas Raksa.
"Sayang, kenapa melamun?"
Aku menatap lekat Mas Raksa. "Aku tadi sudah lihat-lihat isi kamar kamu loh, Mas. Mas cocok sekali kalau jadi stalker tau gak?"
Mas Raksa tertawa. "Kamu lihat semuanya?"
Mulai dari fotoku ketika masih sekolah sampai sudah kuliah banyak aku temukan disini. Ada yang ditempel didinding dan tidak lupa didalam album foto.
Normalnya orang yang melihat ini pasti ketakutan. Seperti membayangkan laki-laki yang melakukannya adalah seorang psikopat. Bisa juga bahwa sang wanita adalah obsesi sang laki-laki.
Tapi aku malah sebaliknya. Membayangkan Mas Raksa sering menatap fotoku rasanya menggelikan. Seperti disayangi sekali oleh suamiku itu.
Mungkin ini kali ya yang dikatakan bahwa cinta itu buta?
Kepalaku mengangguk. "Jadi selain Bang Kiki dan juga Restu, siapa lagi yang bantuin Mas?"
Lagi-lagi Mas Raksa tertawa. "Siapapun yang dekat sama kamu pada bantu Mas. Kecuali sahabat kamu dikampus itu."
"Ya ampun suamiku. Mama tau kalau kamu seperti ini Mas?" tanyaku tak percaya.
"Mama tau, Vi."
Aku mengangkat kepala, menemukan Mama yang berdiri didepan pintu kamar dengan senyum geli dibibirnya. Mama mengenakan gamis dengan model yang sama denganku, bedanya dipadukan dengan jilbab diatasnya.
Mama berjalan kearahku, dan ikut duduk disampingku. "Sayangnya Mama tau ketika kamu sudah kuliah, Vi. Tapi Mama juga gak bisa bayangin jika tau lebih awal. Mama mungkin mikirnya anak Mama gak normal. Itu loh, pedofilia."
"Raksa kan sudah bilang Ma, pedofilia itu untuk rasa ketertarikan seksual kepada anak kecil. Sementara Vivian saat itu sudah mulai remaja. Vivian juga mungkin sudah dapat tamu bulannya untuk pertama kali. Lagi pula Raksa juga bukan tertarik dalam hal yang seperti itu. Masih ketertarikan tahap awal."
"Terserah kamu, Raksa. Tetap saja, membayangkannya membuat Mama jadi geli sendiri. Apalagi nih Vi, setelah ketahuan Mama, suami kamu ini terang-terangan pasang foto-foto itu," tunjuk Mama kedinding.
"Kan Mama gak masalah juga setelah Raksa bilang gadis difoto itu adalah menantu Mama dimasa depan."
Aku hanya mampu tersenyum ketika melihat perdebatan Ibu dan anak itu.
"Iya Raksa, iya. Kalau begitu Mama sama menantu Mama mau pergi dulu ya. Mama tutup, Assalamualaikum."
Mas Raksa terlihat kecewa. "Waalaikumsalam," jawabnya lemah.
"Kalau diteruskan, Raksa ujung-ujungnya gak jadi pergi kerja. Terus kita gak jadi pergi arisan deh," canda Mama.
"Oh iya, kamu sama Raksa gak menunda kan Vi? Mama pengen tanya ini sejak tadi, tapi Mama takut kamu tersinggung. Mama sempat mengira kalau kalian menunda karena kamu belum wisuda."
Kemaren aku sudah pergi ke dokter, bertanya-tanya sekaligus konsultasi alat kontrasepsi apa yang aman untukku. Karena setelah baca-baca di internet, ada beberapa alat kontrasepsi yang bisa digunakan.
Pilihanku jatuh kepada pil KB. Aku bisa mulai minum pil untuk hari pertama kapanpun aku mau. Kemudian dilanjutkan meminum satu pil setiap harinya.
Walaupun suntik KB yang lebih aman, tetap saja aku ragu. Waktu paling singkat adalah suntik KB untuk satu bulan. Aku tidak tau bagaimana jadinya raut wajahku seandainya aku menggunakan kontrasepsi ini kemudian ditanya seperti yang Mama lakukan saat ini. Karena berbohong kepada orang tua adalah hal yang sulit.
Mama bertanya seperti ini, mungkinkah sebuah kode untukku lagi?
"Gak kok, Ma. Kami gak menunda." Aku tidak bohong bukan? Karena aku belum mulai meminum pil itu.
"Sebenarnya itu urusan kamu sama Raksa, Vi. Mau menunda atau tidak itu kesepakatan kalian saja. Tapi sebagai orang tua yang anaknya sudah menikah, Mama ingin sekali memiliki cucu. Kamu paham maksudnya kan Vi?"
Aku mengangguk. "Vivi paham kok maksud Ma."
"Tapi Mama juga gak akan pernah memaksa agar kamu cepat-cepat hamil loh, Vi. Toh kalian masih baru satu bulanan, masih anget-anget nya berdua. Kamu pun juga masih sibuk tugas akhir."
Intinya, semua tetap terserah padaku bukan?
***
Stay safe and healthy semuaa 😍
Semoga Suka 🤗Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,
P.S you can call me Dev 😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken by Him [Tamat]
RomanceTaken by Him merupakan cerita lengkap dari 'Taken by Him (Oneshoot)' Ketika sampai dirumah, Vivian dikejutkan dengan berita pernikahannya yang akan digelar seminggu dari kepulangannya itu. Jika bisa menunda, mungkin Vivian lebih memilih menundanya d...