Bagian 13

50.5K 3.6K 89
                                    

Kata Mama, Mas Raksa itu sangat suka makan nasi dengan lauk yang berkuah. Baik tumis sayur, sup ataupun masakan gulai. Lebih nikmat lagi baginya jika dipadukan dengan kerupuk.

Sayangnya, memasak masakan berkuah itu termasuk kelemahanku, karena aku tidak tau berapa takaran bumbu dan rempah yang harus aku gunakan. Memang sekarang jika berbelanja dipasar sudah bisa menemukan penjual bumbu yang bisa kita minta langsung untuk jenis masakan apa, tapi kadang rasanya tidak sesuai selera.

Menumis sayur tentunya aku bisa. Aku pun hanya bisa memasak makanan yang digoreng. Baik itu telur, ayam maupun ikan.

Walaupun Mas Raksa tidak menolak untuk memakan itu, seperti makan di kafe beberapa hari yang lalu, tetap saja porsi makannya berbeda.

Karena itu, tiga hari ini aku belajar beberapa masakan bersama Ibu. Demi agar putrinya bisa melayani suami dengan baik, Ibu antusias mengajariku memasak. Tak lupa juga membuatkan resep masakan untukku.

Sungguh Ibuku luar biasa bukan?

Dulu sebelum menikah bersama Bapak, Ibu pernah bekerja sebagai salah satu juru masak direstoran sebuah hotel. Walaupun hanya lulusan sekolah menengah kejuruan jurusan tata boga dan tidak melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebih tinggi, Ibu sudah memiliki banyak pengalaman di bidang masak memasak. Tak heran jika masakan Ibu begitu juara rasanya.

Namun, setelah menikah dengan Bapak, Ibu berhenti bekerja. Mengabdikan diri sepenuhnya sebagai seorang istri dari laki-laki yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil dikantor wali kota sekaligus Ibu dari dua orang anak.

"Sudah diicip belum, Vi? Pas gak garamnya?"

Aku menoleh, mendapati Ibu yang berjalan mendekatiku. "Kalau menurut aku udah sih, Bu. Tapi bagusnya Ibu juga coba dulu deh," ucapku sambil mengambilkan sendok makan agar Ibu bisa mencicipi masakan yang berada diatas kompor.

Sup buntut menjadi pilihan untuk menu makan siang dihari sabtu yang gerimis. Kalau Ibu sendiri yang membuatnya, rasanya tidak akan diragukan lagi. Sayangnya ini aku yang membuat, Ibu hanya akan memberi arahan jika aku melakukan hal yang berbeda dari resep yang sudah dibuat Ibu.

"Garamnya gak perlu ditambah, udah pas. Tapi tunggu matangnya sebentar lagi. Sambil nunggu Bapak sama suamimu, kamu siapkan saja peralatan makan."

Aku mengikuti perintah Ibu. Merapikan meja makan sekaligus menyiapkan peralatan makan untuk lima orang, termasuk nasi dan lauk lainnya. Bapak dan Mas Raksa belum kembali dari masjid, padahal sudah hampir setengah jam berlalu sejak selesainya pelaksanaan sholat Zuhur. Mungkin karena asyik berbincang-bincang dengan jamaah masjid, sekalian silaturrahmi.

Sementara Revan, sejak sekitar jam sepuluh tadi dia pergi kerumah temannya. Tapi dia belum bilang kapan akan kembali. Karena itu, untuk jaga-jaga, tetap aku siapkan peralatan makan untuknya.

"Adik Abang satu ini memang paling mantap, Abang belum makan siang loh, Vi."

Aku mengangkat kepala, menemukan keberadaan Bang Kiki berdiri dekat denganku. Tanganku hanya mengelus dada, sedikit kaget dengan kehadiran Bang Kiki tiba-tiba.

"Baca salam dulu Bang, bukan malah bikin kaget."

Bang Kiki tertawa, "Sebelum masuk tadi sudah baca salam Vi, tapi gak ada yang jawab. Malah tiga kali loh, sama Om dan suamimu juga."

"Tetap aja, kalau udah lihat aku disini, salamnya diulang lagi."

"Lo sama istri gue selalu aja berdebat  kalau ketemu," ucap Mas Raksa ketika masuk keruang makan.

Bang Kiki mendengkus. "Kalau gak begini, gue sama Vivian gak kelihatan akrab."

"Om kamu dimana, Ki?" tanya Ibu sambil membawa semangkuk besar sup buntut.

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang