Bagian 22

42.9K 2.8K 28
                                    

Dengan bantuan Nela yang lebih dulu mengerjakannya, akhirnya aku bisa menyelesaikan proses pendaftaran wisuda yang memakan waktu hingga dua hari lamanya.

Dimulai dari pengurusan surat keterangan bebas keuangan di rektorat, bebas peminjaman perpustakaan, pendaftaran wisuda online, pembayaran uang wisuda di bank dan pengumpulan berkas akhir di dekanat.

Melelahkan memang, tapi terasa melegakan setelah aku benar-benar sudah menyelesaikan semuanya.

Setelah menunggu beberapa saat, aku ditemani Nela beralih ke gedung jurusan Restu. Setelah zuhur, mungkin lebih kurang sekitar jam setengah dua, Restu melaksanakan sidang sarjana. Dan sekarang aku menduga sidang sarjananya telah selesai.

Dan ternyata benar dugaanku ketika menemukan Restu dengan wajah senangnya. “Selamat ya Res, wisuda bareng kita ternyata. Ini hadiah dari gue dan Mas Raksa,” ucapku sambil memberikan hadiah yang sudah aku dan Mas Raksa siapkan untuknya.

Walaupun kesal dengan Restu akibat kelakuannya, Mas Raksa tetap menyiapkan hadiah sebagai ucapan selamat untuk Restu.

“Makasih ya, Vi. Tolong lo bilang sekalian sama Bang Raksa,” ucap Restu dengan cengirannya. Seakan perbuatannya dua hari lalu tidak lagi menjadi masalah besar. “Tadi kenapa gak datang waktu sidang Hamdi sih?” bisiknya pelan. Aku hanya menatap Restu tajam.

Aku bergeser ketika setelah Restu berbisik yang tidak aku tanggapi dengan kalimat balasan, giliran Nela yang memberi ucapan selamat kepada Restu. Walau tidak terlalu dekat, tapi Nela dan Restu saling mengenal satu sama lain.

Kami juga sudah selesai berfoto-foto bersama. Dibantu teman jurusan Restu untuk mengambil beberapa foto. Hanya saja kehadiran Hamdi yang berjalan menuju Restu membuat Nela menyikut lenganku, sehingga perhatianku teralih menuju Hamdi.

“Hamdi, Selamat ya untuk gelarnya,” ucapku sambil tersenyum ketika Hamdi berdiri didekatku. Kami kemudian berjabat tangan. “Maaf gue kesini nya baru sekarang.”

“Makasih, Vi,” ucap Hamdi singkat. Tapi tetap ada senyum dibibirnya.

Nela ikut berdiri disebelahku dengan senyum yang tampak diwajahnya. “Di, selamat ya. Ini hadiah dari gue dan Vivian, diterima ya.”

Sengaja aku mengajak Nela untuk menyiapkan bersama hadiah yang akan diberikan kepada Hamdi. Kalau aku menyiapkan sendiri, Mas Raksa pasti akan tau. Ujung-ujungnya nanti Mas Raksa merajuk lagi karena berpikir aku perhatian kepada Hamdi.

Semoga saja Restu tidak membocorkannya kepada Mas Raksa.

Aku tidak tau kenapa tiba-tiba Hamdi memintaku untuk berbincang ketika aku pamit pulang kepadanya dan Restu. Hamdi mengajakku berbicara berdua saja sehingga aku awalnya akan membiarkan Nela untuk lebih dulu pulang. Hanya saja sahabatku itu lebih memilih menungguku agar kami bisa pulang bersama.

Padahal aku yakin sekali, Nela pasti sangat ingin tau tentang hal yang aku bicarakan dengan Hamdi.

“Gue mau minta maaf soal kejadian dua hari lalu. Sebenarnya gue gak ada niat untuk datang, tapi Restu minta agar gue langsung yang mengantarkan hadiah untuk lo,” ucap Hamdi memulai pembicaraan.

Aku dan Hamdi memutuskan untuk duduk di salah satu gazebo yang disediakan di taman jurusan Hamdi. Selain sepi juga memungkinkan tidak akan ada yang mendengarkan pembicaraan kami. Walau yang aku lihat, Restu sering kali melirik kami dari jauh.

“Tidak ada yang salah kok, Di. Kenapa lo harus minta maaf segala?”

“Lo pasti ngerasa kalau suasananya saat itu awkward banget. Gue mau sebenarnya bertemu suami lo untuk minta maaf langsung, hanya saja gue ragu, seakan kedatangan gue nanti mengganggu rumah tangga lo. Gue dan suami lo sama-sama seorang laki-laki, jadi gue tau apa yang dirasakan suami lo ketika gue datang saat itu. Dan setelah melihat kedekatan suami lo dengan Restu, gue yakin suami lo sudah tau tentang perasaan gue ke lo.”

Aku tersenyum canggung sambil menggaruk tengkukku yang tidak gatal sama sekali. “Gue minta maaf karena sampai membuat lo berpikir seperti itu. Suasana kemaren itu memang agak aneh, hanya saja bukan karena lo melainkan karena pancingan dari Restu. Lo sebagai sahabatnya kan tau bagaimana menyebalkannya dia.”

Ya, semua salah Restu. Dan haruskah aku mencari cara untuk membalas kelakuannya?

“Gue boleh cerita sesuatu gak? Bukan ada maksud apapun, hanya saja gue mau melepaskan apa yang gue tahan selama ini, agar gue juga bisa merasa lega.”

Aku menganggukkan kepala ragu. Entah kenapa rasanya sedikit kasihan melihat Hamdi seperti ini. Biasanya yang aku lihat dia laki-laki yang bersemangat. Bahkan mampu mengobarkan rasa semangat kepada penghuni fakultas ketika saat menjadi gubernur BEM fakultas dulu.

“Gue tertarik sama lo sudah lama. Dan rasa itu semakin berkembang ketika lo juga menjadi bagian dari anggota BEM fakultas. Ketika tau perasaan gue, Restu sudah mengingatkan gue lebih dulu, karena perasaan itu hanya akan menyakiti gue ujungnya. Gue pikir gak ada salahnya kalau gue mencoba dulu.”


Hamdi menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan. “Lalu, Restu bilang lo sudah punya calon suami. Gue hanya tertawa menanggapinya karena selama yang gue lihat, tidak ada satu pun laki-laki yang dekat dengan lo. Saat itu gue sedikit egois, gue akan mencoba lebih dekat dengan lo. Jujur, ketika tau lo menikah hati gue sakit. Rasanya seperti gue kalah sebelum benar-benar berjuang.”

Aku tidak tau harus menanggapinya bagaimana. Sesering apapun Nela mengatakan bahwa Hamdi sering menatapku dengan tatapan ketertarikan, aku sama sekali tidak menanggapinya.

Fokusku adalah kuliah dengan benar, walaupun sesekali aku ikut organisasi untuk meningkatkan kemampuan softskill.

Bagiku, baik teman seangkatan, kakak tingkat ataupun adik tingkat adalah teman. Belum berniat untuk menjalin hubungan walaupun beberapa diantaranya pernah meminta terang-terangan.

“Perasaan gue sekarang lega karena sudah memberi tau lo hal ini. Tolong sampaikan maaf gue untuk suami lo. Gue benar-benar gak ada maksud untuk merusak hubungan kalian dengan keberadaan gue.”

Kepalaku mengangguk. “Gue juga minta maaf dengan sikap gue dan Mas Raksa yang mampu membuat lo berpikiran yang tidak-tidak. Gue harap lo bisa dapatkan gadis baik-baik yang akan mencintai lo.”

Hamdi tertawa sebagai respon, kemudian laki-laki itu pamit pergi dan meninggalkanku yang menatap punggungnya dari belakang.

“Sudah?” tanya Nela yang ternyata kini berdiri didekat ku.

“Gue pikir lo nunggu diparkiran.”

Nela tertawa, “Gue penasaran Vi sama yang kalian bicarakan. Apa Hamdi mengakui perasaannya sama lo?” tanya Nela sambil duduk didekat ku.

“Iya, Nel. Sejujurnya gue speechless banget tau gak? Gue gak tau bagaimana harus menanggapi perkataan panjang Hamdi mengenai perasaannya. Dia juga ingin minta maaf untuk kejadian dua hari lalu.”

"Sesuai dugaan gue ternyata. Lo aja yang dari dulu gak peka. Soalnya dia ke lo itu beda banget. Tapi setidaknya semua sudah benar-benar jelas deh sekarang. Dia juga bisa move on dari lo tanpa ngebayangin istri orang lagi. Sudah, gak usah lo pikirin lagi."

Ya benar!

Walau tidak pernah memulai apapun, setidaknya dengan Hamdi melakukan ini perasaanya akan lega. Sedikit atau banyak, aku tetap ada didalam apa yang di lalui Hamdi.

Semoga saja, ketika suatu saat nanti tanpa sengaja aku, Mas Raksa dan Hamdi bertemu, tidak akan ada lagi Mas Raksa yang merajuk.

Membujuk Mas Raksa memang ujung-ujungnya akan membuatku keenakan, tapi setelahnya membuat tubuhku terasa lelah.

***

Stay safe and healthy semuaa 😍
Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,
P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang