Rumah yang dibeli oleh Mas Raksa, yang juga sudah di renovasi terlebih dulu ternyata masih kosong. Belum diisi satupun baik itu untuk ruang tamu, ruang tidur, dapur dan ruangan lainnya. Dan Mas Raksa baru mengatakannya saat makan siang dirumah mertuaku, yang membuat Mama mengomelinya.
Padahal hari sabtu rencana kepindahan kami sekaligus acara syukuran kecil-kecilan dengan mengundang tetangga untuk kepindahan kami.
Mas Raksa bilang dia ingin membiarkan aku mengisi rumah kosong kami, sesuai dengan keinginanku. Sayangnya kami belum sempat untuk mengurusnya.
Sehingga Mama ingin ikut serta untuk memilih barang-barang yang terbaik untuk rumah kami. Ujung-ujungnya, Mas Raksa menyerahkan semuanya kepada ku dan juga Mama.
Akhirnya dengan penuh kesabaran, aku mengikuti Mama dan Ibu yang dua hari ini begitu kompak untuk memilih semua perlengkapan rumah kami. Bahkan sampai turun tangan untuk memberi arahan penataan.
"Bagusnya posisi sofa sebelah sini atau disana, Mbak?" tanya Mama kepada Ibu.
"Sebelah sini bagaimana Mbak? Lemarinya biar bisa diletakkan disana," jawab Ibu sambil menunjuk-nunjuk.
Walaupun keduanya tau siapa yang lebih tua, tapi tetap saja panggilan Mbak tidak Mama dan Ibu lewatkan sedikitpun.
"Boleh juga Mbak. Kita kasih ruang yang luas, biar nanti cucu-cucu kita kalau lari-larian dirumah, mereka tetap aman."
Itu bisa aku katakan sebagai kode gak sih? Padahal belum juga dua minggu aku dan Mas Raksa nikahnya.
"Kalau untuk menyapu dan menata barang-barang kecil besok ada yang mengerjakan. Oh iya, untuk kamar kalian, kamu yang urus ya, Vi. Biar sesuai keinginan kamu," ucap Mama kini beralih kepadaku.
Sehingga untuk pertama kalinya, akhirnya aku bisa menata sesuai dengan keinginanku. Walaupun hanya untuk kamar utama yang akan aku dan Mas Raksa tempati.
Jujur saja, ketika pertama kali masuk kerumah ini aku sedikit gamang. Bayangkan saja, bagaimana jika seandainya aku hanya sendirian dirumah besar seperti ini? Terasa sedikit menakutkan.
Tapi rasa ketakutan itu sudah lumayan berkurang ketika rumah kosong yang pertama kali aku lihat sudah terisi.
"Kepala ranjangnya sebelah sini ya Pak. Meja riasnya disebelah sana. Lalu . . ."
Aku sibuk memberi arahan kepada dua orang yang bertugas dalam penataan dikamarku. Kalau aku sendiri tentu tidak akan bisa mengangkat ataupun mendorong ranjang, lemari dan barang berat lainnya.
"Foto yang diatas kepala ranjang sudah aman kan, Pak?" tanyaku untuk memastikan.
"Sudah Mbak. Untuk jaga-jaga kalau seandainya jatuh, saya kasih jarak antara dinding sama tempat tidurnya."
Aku sedikit takut melihat besarnya fotoku dan Mas Raksa saat pernikahan dulu yang dipasang didinding, tepat didekat kepala ranjang. Takut-takutnya lepas dan mengenai kepala kami saat tidur.
Tidak masalah dengan foto-foto yang disuruh Ibu dan Mama untuk dipajang di ruang tamu dan ruang keluarga. Resiko terkena kejatuhannya kecil.
Kamar yang akan dijadikan sebagai kamarku dan Mas Raksa begitu luas. Sama seperti kamarku dirumah Bapak, juga ada kamar mandi didalam. Bedanya ukurannya yang luas dengan sudah dilengkapi bathup dan juga tempat khusus untuk shower. Jangan lupakan adanya walk in closet juga yang mampu membuatku geleng-geleng kepala.
Hanya saja dari tadi salah satu pekerja, Bapak berkaca mata itu membuatku salah fokus. Bukan karena apa, hanya saja aku tiba-tiba membayangkan Mas Raksa mengenakan kacamata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken by Him [Tamat]
Lãng mạnTaken by Him merupakan cerita lengkap dari 'Taken by Him (Oneshoot)' Ketika sampai dirumah, Vivian dikejutkan dengan berita pernikahannya yang akan digelar seminggu dari kepulangannya itu. Jika bisa menunda, mungkin Vivian lebih memilih menundanya d...