Bagian 30

53.2K 3.1K 34
                                    

"Astaghfirullah!"

Aku mendorong tubuh Mas Raksa dengan kuat ketika telingaku mendengar seruan kaget. Beruntung bahwa Mas Raksa dapat menjaga keseimbangan tubuhnya sehingga Mas Raksa hanya mundur beberapa langkah tanpa terjatuh.

"Anggap saja Mama gak lihat ya," ucap Mama sambil tersenyum geli. Setelahnya Mama meninggalkan ruang makan.

Aku meringis sambil merapikan baju dan rambutku yang berantakan akibat ulah tangan Mas Raksa. Mas Raksa menatapku lekat setelah memakai kembali kemejanya. Kemudian Mas Raksa berjalan dan kembali berdiri ditempatnya tadi.

"Mas sih gak tau tempat, jadi kepergok Mama kan? Aku malu banget, gimana ini?" tuntutku yang dibalas kekehan oleh Mas Raksa.

Tangan Mas Raksa mengelus bibir bawahku yang basah dengan lembut. "Padahal kamu juga menikmatinya loh. Gak usah malu, Mama pasti ngerti."

Bagaimana aku tidak malu coba? Mungkin Mama mengira aku dan Mas Raksa bercinta diatas meja makan. Posisiku duduk diatas meja, sementara Mas Raksa berdiri diantara kedua kakiku. Jangan lupakan tangan nakal ku yang sudah membuka kemeja Mas Raksa dengan sadar.

Awalnya kami cuma pelukan sambil saling mendengarkan penjelasan masing-masing. Lalu Mas Raksa mencium kening sambil menyatakan cinta. Tapi ujung-ujungnya Mas Raksa malah beralih menciumi bibirku dalam.

Dan puncaknya, kegiatan kami malah dipergoki oleh Mama. Mau diletakkan dimana wajahku nanti saat ketemu Mama?

Ya ampun, aku malu sekali.

"Padahal Mas belum puas loh. Tapi kayaknya Mas bisa tahan kalau ditunda dulu sampai nanti malam. Kasihan Mama dan Papa yang mungkin udah nunggu di ruang tamu. Kamu samperin ya sayang, Mas mandi dulu sebentar," ucap Mas Raksa cepat.

Setelah mengecup bibirku singkat, Mas Raksa berlalu tanpa memperhatikan wajahku yang melongo menatapnya. Apa baru saja Mas Raksa memintaku sendirian untuk menemui Papa dan Mama? Tidak percayakah Mas Raksa bahwa aku benar-benar sangat malu?

Aku memastikan penampilanku yang sudah terlihat rapi. Segera menuju ruang tamu dimana Papa dan Mama sudah duduk santai sambil mengobrol. Aku menyapa dan menyalami keduanya dengan canggung.

Beruntung Mama sama sekali tidak menyinggung kejadian beberapa menit yang lalu. Dan juga Mama bersikap seperti biasanya.

Bertepatan setelah menyalami Mama dan Papa, ucapan salam terdengar. Bapak, Ibu, Revan dan Bang Kiki berjalan beriringan. Aku juga menyapa dan menyalami mereka.

"Jadi tadi kamu pergi kemana, Vi?" tanya Mama setelah semua duduk diatas sofa.

Aku sekilas melirik Bapak dan Papa yang sudah berbincang-bincang. Revan dan Bang Kiki juga melakukan hal yang sama. Sementara aku duduk diapit oleh Mama dan Ibu.

"Belanja ke pasar, Ma."

"Ya ampun, Mama kira kamu pergi kemana? Lihat Raksa panik, Mama juga ikutan cemas." Aku menatap Mama dengan tatapan menyesal.

Ibu yang duduk disebelah kananku juga angkat bicara. "Revan juga bilang kalau Raksa hubungi dia nanyain kamu. Lain kali kalau mau pergi bilang-bilang ya, Vi."

Aku menganggukkan kepala. "Iya, Bu. Aku gak tau Mas Raksa sampai dirumah pagi-pagi. Ponsel aku juga kehabisan daya."

"Jadi bagaimana kandungan kamu Vi, sehat?"

Aku menatap wajah cerah Bapak dengan senyum lebar. "Alhamdulillah sehat, Pak."

"Lima minggu ya, Vi?" tanya Papa.

Aku menganggukkan kepala. "Iya, Pa."

"Selama hamil kamu harus hati-hati ya, Vi. Walaupun kamu jauh lebih sehat dibandingkan Mama dulu saat hamil, tapi tetap harus waspada ya," pesan Papa.

Mama mengelus lenganku, membuat perhatianku tertuju kepadanya. "Lain kali, kalau pergi pastikan harus ada yang temani kamu ya. Hamil muda termasuk rawan loh."

Aku sangat beruntung sekali dengan Bapak dan Ibu sebagai orang tuaku dan adanya Mama dan Papa sebagai mertuaku. Mereka sangat perhatian, tidak hanya saat aku hamil sekarang, melainkan sejak dulu.

"Setelah wisuda Kakak, bahasan Ibu dirumah pasti tentang Kakak. Ibu yakin banget kalau Kakak hamil. Ternyata dugaan Ibu benar banget," ucap Revan antusias.

Aku membalas senyuman Ibu yang menenangkan. Baik Ibu dan juga Mama, keduanya punya cara tersendiri dalam mendidik dan membesarkan anak.

Bisakah aku kelak berhasil seperti keduanya?

"Gak cuma karena kamu mual-mual yang bikin Ibu yakin. Melihat porsi makan kamu saat hari wisuda yang banyak banget, Ibu jadi yakin pasti ada sesuatu dengan kamu. Karena gak biasanya kamu makan banyak begitu."

Ibu memang mengenaliku dengan baik. Kalau biasanya aku makan dengan porsi lebih sedikit dibandingkan biasa aku makan, Ibu pasti akan langsung bertanya, "kamu gak enak badan?"

Jadi tidak heran Ibu kekeh padahal aku sempat bilang bahwa aku masih mendapat tamu bulanan.

Mas Raksa masuk kedalam ruang tamu dengan tampilan yang jauh lebih rapi dan segar. Rambut Mas Raksa masih basah, namun sudah tersisir rapi. Mas Raksa menyapa dan menyalami kedua orang tua kami.

"Jadi lo pulang juga ternyata, Sa. Sampai jam berapa?"

Mas Raksa mendudukkan badannya disamping Bang Kiki. "Kira-kira sampai di rumah jam tujuh lewat lah."

"Lain kali, kalau kamu keluar kota lagi, Vivian bisa kamu antar kerumah Papa atau rumah Bapak. Biar ada yang jagain ya."

"Iya, Pa. Kalau Raksa harus keluar kota lagi, Raksa kabari Papa atau Bapak."

Aku menolehkan kepala kepada Bapak yang kini memberikan pesan. "Kamu harus lebih bisa sabar menghadapi Vivian yang lagi hamil ya, Sa. Biasanya Ibu hamil itu banyak maunya dan juga sensitif, Ibu dulu begitu. Jadi setelah kamu lihat bagaimana sifat istri kamu selama ini, jadi tidak menutup kemungkinan kalau sifatnya bisa lebih parah."

Walaupun Bapak bicara dengan nada bercanda, aku tetap paham dengan maksud ucapan Bapak. Ya, seperti yang Ibu bilang, list sifat burukku. Tapi rasanya aku jauh lebih dewasa dibandingkan sebelum menikah. Entah hanya menurut pendapatku saja.

"Kalau begitu, Ibu-ibu dan calon Ibu ini beranjak dulu ya untuk masak. Silahkan dilanjutkan perbincangannya," canda Ibu yang dibalas dengan tawa semuanya.

Ibu dan Mama sudah berdiri, sehingga aku juga melakukan hal yang sama. Mataku menangkap Mas Raksa yang sedang melihatku.

"Jangan terlalu capek!" Kalimat itu yang aku tangkap dari gerakan bibir Mas Raksa. Aku tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Mama bukannya mau ungkit hal yang tadi, Vi. Tapi Mama jadi kepikiran. Dulu selama hamil, Mama gak pernah sih melakukan hubungan suami istri karena sejak awal kehamilan Mama memang sedikit bermasalah. Yang Mama dengar, saat hamil muda sebaiknya jangan berhubungan badan dulu." Mama beralih menatap Ibu. "Benar gak sih Mbak?" tanya Mama kepada Ibu.

Wajahku seketika memerah. Aku yang duduk sambil memotong sayur menatap Mama dan ibu salah tingkah.

"Sebenarnya gak ada larangan melakukan hubungan badan saat sedang hamil muda, Mbak. Tapi ada beberapa kondisi dimana Ibu hamil sebaiknya jangan berhubungan badan selama kehamilan."

Ibu terhenti sejenak untuk mengambil wajan, sebelum melanjutkan. "Jadi untuk memastikan kondisi kehamilan saat ini dan untuk mencegah hal-hal yang gak kita inginkan, ada baiknya kamu konsultasi dulu ke dokter kandungan Vi, sebelum memutuskan berhubungan badan. Jika dari hasil pemeriksaan dokter gak ada kondisi yang berisiko membahayakan kehamilan kamu, maka ada yang perlu kamu perhatikan saat berhubungan badan, seperti posisi yang baik dan ejakulasi diluar untuk mengindari kontraksi rahim karena sperma. Biasanya Dokter akan bantu menjelaskannya."

Kenapa membahas hal yang membuat wajahku memerah sih?

Tapi tetap saja, aku beruntung Mama membahas hal ini. Sebelumnya, ini adalah hal yang tidak aku ketahui. Mas Raksa itu cenderung terlalu bersemangat dan gairahnya besar saat berhubungan badan. Kalau tadi aku dan Mas Raksa sampai berhubungan badan seperti biasanya, entah apa yang akan terjadi.

"Sudah pernah konsultasikan ini sama Dokter Vi?" tanya Mama.

Aku menggelengkan kepala. "Belum, Ma."

"Kalau begitu bilang sama Raksa, dia puasa dulu sampai kondisi kamu udah dipastikan Dokter. Oh iya, waktu Mama datang pintu rumah kebuka. Lain kali jangan lupa ditutup walaupun kalian memang lagi ada di rumah ya," ucap Mama mengingatkan.

Aku menganggukkan kepala dan meringis malu. Pantas saja, Mama tiba-tiba sudah berada didalam rumah. Aku juga sih, yang lupa menutup pintu ketika mengikuti Mas Raksa masuk ke rumah.

Tanganku mengusap pelan perutku yang sudah menunjukkan perubahan. Pikiranku langsung tertuju kepada Mas Raksa.

Ternyata Ayah kamu harus menahan lebih lama, Nak.

***

Stay safe and healthy semuaa 😍
Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,
P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang