Bagian 4

55.6K 3.9K 44
                                    

Seketika aku tertawa terbahak mendengar ucapan Ibu bahwa aku akan menikah.

Aku akan menikah? Yang benar saja! Secepat ini?

Aku memang sempat berpikir untuk menikah diusia muda. Mungkin setelah wisuda, mendapat kerja dan kemudian baru menikah. Rasanya rencana itu sudah tergambar dalam pikiranku. Walaupun belum tau siapa calonku karena aku tidak punya pacar.

"Ibu jangan bercanda deh," ucapku disertai kekehan. Ucapan Ibu tadi benar-benar candaan yang terdengar lucu. Mungkinkah persiapan untuk kejutan dari keluargaku dihari ulang tahunku tak lama lagi?

"Ibu serius Vi, kenapa pula Ibu harus becanda?"

Aku menatap Ibu dengan mata berkaca-kaca. Semakin lucu bukan? Setelah tertawa kencang, aku tiba-tiba ingin menangis.

"Sebenarnya apa yang gak aku tau sih, Bu?"

"Ingat tidak tujuh bulan lalu, ketika Ibu minta kamu untuk pulang karena ada acara dirumah, nyatanya kamu keluar kota untuk kunjungan industri?"

Saat itu aku sudah berkata akan pulang kerumah untuk menghadiri acara yang tidak aku ketahui apa. Sayangnya jadwal kunjungan industri, bagian dari tanggung jawabku sebagai asisten dosen untuk mendampingi Mahasiswa semester awal dipercepat sehingga aku batal untuk pulang kerumah.

"Bapak hubungi kamu, ingatkan?"

Aku sedikit menjauh dari rombongan ketika sadar bahwa ponselku berbunyi. "Assalamualaikum." Sapa ku ketika melihat pemanggil dari nomor Bapak. Entah Bapak atau Ibu yang menghubungi.

"Waalaikumsalam, Vi. Bapak ganggu kamu sebentar gak papa kan?" tanya Bapak.

Mataku melirik rombongan yang masih berdiri ditempat semula. Belum ada tanda-tanda untuk beralih tempat. "Gak papa Pak, ini rombongan masih istirahat. Ada apa Pak? Bapak, Ibu sama Revan baik-baik aja kan?"

"Iya, baik kok Vi. Begini, Bapak langsung saja. Kalau ada laki-laki yang Bapak nilai pantas untuk menjadi suamimu kelak, datang kerumah untuk melamarmu, kamu terima gak, Vi?"

Aku terdiam berfikir. Memang dulu untuk urusan jodoh, aku juga menyerahkan kepada Bapak dan Ibu. Membiarkan keduanya juga memilih laki-laki yang sesuai untukku. Karena aku sendiri belum pernah pacaran.

"Kalau menurut Bapak laki-laki itu tepat untuk Vivi, Vivi terima Pak."

"Saat Bapak hubungi kamu, acara lamaran sedang berlangsung. Bapak hanya ingin lebih yakin untuk menerima lamaran Raksa, makanya Bapak hubungi kamu."

Rasanya aku mau menangis sekeras mungkin. Bukan secepat ini waktu yang aku inginkan untuk menikah. Setidaknya sesuai dengan hal yang sudah aku persiapkan sejak dulu. Wisuda, kerja dan baru kemudian menikah.

"Bu, aku bahkan belum wisuda. Kenapa bisa nikahnya harus secepat ini?" rengekku tanpa sadar.

"Jadwal pernikahannya sudah ditentukan sejak hari lamaran, Vi. Ibu dan Bapak bahkan sudah memperkirakan bahwa kamu sudah akan lulus, walau nyatanya masih belum."

Berarti salahkan juga kapasitas otakku yang sedikit lambat untuk memperlajari tugas akhir yang merupakan bagian proyek Bu Mini, bukan kajian yang aku inginkan sepenuhnya atau kemalasanku dalam mengerjakan tugas akhir. Tapi tetap saja, aku belum siap.

"Apa tidak bisa ditunda, Bu?"

Ibu mengusap air mata yang dengan lancarnya mengalir sendiri dipipiku. "Kamu dengar sendiri tadi persiapannya sudah sejauh mana kan? Lagi pula gak papa Vi, menikah dulu baru wisuda. Gak ada larangannya juga."

Rasanya, otakku terhenti sejenak. Tanpa bisa berpikir hal lain selain menunda pernikahan ini. Ini terlalu cepat. Sekali lagi, aku bahkan belum siap sepenuhnya untuk menjadi seorang istri. Aku masih banyak kekurangannya.

Tapi aku harus bagaimana? Menunda pernikahan ini mungkinkah sama artinya mengecewakan keluargaku? Mengecewakan Bapak dan Ibu yang sudah sejauh ini mempersiapkannya? Membuat malu keluargaku?

"Vi, kamu akan menerimanya kan?" lirih Ibu membuatku segera menoleh kearahnya. Mampukah aku tetap bersikeras ingin menunda hingga membuat Ibu kecewa? Bahkan saat ini Ibu seperti berharap bahwa aku akan menjawab iya.

Aku duduk ditempat tidur. Menenangkan diri sekaligus membiarkan perasaanku yang bercampur aduk. Ketika tangan kiriku ingin menghapus air mata yang masih keluar, aku menyadari sesuatu.

"Mungkinkah cincin yang Ibu berikan ini adalah cincin pertunangan?" tanyaku. Ibu menganggukkan kepala mantap.

Kemana saja aku selama ini? Tidak heran dengan acara yang tiba-tiba berlangsung dirumah tujuh bulan lalu. Pertanyaan Bapak yang tidak terdengar aneh sama sekali. Cincin yang diberikan Ibu untukku pakai dan tidak boleh dilepas walau pergi ke kampus sekalipun.

"Cincin lo bagus, kayaknya mahal deh! Cincin tunangan ya?" Bahkan pertanyaan Nela ketika melihat cincin dijari tanganku hanya aku tanggapi dengan candaan. "Tunangan dari Hongkong?"

"Vi?" panggil Ibu disertai sentuhan ringan dibahuku. Mengembalikanku kepada dunia nyata sebelum terlalu jauh melamun.

"Vivi cuci wajah dulu, Bu. Setelah itu kita turun." Hanya itu tanggapanku seraya tersenyum tipis. Menenangkan Ibu padahal aku yang butuh ditenangkan.

Setelah mencuci wajah dan memastikan bahwa aku tidak terlihat seperti habis menangis, aku dan Ibu kembali keruang tamu. Menemukan raut wajah dengan pandangan bertanya-tanya. Mungkin menyadari bahwa ada yang salah denganku.

Ibu kembali duduk ditempat semula, sementara aku berdiri tak jauh dari Ibu.

"Hmm, Vivi boleh bicara berdua dengan Mas Raksa?"

Aku melirik Mas Raksa yang menatapku dengan pandangan bingung. Kemudian aku beralih menatap Ibu yang wajahnya terlihat cemas. Aku membalasnya dengan senyum menenangkan, lagi.

Jika aku yang menunda pernikahan akan membuat Bapak dan Ibu kecewa serta malu. Tapi hal itu belum tentu terjadi ketika Mas Raksa yang melakukannya bukan?

"Aduh, pembicaraan anak muda ternyata gak boleh didengar yang tua-tua ya?" goda Tante Nisa seraya mengedipkan matanya.

Aku hanya tersenyum tipis, sebagai bentuk sopan santun sebagai jawaban. "Mas, gak keberatan kan bicara berdua?" tanyaku kepada Mas Raksa.

Mas Raksa tersenyum, "Gak sama sekali, Vi."

"Kalian bisa bicara sepuasnya, sebelum besok mulai dipingit," ucap Om Raka dengan suara menggoda.

Bapak, Revan dan Tante Nisa tertawa, sementara Ibu masih menatapku dengan cemas. Seakan dipikirannya saat ini, aku akan mengatakan hal yang sama seperti yang ku katakan tadi ke Ibu kepada Mas Raksa.

"Kalau begitu, kalian bisa bicara ditaman belakang. Disana lebih baik dari pada diatas," ucap Bapak bercanda. Tidak mungkin pula aku membawa Mas Raksa ke kamarku, Bapakku ini ada-ada saja.

Aku berjalan lebih dulu, diikuti oleh Mas Raksa dibelakangku. Setelah keluar melewati pintu samping, kami berjalan sedikit hingga sampai di gazebo yang sengaja dibuat Bapak untuk bersantai ditaman belakang.

Aku menatap Mas Raksa yang berdiri dihadapanku. Aku sama sekali tidak ingat untuk menawarinya duduk karena kecemasanku. Bahkan aku sendiripun tidak berniat duduk. Toh kami juga tidak akan lama.

Tatapan matanya kadang membuatku ragu untuk mengutarakan keinginanku. Tapi mengingat ini adalah waktu yang tepat, aku juga merasa bahwa aku harus mengatakannya.

Sambil meremas kedua tanganku, aku bertanya tanpa keraguan.

"Mas, bisa tidak pernikahannya kita tunda?"

***

Vivian mau pernikahannya ditunda? Gimana dong? 😥

Baiknya tetap lanjut nikah atau ditunda dulu ya? 🤔

Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,
P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang