Pagi tadi, dari rumah Bapak kami berangkat bersama-sama ke rumahku dan Mas Raksa. Berangkat lebih awal dibandingkan acara syukuran dan silaturrahmi dengan para tetangga yang direncanakan setelah sholat Zuhur.
Untuk makanannya, sudah ada orang katering yang kami sewa. Sementara rumah kemaren sudah dirapikan oleh asisten rumah tangga Mama. Hanya tinggal membawa beberapa barang dari kamarku.
Kami tidak mengundang keluarga besarku maupun keluarga besar Mas Raksa. Karena niat awalnya syukuran sekaligus silaturrahmi dengan tetangga sekitar karena aku dan Mas Raksa akan menetap disini. Berharap kedatangan kami dilingkungan ini dapat diterima dengan baik.
Tapi walaupun begitu, Bang Kiki sebagai sahabat Mas Raksa sekaligus Abang sepupuku tetap menunjukkan eksistensinya. Katanya siapa tau dia dibutuhkan.
Setelah sholat Zuhur, para tetangga yang sudah diundang satu persatu mendatangi rumah kami. Beruntung sejauh ini tetangga disini ramah-ramah dan menyenangkan. Tapi tidak tau apakah akan ada ibu-ibu yang suka ngerumpi tiap beli sayuran abang-abang yang lewat seperti di komplek tempat bapak tinggal.
Acara syukuran dimulai ketika rombongan Bapak-bapak yang pulang melaksanakan sholat Zuhur di masjid datang. Dalam rombongan sudah ada Mas Raksa, Bapak, Papa, Revan dan Bang Kiki. Termasuk Pak RT yang sebelumnya sempat kami temui.
"Biasanya satu kali dalam tiga bulan akan dilakukan gotong royong bersama. Kalau sedang luang ikut ya, Nak. Yang perempuan hanya perlu memasak untuk menyiapkan makan siang untuk Bapak-bapak," ajak Bu Mina, istri Pak RT.
"InsyaAllah Bu. Nanti saya usahakan."
"Nak Vivi umur berapa? Kelihatan masih muda soalnya," tanya Ibu yang rambutnya disanggul tinggi. Selain Bu Mina, aku belum mampu ingat nama-nama semuanya.
"Dua puluh dua tahun, Bu."
"Wah nikah muda ternyata," ucapnya seraya melirik perutku.
Apa maksudnya coba melirik perutku? Baru tadi aku memuji, ternyata sudah ada yang menampakkan sifat aslinya.
Memangnya Ibu ini pikir aku hamil duluan sebelum nikah?
"Iya, Bu. Kami gak mau pacaran soalnya. Lebih baik ikatan resmi yang sah dimata hukum dan agama dibandingkan hanya status pacaran," ucapku disertai dengan senyuman. Bisa juga ternyata aku bicara bijak seperti ini?
Mama dan Ibu yang mendengarnya tersenyum kepadaku.
"Saya setuju banget kalau seperti itu. Salut saya sama Nak Vivi dan Nak Raksa. Jarang-jarang loh anak muda pikirannya seperti ini," puji Bu Mina. Ibu-ibu lain menganggukkan kepala salut.
Aku melirik Ibu yang menanyai perkara umurku. Wajahnya cuma melempem, seperti merasa bahwa tidak ada yang berpihak padanya.
"Mari Ibu-ibu, silahkan sambil berbincang-bincang, nikmati juga makanannya," ucap Ibu.
Sementara aku melayani pembicaraan Ibu-ibu, Mas Raksa duduk bersama rombongan Bapak-bapak. Sesekali aku menemukan Mas Raksa yang melirik kearahku. Aku tersenyum sambil mengedipkan mata sebagai respon.
Ini sudah jadi kebiasaan yang aku sukai. Sebab melihat respon Mas Raksa setelahnya, tersenyum malu-malu, mampu membuatku bangga dengan diri sendiri. Ternyata begitu mudah untuk membuat Mas Raksa senang.
"Saya permisi sebentar ya Ibu-ibu, mau mengangkat telfon dulu," pamitku ketika ponsel yang berada disaku gamisku bergetar.
Aku mendesah kesal ketika menemukan nama yang menghubungiku. Aku memang menyimpan nomornya setelah pertama kali dia menghubungiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken by Him [Tamat]
RomanceTaken by Him merupakan cerita lengkap dari 'Taken by Him (Oneshoot)' Ketika sampai dirumah, Vivian dikejutkan dengan berita pernikahannya yang akan digelar seminggu dari kepulangannya itu. Jika bisa menunda, mungkin Vivian lebih memilih menundanya d...