Bagian 21

43K 3K 38
                                    

Seperti yang ditargetkan Bu Mini, akhir bulan kedua setelah seminar proposal, aku melaksanakan seminar hasil. Kemudian dikarenakan tidak banyaknya revisi pasca seminar hasil, akhirnya lebih kurang satu minggu berikutnya aku melakukan sidang sarjana.

Beruntung karena tersedianya jadwal kosong dosen pembimbing dan penguji tugas akhirku, sehingga aku tidak perlu waktu lebih lama untuk menunggu jadwal seminar hasil saat itu dan juga untuk sidang sarjana hari ini.

“Selamat ya, akhirnya kita bisa wisuda bareng periode ini.”

Aku membalas pelukan Nela yang setia menantikanku didepan ruang sidang. Setelah mengurus berkas penilaian sidang, aku akhirnya bisa bernafas lega bertemu dengan teman-temanku.

“Gue juga senang banget, Nel. Gila ya didalam horor banget ternyata.”

“Lo sih, sempat gak percaya gue ceritain gimana didalam sana.”

Beberapa orang teman angkatanku datang untuk memberikan hadiah dan ucapan selamat. Termasuk kakak dan adik-adik tingkat yang berbondong-bondong untuk meminta foto bersama.

Kedatangan beberapa orang teman KKN ku dan teman-teman lain yang sempat berada dalam satu organisasi yang sama denganku begitu aku syukuri.

Dan kehadiran Mas Raksa ketika aku hampir selesai berfoto-foto diluar gedung jurusan membuatku senang luar biasa. Padahal tadi pagi setelah mengantarku ke kampus, Mas Raksa bilang dia seharian akan ada rapat.

Mas Raksa tidak datang sendirian, melainkan bersama dengan Restu.

“Mas bilang gak akan bisa datang,” rajukku senang ketika Mas Raksa sudah berdiri didekatku.

Kehadiran Mas Raksa membuat kami menjadi pusat perhatian. Apalagi teman-temanku menyempatkan diri untuk melirik Mas Raksa terang-terangan. Untung saja stock kesabaranku banyak sekali.

“Kejutan sayang. Selamat ya untuk keberhasilan sidangnya.”

Tidak ada adegan cium mencium dan peluk memeluk karena ini ditempat umum. Kalau cuma berdua saja, mungkin akan lebih.

Aku menerima beberapa hadiah yang dibawakan Mas Raksa. “Makasih Mas,” ucapku senang. “Aku pengen cium Mas deh, sayangnya ini ditempat umum,” bisikku yang membuat Mas Raksa tersenyum malu.

Ya ampun, suamiku ini.

“Selamat ya, Vi. Gue sudah siapin hadiah sih, tapi belum sampai disini,” ucap Restu sambil menyengir.

“Kalau begitu, lo jadi tukang foto dadakan aja ya? Tolong bantu ambilin foto gue sama suami gue. Itu sudah cukup kok,” ucapku sambil memberikan ponselku.

Walaupun dengan wajah kesal, Restu bersedia untuk membantu mengambilkan beberapa fotoku bersama Mas Raksa.

“Nah, itu dia hadiah dari gue,” ucap Restu sambil melirik Mas Raksa yang menatapnya tajam. “Hamdi, buruan!” teriak Restu kepada seorang laki-laki yang berjalan kearah kami.

Mas Raksa memandangiku datar. Mungkin saat ini Mas Raksa berpikir bahwa aku sengaja mengundang Hamdi untuk datang. Padahal aku yakin ini semua ulah Restu. Sengaja mengundang Hamdi, laki-laki yang mampu membuat Mas Raksa cemburu.

"Mas, aku tidak pernah mengundangnya untuk datang," bisikku. Mas Raksa hanya memandangku dalam diam.

Yang aku tau, dulu Mas Raksa sempat berencana untuk menunda tanggal pernikahan karena aku belum juga wisuda. Tapi, ketika Restu sebagai tangan kanan Mas Raksa mengatakan padanya bahwa Hamdi ingin mendekatiku lebih dekat lagi, Mas Raksa menghentikan rencananya.

Restu yang menyebalkan ternyata lebih memperlihatkan sifatnya saat ini. Padahal ketika masih menjadi tangan kanan Mas Raksa saat aku masih kuliah, Restu sangat menikmati perannya. Tiap bulan Restu akan memperoleh paket hingga 60 GB sebagai bayaran untuk mengawasiku dari Mas Raksa.

“Vi selamat ya. Ini ada sedikit hadiah dari gue dan Restu,” ucap Hamdi dengan senyum dibibirnya.

Aku membalas jabatan tangan Hamdi. “Makasih loh sudah sempetin untuk datang,” ucapku dengan senyum tipis.

Restu terlihat menikmati suasana canggung yang kini aku rasakan. “Ayo-ayo foto dulu,” ajak Restu senang.

Aku memegangi lengan Mas Raksa, "Mas, aku foto sebentar ya," ucapku kepada Mas Raksa.

Sebagai seorang teman, aku tidak bisa menolak kedatangan Hamdi dan juga hadiah darinya. Selain itu, hal ini juga sebagai bentuk ucapan terima kasih karena Hamdi sudah menyempatkan waktunya untuk datang.

Selama mengambil beberapa foto bersama Hamdi dan Restu, Mas Raksa masih melihat kearahku. Mas Raksa terang-terangan memperlihatkan ketidaksukaannya.

Tidak bisakah suamiku itu berpura-pura untuk terlihat baik-baik saja walau hanya sebentar?

Aku baru menghembuskan nafas lega ketika Hamdi memilih pergi lebih awal. Setelah dia juga menyempatkan diri menyapa Mas Raksa. Mungkin Hamdi juga menyadari suasana aneh yang sempat ada diantara kami.

"Awas ya lo," bisikku ketika Restu juga berniat akan pergi mengikuti Hamdi. Restu tersenyum menantang.

"Jangan lupa datang sidang gue dan Hamdi ya," teriak Restu setelah berjalan beberapa langkah. Tak lupa dia menyempatkan untuk tertawa terbahak-bahak.

“Suami lo kelihatan cemburu banget, Vi. Dia tau tentang Hamdi ya?” bisik Nela yang berjalan mendekatiku. Dari tadi Nela melihatku sambil duduk dikursi yang ada di lobi.

Aku menganggukkan kepala. "Bantuin gue beres-beres ya, Nel. Sepertinya gue harus pulang sekarang deh." Sebelum suasana hati Mas Raksa semakin kacau.

Nela membantuku membereskan hadiah yang aku terima dari teman-temanku. Walaupun masih betah dengan keterdiamannya, Mas Raksa tetap membawakan hadiah-hadiah itu kedalam mobil. Tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Nela yang membantuku seharian ini.

"Besok jangan lupa daftar wisuda. Gue temenin," ucap Nela mengingatkan.

Aku memeluk Nela singkat. "Makasih banyak ya untuk hari ini sayangnya gue. Gue pulang duluan ya," ucapku sambil melepaskan pelukan.

"Iya, iya. Semangat ya untuk mengatasi kecemburuan suami lo."

Setelah mengantarkanku sampai kedalam kamar, Mas Raksa pergi. Mas Raksa bilang ada rapat, tapi ketika aku hubungi, ponselnya masih aktif. Mas Raksa sepertinya benar-benar mendiamiku.

"Mas, sudah makan belum? Sholat Isya sudah?" tanyaku ketika mendapati Mas Raksa masuk kedalam kamar sekitar jam setengah sepuluh malam.

"Sudah," jawab Mas Raksa singkat, jelas dan padat. Tapi jawaban itu terdengar menyebalkan bagiku.

Mas Raksa mengambil baju tidur. Kemudian beralih kedalam kamar mandi. Sambil menunggu Mas Raksa mandi, aku membuka media sosialku. Sudah banyak foto yang di posting oleh teman-temanku dan juga ucapan selamat untuk sidang sarjana hari ini.

Aku memeluk erat Mas Raksa ketika Mas Raksa sudah keluar dari kamar mandi. Tanganku melingkari pinggangnya. Mas Raksa sangat wangi sekali.

"Mas, aku sama sekali gak undang Hamdi untuk hadir. Aku juga kaget lihat dia datang tiba-tiba. Ini semua ulah Restu, Mas. Harusnya Mas marah sama Restu, bukannya sama aku."

"Hmm."

"Tapi Mas boleh marah juga deh sama aku, asalkan jangan diam begini. Aku gak mau Mas cuekin begini."

Aku dapat merasakan tangan Mas Raksa yang melingkari punggungku. Sebelah tangannya kemudian naik dan mengusap kepalaku dengan lembut. Sepertinya Mas Raksa sudah sedikit melunak.

"Apa yang harus aku lakukan agar Mas gak ngambek lagi?" tanyaku.

Rupanya pertanyaanku lebih ampuh untuk melunakkan hati Mas Raksa, sehingga senyum lebar muncul dibibirnya.

"Layani Mas malam ini. Kita baru bisa berhenti kalau Mas yang bilang berhenti."

Semoga Nela tidak marah jika aku akan terlambat ke kampus besok.

***

Stay safe and healthy semuaa 😍
Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,
P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang