Bagian 29

48.6K 3.2K 77
                                    

Sekitar jam tujuh pagi, aku berangkat ke pasar untuk membeli bahan makanan. Di rumah memang sudah tersedia beberapa bahan, hanya saja itu merupakan persediaan mingguan yang sudah diisi sejak hari minggu kemaren, sehingga aku rasa tidak akan mencukupi.

Sekarang memang bukan hari sabtu ataupun minggu, namun hari ini merupakan hari libur nasional. Jadi tidak heran keluargaku bisa mengunjungi ku hari ini.

Setelah tadi malam Revan bilang Bapak dan Ibu akan datang, aku sangat senang. Pagi tadi setelah sholat subuh, aku menghubungi Mama dan Papa. Mereka begitu antusias mendengar berita kehamilanku. Dan Mama bilang, Mama dan Papa juga akan datang.

Karena itulah, aku pergi ke pasar pagi-pagi untuk membeli bahan makanan untuk makan siang kami bersama. Kalau perginya saat sudah mulai siangan, takutnya keluargaku datang lebih awal.

“Mau saya tolong bawakan kedalam, bu?” tawar Bapak sopir taksi.

Aku menggelengkan kepala sambil meletakkan dua kantong plastik merah dibawah. “Tidak perlu Pak, ini gak berat.” Aku membayarkan uang ongkos taksi. “Makasih banyak ya Pak.”

“Sama-sama, Bu.”

Setelah taksi yang aku tumpangi berlalu, aku menatap pagar rumah yang terbuka sambil tetap melangkahkan kaki. Namun, rupanya tidak hanya pagar rumah, melainkan pintu rumah pun terbuka lebar.

Mungkinkah rumahku kemalingan? Atau memang aku yang lupa menutupnya karena tergesa-gesa setelah taksi online yang aku pesan untuk pergi ke pasar tadi datang terlalu cepat?

Tapi rasanya itu tidak mungkin. Komplek perumahan ini tergolong aman. Sebelum masuk kedalam komplek saja, harus melalui pos satpam terlebih dulu. Bahkan satpam komplek pun sering patroli.

Tapi tetap saja, seingatku sebelum pergi tadi aku sudah menutup pintu pagar dengan baik.

“Kenapa Vi? Kamu ada masalah?”

Mbak Nina yang sedang menggendong Cantika di teras rumah sebelah mungkin menyadari raut gelisah dan takut dari wajahku, sehingga ia menyapaku lebih dahulu.

“Gak Mbak, cuma heran aja. Tadi perasaan pintu sudah aku kunci deh.”

Mbak Nina tertawa sambil melirik plastik ditanganku. “Jadi pulang belanja ternyata. Kamu sih, pergi itu ya bilang-bilang. Setidaknya nitip pesan ke Mbak juga boleh. Suami kamu panik nyariin istrinya yang tiba-tiba gak ada dirumah.”

Mas Raksa sudah pulang? Tapi kenapa tidak ada mobilnya?

“Ponselku mati Mbak waktu taksi datang, jadi ditinggal dirumah aja. Semalam lupa isi daya nya. Tadi berangkat ke pasar nya juga terlalu pagi, jadi ragu mau ganggu Mbak Nina.”

“Lain kali jangan segan-segan untuk nitip pesan. Selagi Mbak dirumah, Mbak gak merasa diganggu” Aku menganggukkan kepala sebagai respon. “Kasihan sama suami kamu itu,” tunjuk Mbak Nina dengan dagunya.

Aku membalikkan badan. Menemukan Mas Raksa yang terlihat berantakan sekali. Matanya yang memerah menatapku lekat, raut lega terpancar diwajahnya.

“Kalau begitu, kami masuk dulu ya Mbak.”

Setelah Mbak Nina mengiyakan, aku membiarkan Mas Raksa mengambil alih plastik dari tanganku. Aku mengikuti dan menatap Mas Raksa dari belakang.

Mas Raksa masih marah padaku tidak ya?

Aku memandangi Mas Raksa yang tertegun menatapi dua plastik merah yang diletakkannya diatas meja makan. Setelah beberapa menit berlalu, tidak ada pergerakan sama sekali dari Mas Raksa.

Apa yang terjadi dengan suamiku ini?

“Mas?” panggilku ragu-ragu.

Mas Raksa membalikkan badannya. Matanya yang memerah itu kembali menatapku dalam. Pakaiannya terlihat berantakan, wajahnya terlihat kelelahan dan rambutnya sangat acak-acakan. Melihat penampilan Mas Raksa seperti ini membuat dadaku merasa sesak.

“Mas, masih marah padaku?” tanyaku lirih.

Kaki Mas Raksa melangkah cepat kearahku. Hanya beberapa detik setelahnya aku merasakan tubuhku yang dipeluk kuat oleh Mas Raksa.

Aku membalas pelukan Mas Raksa tak kalah eratnya. Aku merindukan Mas Raksa, sangat. Tapi melihat Mas Raksa yang seperti ini membuat hatiku terasa perih.

Memikirkan Mas Raksa yang akan pulang hari ini atau mungkin besok membuatku tak sabar menantinya. Dan itu seakan terobati karena Mas Raksa ternyata sudah datang lebih awal.

Aku merasakan lembap tepat dimana Mas Raksa membenamkan wajahnya dileherku. “Mas?” panggilku ketika Mas Raksa tak kunjung melepaskan pelukan kami.

"Mas pikir kamu lelah dengan sikap Mas. Mas pikir kamu pergi karena Mas mengabaikan kamu. Mas pikir kamu meninggalkan Mas karena Mas pergi tanpa dengar penjelasan kamu terlebih dulu. Tidak mendapati kamu dirumah membuat Mas panik seketika. Bahkan kamu gak ada dirumah Bapak dan juga Papa. Rasanya melihat kamu ada disini sekarang, Mas benar-benar lega. Maafkan Mas sayang, untuk semuanya," ucap Mas Raksa dengan suara serak.

Aku mengusap punggung Mas Raksa. “Aku yang harusnya meminta maaf, Mas. Aku terlalu mendengarkan kata orang sehingga aku mengambil keputusan sendiri tanpa membicarakannya dengan Mas dulu. Maaf, Mas."

Tanganku bergerak untuk menghapus air mata yang tanpa malu sudah keluar dengan lancar. "Aku pikir, mungkin menunda sampai aku wisuda adalah hal yang tepat agar gosip tentangku yang hamil sebelum nikah bisa terbantahkan. Hanya karena pikiran sesaat itu, aku konsultasi dengan Dokter hingga akhirnya aku memutuskan untuk memilih pil kontrasepsi sebagai cara untuk menunda kehamilan."

Aku menghela nafas. "Tapi, Demi Allah Mas. Aku gak pernah mengkonsumsinya. Setiap akan meminumnya, aku mengurungkan niat. Maaf karena aku menyembunyikan hal itu dari Mas."

Mas Raksa menjauhkan kepalanya dari leherku setelah beberapa saat aku terdiam. Aku dapat melihat jejak samar air mata diwajah Mas Raksa.

Ya Allah. Apa aku telah membuat Mas Raksa sangat kecewa hingga dia menjadi seperti ini?

"Mas minta maaf, sayang." Mas Raksa menghapus air mataku dengan lembut. "Harusnya Mas gak pergi begitu saja. Harusnya Mas mendengarkan penjelasan kamu lebih dulu."

Mas Raksa mengelus pipiku dengan lembut. Matanya yang masih memerah menatap mataku lekat.

"Ketika melihat obat itu, Mas kaget. Karena Mas pikir obat itu mungkin ada kaitannya dengan mual kamu beberapa hari belakangan. Karena kamu bilang cuma masuk angin, Mas memutuskan untuk bertanya langsung kepada Dokter. Jujur saja, Mas sangat kecewa ketika tau obat itu adalah pil kontrasepsi."

Aku tidak bisa membendung air mataku yang minta keluar lagi. Hingga akhirnya Mas Raksa lagi-lagi yang menghapusnya.

"Mas marah karena kamu gak pernah mengatakan apapun kepada Mas. Mas kecewa karena Mas yakin pasti sesuatu telah terjadi sehingga kamu melakukan itu dan Mas gak mengetahui apapun. Belum selesai dengan kecewa pada diri Mas sendiri, masalah yang terjadi di lokasi pembangunan hotel membuat perasaan Mas menjadi semakin kacau. Maaf karena Mas mencampur adukkan masalah kerjaan kedalam rumah tangga kita."

Aku menganggukkan kepala. Tanganku segera bergerak menuju rambut Mas Raksa. Merapikan seadanya dengan tanganku.

"Kenapa Mas gak bisa dihubungi?"

"Mas minta maaf untuk itu. Mas akui Mas bersikap kekanak-kanakan karena gak sekalipun menanggapi pesan dan panggilan dari kamu."

Ternyata bukan aku saja yang berpikir Mas Raksa sedikit kekanak-kanakan. Karena nyatanya Mas Raksa sendiri juga menyadarinya.

"Harusnya Mas gak mengabaikan kamu. Jadi Mas bisa lebih awal tau bahwa disini," Mas Raksa mengusap perutku dengan lembut, "ada calon anak kita."

Mas Raksa menatapku dengan senyum diwajahnya, yang mampu menulariku seketika. "Selamat ulang tahun, Mas. Dan selamat juga karena Mas sekarang sudah jadi calon Ayah."

Aku merasakan ciuman lama dikeningku. "Makasih Ya Allah. Makasih, sayang. Mas cinta kamu, sangat."

***

Stay safe and healthy semuaa 😍
Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,
P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang