Bagian 5

56.5K 4K 76
                                    

Mataku sama sekali tidak salah ketika menangkap raut kecewa dari wajah Mas Raksa setelah kalimat dari mulutku terlontar. Dan juga dia hanya terdiam menatapku.

Apa aku melakukan kesalahan?

"Kenapa?" tanya Mas Raksa dengan suara lirih.

Kenapa dia harus bertanya dengan nada suara seperti itu?

Kecemasan kini berganti dengan rasa gugup. "Aku merasa kita perlu untuk saling mengenal terlebih dulu. Rasanya aneh karena hari ini adalah pertemuan pertama kita.''

Kenapa raut wajah Mas Raksa yang kecewa itu begitu menggangguku? Apa yang terjadi sih denganku saat ini?

"Hari ini bukan pertemuan pertama kita," ucap Mas Raksa setelah keheningan yang sedikit mencekam.

"Apa?" tanyaku bingung.

Bukan pertemuan pertama ya? Lalu mungkinkah sebelum ini kami pernah bertemu?

"Bukankah lebih baik kita saling mengenal dan mendekatkan diri satu sama lain ketika sudah menikah?" tanya Mas Raksa tanpa menjawab pertanyaanku.

Memang benar sih yang diucapkan Mas Raksa. Jauh dari dosa dan tidak menimbulkan fitnah. Hanya saja, apa ini tidak terlalu cepat baginya?

"Menurutku ini terlalu cepat," gumamku.

"Bagiku, ini tidak terlalu cepat. Hari yang ditetapkan untuk tanggal pernikahan kita adalah hari yang tepat."

Tapi bagiku ini terlalu cepat! Bagaimana lagi cara untuk mengatakannya agar tidak membuat Mas Raksa tersinggung?

Kami terdiam dengan tatapan mata yang masih terhubung satu sama lain.

"Aku gak terlalu bisa memasak, selain masakan yang cepat untuk dikerjakan. Kadang aku bersikap manja, cengeng dan mau menang sendiri. Ada kalanya aku sering bersikap kekanak-kanakan. Aku kadang juga tidak peka. Aku. . ."

Sifat buruk apa lagi yang kira-kira aku miliki dan bisa membuatnya berubah pikiran?

"Aku tau," ucap Mas Raksa disaat-saat aku berpikir tentang keburukanku.

"Apa?"

"Aku mengenalmu, Vi. Aku tau bagaimana kamu dan sifat kamu. Aku tau apa yang kamu suka dan tidak sukai. Aku tau apapun tentang kamu."

Setelah mendengar itu, entah kenapa secepat itu keraguanku mulai berkurang. Dan aku hanya mampu bingung dengan diriku sendiri yang tiba-tiba berubah dalam sekejap.

Hanya karena ucapan Mas Raksa, aku bisa seperti ini? Padahal perkataannya itu belum tentu benar.

"Kalau begitu, bisakah acaranya kita jadikan satu hari saja? Kalau dua hari rasa capeknya akan dua kali lipat. Mas tidak keberatan kan?"

Mas Raksa tersenyum lega. "Tentu saja. Pernikahannya saat hari ulang tahunmu."

Hari ulang tahunku ya? Berarti sabtu besok? Aku mengangguk lemah. Menikah dihari ulang tahunku yang ke dua puluh dua.

Betapa menakjubkannya kehidupanku.

Wajah Mas Raksa terlihat tampan. Raut dewasa dengan rahang kokoh itu membuatku menebak bahwa dia mungkin seumuran dengan Bang Kiki. Sepupuku yang mulut nyinyir nya hampir mengalahkan ibu-ibu yang sering belanja sayuran di depan kompleks. Yang ketika ada seseorang yang lewat, langsung di ditanyain. Mau kemana? Kok sendirian mulu? Gandengan buat pergi kondangan belum ada ya?

Walau begitu, Bang Kiki adalah Abang yang begitu pengertian sejak dulu. Bisa dibilang sepupu favoritku. Dari deretan sepupuku yang jumlahnya lumayan itu, Bang Kiki menempati urutan pertama untukku sebagai sepupu yang luar biasa.

Mata Mas Raksa berwarna hitam, berbeda dengan mataku yang berwarna cokelat pekat. Namun, dari mata hitam itu sama sekali tidak terlihat tatapan tajam darinya. Melainkan tatapan lembut yang aku lihat saat ini.

Hidung Mas Raksa bisa dikategorikan mancung. Walau tidak persis sama seperti milik bule-bule yang pernah aku lihat secara langsung atau tidak langsung melalui televisi.

Aku beralih menatap bibirnya. Berwarna merah muda alami, tanpa ada jejak menghitam yang ada disana. Semoga saja Mas Raksa sama seperti Bapak yang tidak merokok. Karena aku benci asap rokok.

Bibir itu kini tengah menampilkan senyum geli.

Eh, senyum geli?

Ya Tuhan. Aku tidak sadar karena telah menatap Mas Raksa begitu lekat. Bahkan tidak menyadari bahwa Mas Raksa mengetahuinya dan tersenyum geli akan hal itu.

Mas Raksa tertawa ketika aku hanya mampu menutup wajahku malu dengan kedua telapak tangan. Didalam hati aku merutuki sikapku sendiri. Memalukan sekali.

"Aku tampan ya?" tanya Mas Raksa dengan senyuman masih dibibirnya.

Aku menganggukkan kepala. "Iya, Mas Raksa tampan," jawabku segera.

Dan lagi-lagi aku bersikap memalukan. Sebelum wajahku semakin memerah, aku berjalan masuk kedalam rumah. Mengabaikan Mas Raksa yang masih tertawa, namun tetap mengikuti dari belakang.

"Ada apa nih?" tanya Tante Nisa yang aku balas dengan gelengan kepala.

"Tadi Raksa sama Vivi sepakat, untuk acara dijadikan satu hari aja. Paginya akad nikah, langsung dilanjutkan resepsi setelahnya. Rencananya tepat hari ulang tahun Vivi. Gak masalahkan Pak, Bu?"

Bapak menoleh kearahku sekilas. Aku tak mengerti apa maksud tatapan itu. "Tapi, apa tidak akan menganggu persiapan yang sudah hampir sepenuhnya selesai?"

Mas Raksa membalas pertanyaan Bapak yang penuh kecemasan dengan senyum menenangkan. "InsyaAllah gak akan menganggu Pak. Raksa bisa atasi."

"Kalau menurut Papa, bagaimana keinginan kalian berdua saja. Masih ada waktu seminggu ini menyelesaikan persiapan," giliran Papa Mas Raksa mencoba menenangkan.

Perbincangan antara kedua keluarga sudah selesai. Keluarga Mas Raksa sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu dengan mobil yang datang menjemput. Pantas saja ketika datang aku tidak melihat satu pun mobil selain milik Bapak.

"Kembalikan ponselku," pintaku kepada Revan yang bersantai diatas tempat tidur kamarnya. Tanpa mengetuk pintu terlebih dulu, aku langsung membuka dan masuk saja.

"Ponsel Kakak aku yang pegang sampai selesai pernikahan." Revan masih sibuk dengan ponselnya, tanpa menoleh sedikitpun padaku.

Aku berdecak kesal. Menepuk kakinya yang berjuntai ditempat tidur "Gak ada. Aku butuh ponselnya. Balikin sekarang Revan," ucapku geram.

"Kakak kok KDRT sih? Sakit tau." Revan tiba-tiba merajuk.

"KDRT apaan? Jangan ngaur deh! Kamu simpan dimana ponsel Kakak? Balikin sekarang Revan!"

"Gak mau! Pokoknya ponsel Kakak aku simpan dulu, setelah pernikahan Kakak aku balikin, janji. Kalau aku kasih sekarang, pasti Kakak pakai untuk cari cara biar bisa kabur. Atau coba untuk cari cara untuk gagalin pernikahan."

Ya ampun anak ini? Kenapa pikirannya negatif terus padaku?

***

Vivian menerima, Mas Raksa lega.

Siap untuk malam pertama? Ups, nikah maksudnya, wkwkwk

Yang gak sabar, boleh ulang-ulang baca di oneshoot nya loh,, hahaha

Semoga Suka 🤗

Salam Sayang 😘
~fansdeviyy,

P.S you can call me Dev 😉

Taken by Him [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang