Kali ini aja, Liam. Tolong angkat telfonku.
Di bawah pohon Rindang (DPR), aku mencoba menghubungi Liam, dan kali ini sudah keempat kali aku menelpon tapi tak ada hasil. Nihil.
Aku tau aku salah menelfon Liam di posisi sekarang, Pasti Liam sangat berduka. Tapi, aku harus tau gimana kondisi Liam di Solo.
Kasian Liam.
Kali ini aku mencoba lagi, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, aku tetap menghubungi Liam sampai ia mengangkat. Aku hanya ingin memastikan keadaannya saja.
"Plis Liam, angkat, aku mohon angkat."
Ku coba sekali lagi, sedikit lama dan akhirnya terdengar sambungan di seberang telfon sana.
-Ha-halo, Liam. Liam nenek lo meninggal?-
Aku menunggu jawaban, sementara suara Liam di seberang sana terdengar terisak-isak menahan tangis,
-I-iyaa.-
Suara Liam parau, serak, bahkan kecil sekali.
-Liam, sekarang lo dimana? Keadaan lo gimana? Lo baik-baik aja, kan? Nenek lo dikuburin dimana?-
Liam tak langsung menjawab, ia diam saja, aku bisa mendengar suaranya yang sesenggukan, ia berusaha menahan tangis.
Suara-suara samar jeritan orang lain juga menembus hapeku, yang ku yakini itu adalah keluarga Liam.
-Ale gue lagi gak sanggup ngomong banyak, gue tutup dulu telfonnya ya. Assalamualaikum,"
"Liam, tapi---"
Telfon diputus,
"Waalaikum-sa-lam."
Aku terdiam sebentar memandangi hape, mengapa hatiku serasa sakit sekali.
"Gue tau apa yang lo rasain Liam."
"Semoga lo kuat."
"Semoga lo gak marah lagi sama gue."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [Completed]
Short StoryPercayalah, ini bukan kemauanku, Liam. ____ Ini bukan cerita, tapi penggalan kisah Ale dan Liam.