"Lo Ainsley ya?"
Aku mendongak saat melihat seseorang memanggilku, kemudian ia duduk disebelahku. Aku tak kenal dia, tak juga tau siapa.
Aku menutup kotak makan berwarna pink, kotak makan yang pernah diberikan Liam lalu ku bawa pulang.
"Iya. Lo siapa ya?"
Cowok itu duduk disebelah ku, tersenyum, aku agak risih lalu menggeser dua senti.
"Gue Ishfi, temen Liam dari SMA."
Mendengar kata Liam, aku langsung menoleh, agak bingung.
"Iya, lalu Kenapa?"
"Lo tau neneknya Liam meninggal kan?"
"Iya tau, kata David dia tau dari lo. Ishfi kan, anak kelas sebelah."
Ishfi mengangguk, "Liam ada ngasih kabar ke lo?"
"Belum sempat."
"Ada atau gak?"
Ishfi memastikan, aku melirik sedikit sinis tak suka,
"Gak ada."
Ishfi terkekeh, mengamati kotak makan di tangan ku.
"Kenapa?"
"Lo se-khawatir apa sih sama Liam? Dari kemaren lo coba telfonin Liam terus, kan?"
"Masalah di elo apa, gue gak kenal lo, jangan ganggu gue."
Aku buru-buru bangkit dari duduk dan hendak pergi, tapi tiba-tiba Ishfi menahan tanganku, ia berdiri di depanku.
"Tunggu dulu, lo kenapa sinis banget sih sama gue?"
"Abisnya, lo ganggu banget." Tepisku sedikit menjauh, "gue gak kenal lo."
"Tadi kan gue uda bilang, gue teman SMA nya Liam. Temen seorganisasi nya juga yang buat alasan setiap saat dia ngilang dari lo!"
"Maksudnya?"
Ishfi terkekeh, "Gak, lupakan aja."
"Terus lo datang kesini mau ngapain?"
Cowok berambut Hitam berponi itu menunduk, kemudian melirik ke arah ku.
"Gue cuma mau nyampein amanah dari Liam."
"Amanah apa?"
"Kata Liam, gue harus nyampein ke elo kalo Liam di Solo baik-baik aja, cuma shock berat atas meninggal neneknya. Dia juga minta gue sampein ke elo, jangan keseringan nelfon dia disana, dia lagi gak sanggup ngomong dan lo pasti tau itu kan."
"Terus neneknya Liam di kuburin dimana?"
"Bakal pulang kesini kok, ke rumahnya Liam. Otomatis Liam bakal pulang besok lusa."
"Lo serius, gak bohong kan?"
Ishfi menggaruk-garuk kepalanya, "Kan tadi gue udah bilang, gue mau nyampein amanah, berarti kan gue jujur."
Aku tersenyum senang, "Iya, makasih ya Ishfi, sori udah galak sama lo."
"Iya sama-sama. Dan saran gue, lo jangan telfonin Liam terus, nunggu aja besok lusa, dia udah disini kok."
Aku mengangguk ramah, Ishfi melirikku dengan heran.
"Lo... Bukan pacarnya Liam, kan?"
Aku menggeleng cepat, buru-buru menepis, "Bukan, gue cuma temennya."
"Tapi, kenapa lo khawatir banget sama dia?"
Aku gagu, sebenarnya pengen banget bocorin soal identitas ku sama Liam. Tapi, aku bingung memberitahunya gimana. Toh, memang kenyataan tak ada hubungan apa-apa.
"Karena dia temen."
"Cuma temen? Ngga yakin gue."
"Iya, Ishfi, cuma temen kok."
"Temen apa?"
"Teman kesayangan. Hehe."
"Ha?"
"Gu-gue balik dulu ya. Baii ishfi."
Aku sengaja buru-buru pergi agar Ishfi tak bertanya lagi. Itu saja sengaja ku ceploskan, harusnya biar saja mereka semua tau. Kalau aku memang mencintai Liam.
Yeay, bakal ketemu Liam besok lusa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [Completed]
Short StoryPercayalah, ini bukan kemauanku, Liam. ____ Ini bukan cerita, tapi penggalan kisah Ale dan Liam.