Seperti permintaan Ishfi aku tak mengabari Liam seharian ini, yang penting Liam sudah baik-baik saja.
Hari ini, ada perlombaan olahraga antar mahasiswa, dari kelasku David, Rafa, dan Lio mengambil alih, mereka ikut lomba Voli.
Sementara aku, Tantri, Vonya dan teman-teman yang lain sibuk memberi semangat dari luar lapangan.
Capek sih, udah habis suara, tapi demi kemenangan.
"Gue yakin kelas kita bakal menang." Teguh Tantri, mengikat bendera merah putih di kepalanya,
"Iya, soalnya badan-badan tinggi kan cuma mereka, dan badan yang paling oke disitu kan cuma Rafa." Tambah Vonya, disusul anggukan mantap dari kami.
Tak lama pertandingan dimulai, Tantri sangat begitu semangat menyoraki David berulang kali,
"David kudu menang,"
"Kudu menang."
"David harus menang......."
"Eh!" Aku menyenggol bahu Tantri, "Kok David sih, psikologi '4 dong, anak kelas kita, gimana sih."
"Hehe. Soalnya David mainnya bagus banget."
Nyegir Tantri disertai wajah memerah, ada apa ini?
Sorakan demi sorokan kian menjerit-jerit, sampai perlombaan di Break pun Kami masih menjerit-jerit,
Hepi banget, kelas kami memang 4 skors.
David, Rafa, dan Lio datang menghampiri kami dibawah pohon, mereka mengambil handuk kecil dan mengelap leher.
Aku sempat melirik Vonya bermain hape, senyum-senyum sendiri, lalu ia permisi,
"Bentar ya, gue angkat telfon dulu."
Aku mengangguk sekedarnya lalu sibuk berbincang sama mereka.
Rafa bercerita bagaimana aksi bermain mereka, ada lucu-lucunya juga.Dari Rafa yang jatuh tersungkur, David yang kepalanya puyeng gara-gara kena bola, sampe Lio yang kepleset karena gak sampai nangkap bola.
Mereka ketawa gak henti-henti, sampai Vonya kembali lalu tersenyum ramah.
"Kenapa?" Tanya David,
"Barusan Liam nelfon gue, katanya dia minta maaf gak bisa ikut lomba, dia ngasih suport ke lo bertiga."
"Nelfon?!" Ulangku tak percaya, aku menatap Vonya heran, "Liam nelfon lo?"
"Iya."
"Kapan?!"
"Barusan."
"Kok bisa?"
Vonya tersenyum, "Ya bisalah, buktinya dia nelfon."
Aku tersenyum miring, berupaya mencerna kembali ucapan Vonya. Kok bisa sih Liam Nelfon Vonya, kemarin katanya gak sanggup bicara.
Tak lama Vonya kembali permisi, karena di panggil oleh teman beda kelasnya.
Aku masih diam, tak tau harus berpikir apa. Sementara Tantri melirikku seolah-olah mempertanyakan hal yang sama,
David juga mendekatiku lalu berbisik, 'kenapa bisa Vonya ditelfon Liam. Gue tau lo suka sama Liam, gak usah pura-pura lagi.'
Aku menunduk tak berani mengiyakan ucapan David, aku mengekspresikan wajah sedih dan bingung, dan mereka semua seperti telah mengetahui itu.
"Apa gue harus nelfon Liam lagi?"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [Completed]
ContoPercayalah, ini bukan kemauanku, Liam. ____ Ini bukan cerita, tapi penggalan kisah Ale dan Liam.