Liam pulang, entah menghindar memang ada keperluan, alasannya selalu saja membuat kami yakin,
"Ah gak tau lah lagi gue jawab gimana, gue balik dulu!"
"Eh, kok pulang sih?!"
"Gue mau ngajar,"
"Ngajar apaan?"
"Ngajar ngaji, disuruh Ayah gue. Udah ah, biar Ale aja yang jawab semua. Baii. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam syekh junior!"
Aku dan Tantri hanya saling pandang-pandangan melihat tingkah dan gelagat Liam.
Menyebalkan.
"Gue heran deh sama Liam, kenapa sih susah banget ngaku, emang dia takut sama si Rafa? Perasaan dia urakan banget deh, masa letoi sih, gak gentle banget!" Oceh Tantri saat kami sudah tinggal berdua di taman.
"Entah."
"Lo gak ada niat nanya gitu?"
"Bingung gue."
"Kalo gak lo nembak aja!"
Aku tersedak, lalu menggeleng, "Gak mungkin lah, masa gue ngomong duluan. Gengsi kali!"
"Lo pikir kalo cuma duduk diem gengsi lo bakal ilang?"
"Gak mau gue, harga diri!"
Tantri menarik hapenya, "Yaudah lo tungguin aja sampe si Liam peka, sampe lebaran monyet, sampe gue udah punya cucu. Makan tu gengsi!"
Tantri geram dan berdiri, "Gue cabut dulu!"
"Ikut!"
Keluar dari taman, aku dan Tantri berniat untuk pergi kerumahnya dan menginap semalam disana, dari pada harus berkutat di kamar asrama terus, membuatku harus pakai oksigen lama-lama.
Sesampai dirumah Tantri aku disambut dengan Mbok nya atau pekerja di rumahnya. Tidak mau dibilang pembantu, Tantri paling marah soal itu,
"Mbok itu bukan pembantu, tapi asisten rumah tangga, yang bantuin ibu gue di dapur!"
Okey.
"Cantik banget kamar lo." Pujiku.
"Iyalah, cantik kayak gue."
Tak menggubris aku duduk di kasurnya. Setelah makan malam aku dan Tantri hanya sibuk sendiri Bermain hape
Jika kalian menyangka aku chatan sama Liam, kalian salah.
Aku hanya sibuk membuka laman instagram dan menonton TVIG. Itu kesibukan ku malam itu.
Ku terawang dari jam 7 malam ini, sepertinya Liam memang ada kegiatan, sama seperti biasanya.
"Lo ngapain sih, Le?"
"Lihatin cogan, gue kan penggemar Cogan Lovers."
Tantri terkekeh, "Dari semua cogan-cogan itu, Liam termasuk cogan yang ke berapa?"
"Nol kali ya?"
"Kok nol?"
"No Lucky other, just he's be a this hurt, hahaha."
"Sae lu, bisa aja."
Tantri tertawa lebar saat mendengar jawaban konyolku.
Tapi, memang bener sih.
No Lucky other."Le, kayaknya lo betul-betul harus nembak Liam, deh. Harus!" Tepuk Tantri mendekatiku, "Gue penasaran Liam bakal ngomong apa,"
"Tapi lo yakinnya apa?"
"Diterimalah, masa iya di tolak."
"Kudu ya?"
"Banget Ansley, emansipasi wanita kudu ditegakkan, 2020 coy."
Aku menimbang omongan Tantri, entah harus aku yang menembak atau menunggu Liam. Sungguh membingungkan.
"Gue tidur dulu, Le. Pokoknya dalam waktu dekat ini lo harus ngomong,"
"Terus Rafa gimana?"
"Lo kan gak suka dia, kenapa masih di pikirin sih?"
Tantri tak merespon lagi, menarik selimut dan terlelap. Sementara aku masih bimbang tak karuan, ingin menelfon Liam, tapi dia tidak online.
"Hm, selamat tidur Liam."
[]
Di mulai dari malam itu, Liam berubah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [Completed]
Short StoryPercayalah, ini bukan kemauanku, Liam. ____ Ini bukan cerita, tapi penggalan kisah Ale dan Liam.