Georgeous
"Hai sombong."
Ku intip notifikasi pesan di hapeku, ah dari Rafa. Aku sedang malas membalasnya, setelah pertengkaran keruh kemarin, aku jadi malas meladeni Rafa.
"Pagi cewek angkuh."
Keningku mengernyit, berusaha ngelucu nih? Atau gimana? Kok garing. Ingin menyudahi ku balas sepetak.
"Iya Ramah, pagi."
Jawaban ku dianggap lelucon oleh Rafa, cowok itu memberikan emoji tersenyum, sementara aku datar menangkapnya.
Aku sempat mengungkit soal Liam ke Rafa, tapi Rafa malah melunjak sinis dan marah.
"Gue ga suka kalo lagi telfonan sama gue tapi yang lo cariin orang lain. Dia itu gak penting, hargai gue disini!"
Sejak hari kemarin, aku tak mengungkitnya lagi.
Aku kembali mencoba menghubungi Liam, semoga Liam udah bangun. Tiga kali miscall terlewat, ku coba sekali lagi.
Senangku gak ketulungan sewaktu lihat sambungan telfon ku terhubung dan diangkat sama Liam.
"Halo?"
"Hai, Liam.." Girangku, "Baru bangun ya?"
"Kenapa Ale?"
"Hm gak apa-apa, cuma pengen nelfon aja. Lo uda gak marah kan? Maafin gue Liam, gue belum sempat jelasin apapun sama lo soal Rafa."
"Gak perlu dijelasin, Le. Aman kok."
"Lo ngapain aja, Liam? Kenapa kemaren-kemaren gak ada kabar?"
Tak langsung menjawab, yang ku terima malah suara helaan napas berat, "Ini masih pagi Ale, nyawa gue aja baru setengah jadi, gue tutup telfonnya ya."
"Loh, tapi Liam, gue cu'--"
Telfon dimatikan. Aku tercengang,
"Yah... Kok buru-buru dimatiin sih. Baru juga pengen cerita."
Tapi aku mengambil kesimpulan kalau Liam pasti tidak memikirkan apa-apa. Tidak ada masalah, tidak ada masalah.
Kau tau? Aku tidak bisa menggambarkan kesenangan ku seperti apa ketika ada di dekatmu. Sungguh.
Aku menyukaimu, tanpa aku perlu tau siapa kamu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [Completed]
Short StoryPercayalah, ini bukan kemauanku, Liam. ____ Ini bukan cerita, tapi penggalan kisah Ale dan Liam.