Setelah bertempur dan berdebat panjang lebar, akhirnya kami memutuskan makan di Kantin,
"Batagor gue pedes banget, lo ngasi saos seberapa banyak sih, Vid?" Rafa mengernyap-ngernyap lidahnya.
"Baru juga setengah botol, letoi banget lu."
"Kambing, lu."
Aku tertawa melihat tingkah mereka, lalu ku perhatikan wajah Liam. Murung, ngga semangat. Tapi tak lama, Liam mengirimku pesan.
"Gue cabut ya, Le."
"Atau lo mau ikut gue gak?"
Liam diam-diam mengirimi ku beberapa pesan dan ku balas dengan cepat.
"Emang mau kemana, Liam?"
"Ke suatu tempat. Cantik pokoknya, lo gak bakal nyesel."
Kupu-kupu di perutku menggelitik, Aku tersenyum, tentu saja aku mau.
"Boleh, tapi mereka gimana?"
"Aman."
Aku melirik David dan Rafa yang sedang sibuk bercerita, lalu ku pandang wajah Liam. Liam tersenyum kecil,
"Vid, gue sama Liam pamit ya." Undurku di susul wajah bingung dari Rafa.
"Kok pergi sih, kalo Liam mau cabut ya cabut aja."
"Ngga gitu, Raf. Gue ada perlu sama Liam."
Rafa mendadak kesal, ia menyampingi batagor miliknya. Liam terkekeh dan merangkul Rafa.
"Ya allah, Raf. Bidadari lo gue pinjam bentar kali, gak gue apa-apain, nanti gue pulangin tepat waktu."
Bidadari? Bidadari nya Rafa?
Oh Shit. Bukan Liam. Bukan."Betul ya, awas lo bawa dia kemana-mana."
"Ah, ngatur banget lo, belum juga jadi suami."
Tak banyak bicara lagi, aku dan Liam pamit permisi, sempat ku lirik David yang saat itu tertawa kecil, menandakan-- ya gue paham kali, silahkan berduan.
"Kita duluan ya,"
Seusai Liam mengambil kereta di parkiran, aku dan Liam pergi keluar kampus. Sejauh ini aku tak tau Liam mau mengajakku kemana, tapi yang jelas kemanapun pergi aku tetap suka.
Asalkan sama Liam.
"Kita uda sampe, Le."
Aku tercengang ketika Liam memberhentikan keretanya di Makam. Aku memutar bola mata,
"Mau ngapain kita ke makam?"
"Jenguk Nenek." Liam tersenyum, lalu berjalan di depan, "Mau kan temenin gue, ayok."
Sebenarnya bulu kuduk ku agak merinding, katanya tadi mau ngajak aku ke tempat yang bagus, inikah tempatnya?
Aduuh..
"Assalamualaikum nenek, ini iam."
Liam berjongkok sambil menabur beberapa bunga di makam neneknya, aku berjongkok di sebelah Liam.
"iam kesini bawa temen, belum sempat iam kenalin ke nenek. Cantik ya orangnya."
Aku menunduk sekaligus tersipu ketika Liam mengatakan aku cantik,
"Sapa nenek, Le."
Dengan bibir gemetaran, aku menyapa, "Assalamualaikum nenek, saya Ale, temen sekelasnya Liam,"
Setelah itu Liam tenggelam dalam tangisannya, ia terus memandangi batu nisan yang bertuliskan nama neneknya,
Aku sempat memegang pundak Liam, berharap dapat menenangkannya. Aku tau Liam sekuat tenaga menahan sedihnya agar tidak nangis di depanku.
Sepertinya Liam betul-betul merasa kehilangan.
"Liam, balik yuk, udah sore."
Liam menekan kedua sudut matanya dengan tangan, terdiam sebentar. Lalu mengangguk.
Aku memapah tangan Liam, membantunya berdiri.
"Nenek, iam pulang ya, kalo nenek kangen iam, datang aja ke mimpi iam, iam gak takut kok."
"Assalamualaikum."
[]
Sepanjang di kereta, Liam hanya diam saja,
Aku menyesal karena tidak dapat menenangkannya saat itu.
Aku menyesal karena tidak bisa berbuat apa-apa.
Dan aku menyesal tidak perhatian pada Liam, yang padahal Liam pasti membutuhkan perhatian lebih, dariku.
[][][]
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Quiet Love [Completed]
Truyện NgắnPercayalah, ini bukan kemauanku, Liam. ____ Ini bukan cerita, tapi penggalan kisah Ale dan Liam.