Aku menatap nanar pada orang yang sekarang ada di depanku. Menatapnya dalam, sambil menggeleng pelan. Seandainya aku bisa menyentuh tangannya dengan lembut dan memberikan sebuah pelukan hangat. Tapi, sayangnya dia tak dapat kusentuh. Hanya bisa kupandangi seperti ini membayangkan akan jadi apa orang di depanku ini.
Setelah itu aku berbalik tak tahan melihat jerawat yang sedang berpariwisata di wajahnya. Lalu kutinggalkan ia begitu saja, entah apa yang terjadi aku tak menoleh lagi. Aku yakin ketika aku menghilang dari hadapannya, ia pun pasti akan menghilang.
"Kamu!"
Aku meringis kesakitan ketika pintu terbuka tepat mengenai hidungku yang sangat minimalis ini.
"Sakit lho, Ma."
Kuelus ujung hidung yang mendadak terasa nyeri akibat daun pintu yang tiba-tiba terbuka saat aku ingin membukanya.
"Lagian, dari tadi dipanggil malah nggak nyahut, mama kira kamu tewas, kayak di berita-berita."
Kejam, bahkan mamaku pun berpikir kalau aku orangnya selalu berpikir pendek.
Mana mau aku mati tanpa alasan, sia-sia sekali aku dilahirkan hanya untuk tewas mengenaskan.
"Ya kan, aku udah bilang semalam kalau aku jangan diganggu hari ini. Aku mau hibernasi sampai puas, capek lho jadi Cungpret dari senin sampe jumat, Ma."
Aku berjalan menuju dapur meninggalkan mama yang masih melongo di depan kamarku. Entahlah, mungkin dia sedang frustrasi menghadapi anak perempuan semata wayangnya yang useless ini.
"Itu tadi ada temen kamu, ngasih brownies. Terus mama taruh di meja," teriak mama yang hanya kutanggapi dengan anggukan.
Tumben pagi-pagi udah dapat rezeki, padahal dalam minggu ini setiap pagi aku selalu kena sial. Kalau kata Dita, aku kudu mandi kembang tujuh rupa, terus abis itu makan beling. Biar kayak kuda lumping. Aku menggeleng keras mengenyahkan pikiran absurd yang baru saja singgah tanpa permisi.
Aku membuka kulkas lalu mengambil air dingin untuk menghilangkan dahaga yang kurasakan dari semalam. Lalu berjalan ke meja yang dimaksud mama tadi, ada brownies kesukaanku sudah nangkring di sana. Dengan cepat langsung kucomot seiris brownies itu. Kelembutan cake itu sudah terbukti nikmatnya, buktinya dalam hitungan detik aku bisa menghabiskan sepotong brownies, baru mau kuambil lagi. Tanganku sudah dipukul keras oleh mama.
"Kebiasaan, makan tuh duduk!"
Mama melotot ganas, aku yang terlalu malas berdebat langsung menurut dan menggeser kursi agar bisa duduk dengan nyaman.
"Coba deh kamu pikir, cewek macam apa yang bangun jam sebelas siang, terus mandi cuma sehari sekali?"
Aku memutar bola mataku malas, objek yang dimaksud mama itu aku dan hampir setiap weekend aku selalu mendapat siraman rohani seperti ini. Salahku juga dulu menyarankan mama untuk ikut pengajian emak-emak komplek. Aku harus menyalami guru mama, atas keberhasilannya menyerap ilmu hadist-hadist dari sang guru dan disampaikan ke anaknya yang malang ini.
"Jadi bininya Jungkook," jawabku sambil tersenyum bodoh.
Mama langsung menaplok kepalaku dengan centong nasi yang dipegangnya. Aku cepat-cepat memohon ampun kepada mama yang sekarang sedang berkacak pinggang.
"Ma, Please jangan kutuk aku jadi monyet."
Bukannya mendapat elusan lembut. Mama malah menambahinya dengan mengejarku lalu meraih sapu yang berada tak jauh dari posisiku duduk.
"Kelewatan kamu, ya. Udah tua masih saja kelakukan kayak anak kecil!" teriak mama frustrasi .
"Foreveeeeeh youngggggg, Ma!" Aku membalas teriakan mama, kali ini dari luar rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Miracle In 29th
ChickLitAku perempuan dua puluh sembilan tahun yang memiliki impian tapi hobi rebahan. Perempuan dengan segala kelemahannya dan berusaha untuk bangkit dari segala macam kegagalan yang pernah ia alami. -Nay-